PENDAHULUAN
Ironis memang ketika manusia mengetahui
relalitas-realitas yang terjadi dewasa ini, tanpa sedikitpun menengok realitas
apa saja yang sudah terjadi di masa sebelumnya,
mungkin juga sebuah permasalahan yang patut di pertanyakan kebenarannya, di
dunia ini tak ada yang instan tentu mengalami sebuah proses, entah sebentar
bahkan lama sekalipun.
JASMERAH! Jangan sekali-kali melupakan sejarah[1]!
Demikianlah tutur Ir. Soekarno, sebuah aforisme yang singkat namun mengandung
makna yang padat dan mendalam. Kadang terbesit di pikiran, buat apa menengok
masa lalu, lebih baik menjalani masa yang akan datang, padahal dengan sejarah
dapat mencermati kehidupan di masa lalu, dengan sejarah juga dapat menemukan
kearifan-kearifan di masa lalu.
Dengan pemaparan diatas, setidaknya memberikan sebuah
asumsi tentang pentingnya mengetahui dan mempelajari sejarah, begitu juga
dengan halnya filsafat, tak ada ruginya untuk mengetahui dan mempelajarinya,
karna di masa lalu filsafat sempat menjadi induknya ilmu.
Sangat beragam keilmuan yang di tawarkan filsafat, baik
filsafat Barat, filsafat agama, filsafat ilmu, filsafat Islam, dan beragam
keilmuan filsafat lainnya. Namun disini penulis ingin memaparkan tentang
filsafat Islam dan tentang sejarah kelahiran filsafat Islam tersebut.
PEMBAHASAN
A.
Definisi Sejarah Filsafat Islam
Dalam perspektif kamus umum bahasa Indonesia sejarah diartikan
sebagai silsilah atau asal usul[2],
ada juga yang mengasumsikan bahwa kata sejarah memiliki padanan kata dengan
haul, maklumat, masalah yang kesemuaannya di ambil dari bahasa Arab[3].
Sementara itu, Taufik Abdullah
memberikan batasan-batasan dalam menentukan apakah yang terjadi di masa lalu
itu termasuk bagian dari sejarah atau tidak, ada empat batasan yang di
kategorikan olehnya, yaitu waktu, pristiwa, tempat, dan lulus seleksi[4].
Sedangkan kata
filsafat sudah menjadi kata serapan bahasa Indonesia yang diambil dari kata
barat fil dan safat sehingga terjadilah gabungan antara keduanya
dan menimbulkan kata filsafat.[5]
Asmoro Achmadi juga sependapat bahwa kata filsafat berasal dari Barat yang
tepatnya di Yunani, yaitu filosofein yang berarti mencintai
kebijaksanaan[6].
Secara sederhana
dapat dikatakan, bahwa filsafat adalah hasil kerja berpikir dalam mencari
hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan universal[7].
Sedangkan kata
Islam menurut kamus ilmiah populer berarti damai, tentram dan agama yang di
bawa Muhammad saw[8].
Demikianlah pengertian
sejarah, filsafat, dan Islam secara etimologi, jadi dapat diasumsikan sementara
bahwa sejarah filsafat Islam adalah asal usul hasil kerja berpikir menemukan
hakikat sesuatu secara sistematis, radikal, dan universal melalui pendekatan
Islami.
