Friday, October 2, 2015

Pahlawan-pahlawan Islam Indonesia



PENDAHULUAN
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya,” demikian tutur prisiden pertama Indosia Soekarno. Artinya, dengan mengetahui dan meneladani epos para pahlawan, ada nilai-nilai luhur yang dapat dipetik. Dengan begitu, jiwa rela berkorban dan cinta tanah air dapat tertanam dalam benak setiap insan bangsa Indonesia, utamanya generasi muda.
Meneladani epos para pahlawan salah satunya dapat dilakukan dengan mencari tahu tentang kisah perjuangan para pahlawan dalam melawan para imperialisme. Dalam buku Mengenal Pahlawan Indonesia tercatat 275 pahlawan yang telah rela berkorban demi bangsa indonesia, namun yang akan dibahas disini adalah pahlawan Islam Indonesia yang termashur dikalangan rakyat Indonesia, baik dari segi biografinya maupun dari sejarah singkatnya.














PENJELASAN
A.  PAHLAWAN ISLAM di JAWA
1.    Sutomo (Bung Tomo)
Sutomo lahir di Surabaya, Jawa Timur, 3 Oktober 1920 dan meninggal di Padang Arafah, Arab Saudi, 7 Oktober 1981 pada umur 61 tahun. lebih dikenal dengan sapaan akrab oleh rakyat sebagai Bung Tomo. Beliau  adalah pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA, yang berakhir dengan pertempuran 10 November 1945 yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Sutomo dilahirkan di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Dan ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura.
Sutomo pernah menjadi seorang jurnalis yang sukses. Kemudian ia bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Ketika ia terpilih pada 1944 untuk menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hampir tak seorang pun yang mengenal dia. Namun semua ini mempersiapkan Sutomo untuk peranannya yang sangat penting, ketika  Oktober dan November 1945, ia berusaha membangkitkan semangat rakyat sementara Surabaya diserang habis-habisan oleh tentara-tentara NICA. Sutomo terutama sekali dikenang karena seruan-seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan emosi, "Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!".
Meskipun Indonesia kalah dalam pertempuran 10 November itu, kejadian ini tetap dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Indonesia.
2.      Ir. Soekarno
Ir. Soekarno lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan  meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun. Ia  adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang isinya - berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan darat - menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen. Setelah pertanggung jawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS di tahun yang sama dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.

3.      R.A Kartini
Raden Ajeng Kartini lahir tanggal 21 April 1897 di Jepara dan wafat pada tanggal 17 september 1904. Ia adalah putri dari R.M Ario Sosroningrat seorang adipati di Jepara. Pada usia 12-16 tahun ia hidup dalam pingitan.
Diumur itulah ia menghabiskan waktunya dengan membaca dan menulis surat kepada sahabat-sahabatnya yang berada di Belanda.[1]
Diantara sahabat-sahabatnya ialah J.H Abendanon dan isterinya ia adalah penyusun surat-surat Kartini yang kemudian dijadikan sebuah buku yang berjudul Door Duisternis TotLicht. Ia belajar hukum di Leiden, setelah ia pulang ke Indonesia ia diangkat menjadi Direktur Kementrian Pengajaran dan Kerajinan. Ia juga merupakan orang yang paling berjasa dalam kemajuan seni ukir kayu di Jepara. Kartini dan saudara-saudaranya juga bekerja dalam bidang tersebut. Awal perkenalannya dengan Kartini yaitu dimulai dari bidang seni tersebut, dari perkenalannya tersebut terjalinlah surat menyurat antara Kartini dan Nyonya Abendanon.[2]
Kartini aktif memperjuangkan cita citanya untuk mewujudkan persamaan hak antara pria dan wanita. Dia mendirikan sekolah untuk anak-anak gadis di kota kelahirannya, setelah menikah dia juga mendirikan sekolah untuk wanita.[3]
Kartini wafat di usia yang masih amat muda (kurang lebih 25 tahun), oleh sahabatnya yang bernama J.H Abendanon ratusan pucuk surat Kartini diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul Door Duistenis Tot Licht yang kemudian diterjemahkan oleh Armin Pane ke Bahasa Indonesia dengan judul Habis GelapTerbitlah Terang.[4]
Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, tanggal kelahirannya diperingati sebagai hari Kartini. Selain itu berdasarkan SK Presiden RI No.108/1964, ia dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Indonesia.[5]
            Dalam salah satu suratnya di sebutkan bahwa bagi seorang Kartini, membaca dan menulis merupakan segala-galanya, ketika ia dipingit ia merasa dirinya terbelenggu, tetapi dipihak lain memberinya kesempatan seluas-luasnya kepadanya untuk merenungkan berbagai pristiwa dilingkungannya sendiri, suasana dirumahnya, kehidupan golongan ningrat, terutama di kalangan wanita.
            Bacaannya yang luas serta pengamatannya yang tajam membuat perhatian terhadap nasib dan kedudukan perempuan dalam masyarakat kepada soal-soal lain yang berhubungan dengan hal yang menyangkut kemajuan kehidupan bersama menjadi meningkat. Misalnya dalam bidang kesenian seperti seni ukir, sastra, batik dan sebagainya. Ia melayani pesanan teman-temannya dari luar negeri dengan cara memberikan contoh lukisannya kepada tukang ukir, hal itu dianggapnya sebagai suatu jalan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
            Ketika ditanya? Banyakkah hasil nyata yang dicapai kartini semasa hidupnya? Tidak, dia terombang-ambing antara nilai-nilai peradaban Barat, ketika ia memulai mendirikan sekolah yang kecil dengan murid hanya 9 orang. Adat yang terlalu kuat didaerahnya yang melarang anak yang belum kawin dilarang tampil dimuka umum sehingga menyebabkan dia tidak dapat lekas-lekas mewujudkan cita-citanya, karena itulah keinginannya yang besar itu hanya dapat disalurkan melalui surat-surat yang ia tulis kepada sahabat-sahabatnya.
Dibalik kepedihan serta keputusasaan ternyata ada juga untungnya bagi seorang Kartini ini yaitu menjadi anak seorang adipati, ia dapat berhubungan langsung dengan orang-orang Belanda terkemuka, baik secara lisan maupun tulisan lewat surat-surat.
            Seandainya Kartini bukan anak dari seorang adipati tentu dia tidak akan bisa berhubungan dengan para tokoh-tokoh terkemuka Belanda. Dan tentunya surat-suratnya pun akan menjadi sukar untuk diketahui, dan jika surat-suratnya tidak diumumkan tentu nasibnya pun tidak jauh berbeda dengan nasib anak-anak perempuan lainya pada waktu itu, walaupun mereka juga pada dasarnya menginginkan kebebasan dari himpitan dan kekangan adat.
            Karena kedudukan sosial orang tuanyalah, sehingga ia berkesempatan menjadi juru bicara, dia melaksanakan tugasnya dengan senjata penanya yang ampuh, harta yang paling disayanginya, Kartini berkata : “ Rampaslah semua harta benda saya, asal jangan pena saya”. Begitulah kekuatan pena Kartini dikenal. Siapa saja yang menbaca suratnya, maka secara tidak sadar akan turut menangis, bersorak kegirangan, berharap, putusasa, jatuh, bangun kembali.
            Meskipun Kartini tidak sempat melaksanakan ide-idenya dan tidak sempat menyaksikan terwujudnya pikiran-pikirannya. Tetapi surat-suratnya bernasib baik sampai kepada kita dengan mewariskan jiwa yang kaya serta mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Dia tidak menyesal karena tidak berumur panjang, karena ia telah memeras hidupnya untuk menyatakan semangat zamannya, ia sempat menulis surat kepada sahabatnya : “walaupun saya tidak beruntung sampai keujung jalan itu, walaupun saya akan patah
 ditengah jalan, saya akan mati dengan bahagia. Karena jalan sudah terbuka dan saya telah ikut merintis jalan yang menuju kebebasan dan kemerdekaan perempuan Indonesia.[6]
4.      Sunan Gunung Djati
Beliau lahir tahun 1448 M, dan wafat pada tahun 1568 M, ia adalah orang yang berhasil meningkatkan status cirebon menjadi sebuh kerajaan yang sekaligus pengganti dan keponakan dari Pangeran Walangsungsang, dia adalah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan juga Banten.