Dilihat dari sisi yang lain, banyak para filusuf yang
berbeda pendapat dalam menginterpretasikan filsafat Islam itu sendiri. Ada yang
menginterpretasikan filsafat Islam sebagai hasil pemikiran filusuf tentang ketuhanan,
kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan
pemikiran yang logis dan sistematis.[9]
Lain halnya dengan Ahmad Fu’ad al-Ahwani, ia
mendefinisikan filsafat Islam sebagai pembahasan tentang alam dan manusia yang
disinari ajaran Islam.[10]
Ibrahim Madkur memberikan batasan Filsafat islam itu
untuk menjawab tantangan zaman, yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan
akal, agama dan filsafat.[11]
Tentang penamaan disiplin ilmu ini, terdapat dua versi pendapat, yaitu Filsafat
Islam dan Filsafat Arab, dengan masing-masing argumentasinya, yang
memberi nama Filsafat Arab pada pokoknya mengajukan alasan:
Pertama: Predikat “Arab”
diberikan kepada ilmu ini karena bahasa yang di pergunakan dalam
pengungkapannya adalah bahasa Arab. Maurice de Wulf sebagai pendukung pendapat
ini menyatakan, istilah Islam tidak tepat menjadi ciri dari ilmu ini, karena
hal itu berarti mengharuskan orang menelaah buku-buku selain berbahasa Arab,
misalnya Urdu, Persia, sedangkan karya yang diteliti itu adalah bertuliskan Arab,
tanpa memperhatikan agama penulisnya.[12]
Kedua: Dengan memberi cap Islam pada
ilmu ini, berarti diharuskan menghilangkan sejumlah tokoh pemikir dan
penterjemah yang bukan beragama Islam dan tidak sedikit jasanya dalam membangun
perkembangan ilmu ini, tetapi masih dalam rumpun bangsa Arab, seperti beragama
Majusi, Nasrani, Yahudi, dan Shabiah.[13]
Ketiga: Sejarah Arab
lebih tua dari sejarah Islam. Islam lahir di kalangan bangsa Arab,
disebarluaskan oleh bangsa Arab, maka seluruh kebudayaan yang berada di bawah
pengaruh sejarah bangsa ini haruslah diberi predikat “Arab” termasuk
filsafatnya.[14]
Adapun yang memberi istilah Filsafat Islam, pada
pokoknya mengemukakan tiga alasan[15],
yaitu:
Pertama: Para filusuf yang
tercatat memberikan sumbangan pengetahuannya kepada perkembangan ilmu ini
sendiri menamakannya dengan Filsafat Islam. Filusuf tersebut antara lain
Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Rusyd.
Kedua: Bahwa Islam bukan sekedar
nama agama, tetapi juga mengandung unsur kebudayaan dan peradaban. Sejak
lahirnya Islam telah merupakan kekuatan politik yang telah berhasil
mempersatukan pelbagai suku bangsa menjadi satu umat dalam kekhilafahan Islam,
Dengan memberi predikat Arab berarti harus mengeluarkan para filusuf yang bukan
bangsa Arab, padahal jumlah mereka lebih banyak, antara lain Ibn Sina,
Al-Ghazali, dan Ibn Khaldun. Jadi, dengan predikat Islam akan lebih umum
dibanding Arab, sehingga keseluruhan tokoh-tokoh dimaksud tercakup di dalamnya.
Ketiga: Filsafat Islam
tidak mungkin terbina tanpa Dawlah Islamiyyah, dan persoalan yang dibahas
juga persoalan agama Islam, maka yang tepat dalam penamaannya adalah filsafat
Islam.
Kalau dianalisis tentang penamaan tersebut, dapat
diasumsikan bahwa memberi predikat Arab tidaklah tepat, karena kebanyakan filusuf
yang membangun ilmu ini bukanlah orang Arab, melainkan orang Persia, Turki,
Afganistan, Spanyol, dan lain-lain, walaupun kebanyakan karya mereka ditulis
bahasa Arab, tetapi yang pasti bahwa orang Arab belum mengenal ilmu ini sebelum
ekspansi Islam. Jadi, amatlah tepat menamakan ilmu ini dengan Filsafat Islam.
Artinya, ilmu ini lahir di dunia Islam, tanpa memperbedakan etnis dan bahasa.[16]
B.