Disebut Sunan Gunung Jati karena kedudukan beliau sebagai seorang walisongo, ia mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa, seperti Demak dan Pajang. Setelah Cirebon resmi menjadi sebuah kerajaan Islam yang bebas dari kekuasaan kerajaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati pun berusaha meruntuhkan kerajaan Pajajaran yang belum menganut Islam.[7]
B.     SUMATERA
1.      Bung Hatta
Dr.(H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta, lahir di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Bandar udara internasional Jakarta menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasanya sebagai salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia.
Nama yang diberikan oleh orangtuanya ketika dilahirkan adalah Muhammad Athar. Anak perempuannya bernama Meutia Hatta menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta.
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.
 Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas ia bertolak ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini, Hatta mulai aktif menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera, “Namaku Hindania!” begitulah judulnya. Berkisah perihal janda cantik dan kaya yang terbujuk kimpoi lagi. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah musafir dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya. “Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga lebih mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku,” rutuk Hatta lewat Hindania.
Hatta mengawali karir pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922, lagi-lagi, sebagai Bendahara. Penunjukkan itu berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika terjadi pergantian pengurus Indische Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh Hermen Kartawisastra.
Pada tahun 1932 Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Belanda kembali menangkap Hatta, bersama Soetan Sjahrir, ketua Club Pendidikan Nasional Indonesia pada bulan Februari 1934. Hatta diasingkan ke Digul dan kemudian ke Banda selama 6 tahun.
Pada tahun 1945, Hatta secara aklamasi diangkat sebagai wakil presiden pertama RI, bersama Bung Karno yang menjadi presiden RI sehari setelah ia dan bung karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena peran tersebut maka keduanya disebut Bapak Proklamator Indonesia.
Bung Hatta adalah nama salah seorang dari beribu pahlawan yang pernah memperjuangkan kemerdekaan dan kemajuan Indonesia. Sosok Bung Hatta telah menjadi begitu dekat dengan hati rakyat Indonesia karena perjuangan dan sifatnya yang begitu merakyat. Besarnya peran beliau dalam perjuangan negeri ini sehingga ai disebut sebagai salah seorang “The Founding Father’s of Indonesia”.
Berbagai tulisan dan kisah perjuangan Muhammad Hatta telah ditulis dan dibukukan, mulai dari masa kecil, remeja, dewasa dan perjuangan beliau untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Namun ada hal yang rasanya perlu sedikit digali dan dipahami yaitu melihat Bung Hatta sebagai tokoh organisasi dan partai politik, hal ini dikaitkan dengan usaha melihat perkembangan kegiatan politik dan ketokohan politik di dunia politik Indonesia sekarang maka pantas rasanya kita ikut melihat perjuangan dan perjalanan kegiatan politik Bung Hatta.

2.      Teuku Umar
Teuku Umar dilahirkan di Meulaboh Aceh Barat pada tahun 1854, adalah anak seorang Uleebalang bernama Teuku Achmad Mahmud dari perkawinan dengan adik perempuan Raja Meulaboh. Umar mempunyai dua orang saudara perempuan dan tiga saudara laki-laki.
Nenek moyang Umar adalah Datuk Makudum Sati berasal dari Minangkabau. Salah seorang keturunan Datuk Makudum Sati pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada waktu itu terancam oleh seorang Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat jasanya tersebut, orang itu diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh. Teuku Nan Ranceh mempunyai dua orang putra yaitu Nanta Setia dan Ahmad Mahmud. Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Nanta Setia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Uleebalang VI Mukim. la mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak Dhien[8] .
Teuku Umar dari kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas , dan pemberani.
Ketika perang Aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, umurnya baru menginjak 19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri, kemudian dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur yang masih muda ini, Teuku Umar sudah diangkat sebagai keuchik gampong(kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.
Pada usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim.
Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dhien, puteri pamannya Teuku Nanta Setia. Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda.
Teuku Umar kemudian mencari strategi untuk mendapatkan senjata dari pihak Belanda. Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek Belanda. Belanda berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer.
Ketika bergabung dengan Belanda, Teuku Umar menundukkan pos-pos pertahanan Aceh, hal tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura untuk mengelabuhi Belanda agar Teuku Umar diberi peran yang lebih besar. Taktik tersebut berhasil, sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pang Laot (panglima Laut]) sebagai tangan kanannya, dikabulkan.