Sejarah Munculnya Filsafat Islam
Berbagai teori telah dikemukakan mengenai asal mula
filsafat Islam oleh orang orang-orang yang tahu maupun sebaliknya, atau bahkan
menganggap tidak perlu mempelajari sumber aslinya. Satu diantara teori-teori
tersebut menyatakan bahwa filsafat Islam lahir berkat masuknya pemikiran Yunani
kedalam pemikiran Arab. Dikatakan hanya melalui melalui penerjemahan buku-buku
ilmu pengetahuan yang berbahasa Yunani kedalam bahasa Arablah kaum muslimin
dirangsang dan dipaksa untuk berpikir, oleh karena banyak ajaran dan
kepercayaan yang sampai kepada bangsa Arab melalui karya-karya itu yang
bertentangan dengan dasar-dasar agama Islam. Tidak dapat disangkal bahwa ajaran
yang dianut oleh Plato dan muridnya Aristoteles bertentangan dengan al-Qur’an
dan tidak dapat diterima oleh umat Islam[17].
kemudian muncul sebuah asumsi bahwa filsafat Islam tidak
akan lahir jika pemikiran-pemikiran Yunani tidak masuk ke negeri-negeri Islam
dengan ajaran-ajarannya yang berbeda dengan Islam adalah tidak benar adanya, padahal
sumber inspirasi yang sesungguhnya dan asli bagi pemikir dan intelektual Islam
adalah al-Qur’an dan Hadis.[18]
Sementara itu pemikiran Yunani telah memberikan motivasi
kepada sumber inspirasi tersebut, tidak dapat dielakkan lagi bahwa filsafat
Islam berhutang budi kepada pemikiran Yunani, akan tetapi masih ada saja
ditemukan perbedaan yang signifikan antara pemikir muslim dan pemikir Yunani
mengenai Tuhan, manusia, dan alam semesta[19].
Disisi lain para pemikir dan intelektual Islampun memasukkan
masalah-masalah baru ke dalam filsafat yang asing bagi bangsa Yunani, Misalnya
para filusuf muslim menekankan wahyu sebagai salah satu sumber pengetahuan dan
membahas sifat kesadaran nubuat, mereka juga memberikan perhatian yang besar
kepada soal kehidupan di akhirat, serta pembuatan perhitungan hari kiamat dan
pembenarannya menurut ajaran al-Qur’an, selain itu mengenai masalah penciptaan,
kebaikan dan kejahatan, kebebasan kehendak dan determenisme dibahas oleh para
pemikir muslim dalam kaitannya dengan agama dan kebudayaan mereka. Mereka juga
berusaha mendamaikan filsafat dan agama berusaha menunjukkan bahwa tidak ada
pertentangan antara keduannya[20].
Oleh sebab itu, jelaslah bahwa filsafat Islam bukan
jiplakan atau hanya sekedar imitasi dari pemikiran Yunani, karena filsafat Islam
pertama-tama dan secara khususnya menggarap masalah-masalah yang berasal dari
dan mempunyai relevansi bagi umat Islam, hal ini tidak berarti menyangkal
hutang budi pemikiran muslim kepada bangsa Yunani, melainkan hanya dimaksudkan
untuk meluruskan persoalan saja[21].
Dari sumber yang berbeda dijelaskan Munculnya filsafat
Islam jika ditilik dari sejarahnya, maka akan ditemukan dua faktor pendorong,
baik yang dari Islam sendiri (internal) maupun yang dari luar (eksternal).
Menurut Hadariansyah, faktor internal yang mendorong
munculnya filsafat Islam tak lain dan tak bukan adalah al-Qur’an, yang di
dalamnya terdapat ayat yang menyuruh manusia untuk berpikir[22].
Adapun faktor eksternal yang mendorong munculnya filsafat Islam adalah adanya
penerjemahan buku-buku bahasa Yunani ke bahasa Arab.[23]
Sebagaimana yang sudah tertera dalam sejarah, bahwa
filsafat awalnya berasal dari Yunani, selain berkembang di Yunani, orang-orang
luar Yunanipun ikut mengembangkan sayapnya di ranah filsafat, terutama
orang-orang romawi.
Ketika di Romawi sudah mengalami perkembangan, jelaslah
bahwa Alexander the Great tak mau kalau perkembangannya stagnan sampai situ
saja, lalu ia berinisiatif memperlebar wilayah kekuasaannya ke Afrika Utara dan
Asia, ia tak hanya membawa segerombolan tentara, tetapi mengikut sertakan para
ilmuan[24].
Setelah kemenangan dalam genggamannya, kemudian Alexander
mencoba mengkombinasikan antara kebudayaan Yunani dengan kebudayaan
negeri-negeri yang baru di kuasainya. Terbukti dengan didirikannya pusat-pusat kebudayaan
dengan mewujudkan kebudayaan Yunani sebagai intinya[25].
Untuk bagian Barat didirikan pusat kebudayaan yang
tepatnya di Athena dan Roma, sedangkan untuk bagian Timur didirikan pusat
kebudayaan yang tepatnya di Alexandria (Iskandariyah) Mesir, Antioch di Suriah,
Jundisyabur di Mesopotamia, dan Bactra di Persia, bersamaan dengan pristiwa
tersebutlah filsafat mulai masuk ke Timur[26].
Ketika pemerintahan berada di bawah kekuasaan khulafaur
rasyidin mereka dapat menaklukan kota-kota penting seperti Mesir, Suriah, Irak,
dan Persia dengan sendirinya pun pusat-pusat kebudayaan yang berada di sana
dapat beralih tangan kepada mereka. Namun yang menjadi permasalahan pada waktu
itu umat Islam belum memberikan perhatian yang lebih terhadap ilmu pengetahuan
disertai ketidakbisaan mereka dalam berbahasa Yunani[27].
Pada masa selanjutnya tepatnya di masa Daulah Abbasiyah
berkuasa, terjadi perubahan yang sangat signifikan, yang dulunya umat Islam
kurang perhatiannya terhadap Ilmu Pengetahuan berevolusi menjadi umat yang penuh
antusias terhadap ilmu pengetahuan.
Harun ar-Rasyid merupakan khalifah di masa Daulah
Abbasiyah, beliaulah orang yang pada waktu itu menaruh perhatian yang sangat
besar terhadap pengetahuan dan filsafat Yunani, terbukti dengan pernahnya
beliau belajar filsafat di Persia dibawah asuhan Yahya ibn Khalid ibn Barmak.
Di masa pemerintahannya ia mengadakan kegiatan penerjemahan secara resmi,
memang dulu sempat ada juga kegiatan penerjemahan seperti ini namun tidak
dilakukan secara resmi. Buku-buku mengenai kedokteranlah yang didahulukan
didalam penerjemahan, kemudian baru ilmu pengetahuan-pengetahuan lainnya
termasuk filsafat. Awalnya kedalam bahasa Suryani kemudian ke dalam bahasa
Arab, namun pada akhirnya penerjemahan langsung ke bahasa Arab[28].
Kegiatan tersebut terus sampai mencapai puncak
kemajuannya di masa pemerintahan khalifah al-Makmun, beliau adalah seorang
intelektual yang sangat gandrung terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat[29].
Kemudian mendirikan sebuah wadah penerjemahan sekaligus sebagai perpustakaan
yang membantu perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat.
Untuk kepentingan tersebut al-Makmun mengutus para
prajuritnya ke pelbagai daerah untuk menemukan buku-buku pengetahuan dan
filsafat yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Arab[30].
Dengan adanya kegiatan penerjemahan tersebut tanpa
disadari mulai menarik minat para intelektual dan pemikir Islam untuk
mempelajarinya. Sebagian dari mereka setelah mempelajari dan menyerap
pemikiran-pemikiran rasional filsafat Yunani tersebut, mulai menciptakan
pikiran-pikiran yang rasional juga, dan diwaktu itulah filsafat Islam mulai
dikenal.
Dalam perspektif yang lain Asmoro Achmadi
mengkronologiskan munculnya filsafat Islam di awali setelah Kaisar Yustianus
menutup akademi Neoplatonisme di Athena, beberapa guru besar hijrah ke Kresipon
tahun 527, yang kemudian disambut oleh Kaisar Khusrwa tahun 529. Setelah itu di
tempat yang baru mengadakan kegiatan mengajarkan filsafat, mereka dalam waktu
20 tahun di samping mengajarkan
filsafat, juga mempengaruhi lahirnya lembaga-lembaga yang mengajarkan filsafat
seperti di Alexandrian, Anthipia, Beirut[31].
Sifat khas orang-orang Arab saat itu yaitu hidup
mengembara (kafilah) bergeser pada proses urbanisasi. Kemudian diikuti pudarnya
dasar kehidupan asli yang terpendam dalam jiwa Arab, dulu orang-orang Arab
mengutamakan kejantanan dalam menghadapi hidup yang serba keras, karena
terpengaruh keadaan geografis (luasnya padang pasir), setelah proses urbanisasi
mereka terikat oleh birokrasi dan mengalami krisis identitas dalam bidang
sosial dan agama (dari pola mengembara menuju pola ketertiban).
Setelah mendapatkan kemapanan mereka mengalami proses
akulturasi penguasaan ilmu, maka mulailah mengadakan kontak intelektual yang
pada saat itu tersedi warisan pemikiran Yunani.
Proses akulturasi tersebut terjadi lewat Via Diffusa
(kontak pergaulan sehari-hari) dan Via Bruditorum (kehendak mencari
karya-karya Yunani). Proses akulturasi ini mencapai puncaknya dengan
didirikannya lembaga-lembaga pengajaran, penterjemahan, dan perpustakaan. Misalnya
di tahun 833 h khalifah al-Ma’mun mendirikan Bait al-Hikmah di Baghdad,
selanjutnya di tahun 972 h khalifah Hakam mendirikan universitas al-Azhar
di Kairo Mesir.
Kenyataan inilah yang membuktikan bahwa filsafat Yunani
berperan sebagai alat integrasi sosial yang baru.[32]
PENUTUP
Tak bisa dipungkiri bahwa filsafat awalnya memang berasal
dari Yunani, jadi merupakan hal yang
wajar bahkan sah-sah saja, ketika muncul perspektif bahwa filsafat Islam itu
merupakan jiplakan atau hanya sekedar imitasi dari filsafat Yunani.
Mengenai kronologis munculnya filsafat Islam beberapa
ilmuan mengalami sedikit perbedaan, seperti yang dijelaskan Hasyimah Nasution
pada bukunya “Filsafat Islam” ada yang mengatakan bahwa filsafat Islam
terlahir hanya gara-gara adanya penerjemahan buku-buku pengetahuan berbahasa
Yunani kedalam bahasa Arab.
Lain halnya dengan yang dipaparkan oleh Hadariansyah
dalam bukunya “Pengantar Filsafat Islam” bahwa filsafat Islam, terlahir
dari kitab suci umat Islam itu sendiri, dikarenakan banyaknya terkandung ayat-ayat
yang menyuruh untuk berpikir. Di sisi lain karena gencarnya usaha-usaha yang
dilakukan oleh Alexander the Great dengan menaklukkan kota-kota penting seperti
Mesir, Irak, Suriah dan Persia, yang kemudian di kota-kota penting tersebut
didirikan pusat-pusat kebudayaan yang membantu mengembangkan usaha Alexander
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan Filsafat Yunani.
namun, ketika pemerintahan Islam di pimpin oleh Khulfa
ar-Rasyidin keadaan menjadi terbalik, mereka mampu menaklukkan Alexander
sehingga kota-kota penting beserta pusat-pusat kebudayaannya dapat di kuasai
oleh Khulafaur Rasyidin, namun yang disayangkan pada waktu itu perhatian
umat Islam tentang ilmu pengetahuan dan Filsafat masih minim karena
keterbatasan kemampuan dalam berbahasa Yunani.
Baru ketika pemerintahan dipimpin oleh Harun ar-Rasyid lah
rasa antusias terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani itu tumbuh, yang
kemudian ia mengadakan kegiatan penerjemahan secara resmi, yang kemudian
dilanjutkan oleh anaknya al-Makmun yang mendirikan sebuah wadah yang diberi
nama Bait al-Hikmah, yang difungsikan sebagai wadah penerjemahan dan
perpustakaan demi kelangsungan kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat. Dan pada
waktu itulah filsafat Yunani mulai dikenal di dunia Islam.
Beda lagi dengan apa yang diungkapkan Asmoro Achmadi
dalam bukunya “Filsafat Umum” ia mengungkapkan bahwa munculnya filsafat
Islam di sebabkan adanya proses akulturasi baik sosial, agama, pengetahuan,
maupun budaya yang sampai akhirnya dapat mendirikan sebuah perpustakaan yang di
beri nama Bait al-Hikmah di Baghdad dan sebuah universitas yaitu al-Azhar di
Kairo yang sampai sekarang masih terkenal dengan bidang keilmuannya.
DAFTAR PUSTAKA
Esha, Muhammad
In’am. Percikan Filsafat: Sejarah dan Peradaban
Islam. Malang: UIN Maliki Press,
2011.
Poerwadarminta, Kamus Umum
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 1976.
Yatim, Badri.
Historiografi Islam. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997.
Nasution, Harun. Falsafat
Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Achmadi, Asmoro. Filsafat
Umum. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Nasution, Hasyimah,
Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Rajasa, Sultan. Kamus
Ilmiah Populer. Surabaya: Karya Utama, tth.
Qadir. Filsafat
dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Terjemahan oleh Hasan Basari. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1989.
Hadariansyah, Pengantar Filsafat
Islam: Mengenal Filusuf-filusuf Muslim dan Filsafat Mereka. Banjarmasin: Kafusari
Press, 2012.
[2] Poerwadarminta, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), 887.
[3] Muhammad In’am Esha, Percikan
Filsafat: Sejarah dan Peradaban Islam, 9.
[4] Badri Yatim, Historiografi
Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 2-3.
[5] Harun Nasution, Falsafat
Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 9.
[6] Asmoro Achmadi, Filsafat
Umum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 1.
[7] Hasyimsyah Nasution, Filsafat
Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), 2.
[8] Sultan Rajasa, Kamus Ilmiah
Populer, (Surabaya: Karya Utama, tth), 259.
[9] Hasyimsyah Nasution, Filsafat
Islam, 2.
[10]Hasyimsyah Nasution, Filsafat
Islam.
[11]Hasyimsyah Nasution, Filsafat
Islam, 3.
[12]Hasyimsyah Nasution, Filsafat
Islam.
[13]Hasyimsyah Nasution, Filsafat
Islam.
[14]Hasyimsyah Nasution, Filsafat
Islam.
[15]Hasyimsyah Nasution, Filsafat
Islam, 3-4.
[16]Hasyimsyah Nasution, Filsafat
Islam, 4.
[17] Qadir, Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan dalam Islam, Terj. Hasan Basari, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1989), 30.
[18] Qadir, Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan.
[19] Qadir, Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan.
[20] Qadir, Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan.
[21] Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan.
30-31.
[22] Hadariansyah, Pengantar
Filsafat Islam: Mengenal Filusuf-filusuf Muslim dan Filsafat Mereka,
(Banjarmasin: Kafusari Press, 2012), 4.
[23] Hadariansyah, Pengantar
Fisafat Islam, 7.
[24] Hadariansyah, Pengantar
Fisafat Islam.
[25] Hadariansyah, Pengantar
Fisafat Islam.
[26] Hadariansyah, Pengantar
Fisafat Islam, 8.
[27] Hadariansyah, Pengantar
Fisafat Islam.
[28] Hadariansyah, Pengantar
Fisafat Islam.
[29] Hadariansyah, Pengantar
Fisafat Islam, 9-10.
[30] Hadariansyah, Pengantar
Fisafat Islam.
[31] Asmoro Achmadi, Filsafat
Umum, 98.
[32] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum,
99.
No comments:
Post a Comment