Februari 1899, Jenderal Van Heutsz mendapat laporan dari mata-matanya mengenai kedatangan Teuku Umar di Meulaboh, dan segera menempatkan sejumlah pasukan yang cukup kuat diperbatasan Meulaboh. Malam menjelang 11 Februari 1899 Teuku Umar bersama pasukannya tiba di pinggiran kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika pasukan Van Heutsz mencegat. Posisi pasukan Umar tidak menguntungkan dan tidak mungkin mundur. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya adalah bertempur. Dalam pertempuran itu Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya.
Jenazahnya dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh. Mendengar berita kematian suaminya, Cut Nyak Dhien sangat bersedih, namun bukan berarti perjuangan telah berakhir. Dengan gugurnya suaminya tersebut, Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda. Ia pun mengambil alih pimpinan perlawanan pejuang Aceh.
Atas pengabdian dan perjuangan serta semangat juang rela berkorban melawan penjajah Belanda, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air. Salah satu kapal perang TNI AL dinamakan KRI Teuku Umar (385). Selain itu Universitas Teuku Umar di Meulaboh diberi nama berdasarkan namanya.
3.    Cut Nyak Dien
 Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 – Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880 yang menyebabkan meningkatnya moral pasukan perlawanan Aceh. Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Disana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun, ia menambah semangat perlawanan rakyat Aceh serta masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap, sehingga ia dipindah ke Sumedang. Tjoet Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Cut Nyak Dien Perempuan Aceh Berhati Baja Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1850, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya.
Ketika Lampadang, tanah kelahirannya, diduduki Belanda pada bulan Desember 1875, Cut Nyak Dien terpaksa mengungsi dan berpisah dengan ayah serta suaminya yang masih melanjutkan perjuangan. Perpisahan dengan sang suami, Teuku Ibrahim Lamnga, yang dianggap sementara itu ternyata menjadi perpisahan untuk selamanya. Cut Nyak Dien yang menikah ketika masih berusia muda, begitu cepat sudah ditinggal mati sang suami yang gugur dalam pertempuran dengan pasukan Belanda di Gle Tarum bulan Juni 1878.
Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda.
Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda. Teuku Umar telah dinobatkan oleh negara sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur. Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun.
Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil, Tapi seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak Dien pun semakin tua. Penglihatannya mulai rabun dan berbagai penyakit orang tua seperti encok pun mulai menyerang. Di samping itu jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi yang semakin sulit memperoleh makanan.
Melihat keadaan yang demikian, anak buah Cut Nyak Dien merasa kasihan kepadanya walaupun sebenarnya semangatnya masih tetap menggelora. Atas dasar kasihan itu, seorang panglima perang dan kepercayaannya yang bernama Pang Laot, tanpa sepengetahuannya berinisiatif menghubungi pihak Belanda, dengan maksud agar Cut Nyak Dien bisa menjalani hari tua dengan sedikit tenteram walaupun dalam pengawasan Belanda. Dan pasukan Belanda pun menangkapnya.
Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya. Dia lalu ditawan dan dibawa ke Banda Aceh.
Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga dia pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. Di tempat pembuangan itulah akhirnya dia meninggal dunia pada tanggal 6 Nopember 1908, dan dimakamkan di sana.
Perjuangan dan pengorbanan yang tidak mengenal lelah didorong karena kecintaan pada bangsanya menjadi contoh dan teladan bagi generasi berikutnya. Atas perjuangan dan pengorbanannya yang begitu besar kepada negara, Cut Nyak Dien dinobatkan menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Penobatan tersebut dikuatkan dengan SK Presiden RI No.106 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.
C.     KALIMANTAN
1.    Pangeran Antasari
Lahir di  Banjarmasin 1797 Wafat: Bayan Begak, 11 Oktober 1862, dan di makamkan di Banjarmasin.
Perlawanan rakyat banjar terhadap belanda di mulai saat belanda mengangkat Tamijidilah sebagai Sultan Banjar menggantikan Sultan Adam yang wafat. Rakyat Banjar dan keluarga besar kesultanan Banjar, termasuk Pangeran Antasari, menuntut agar Pangeran Hidauattulah, sebagai pewaris sah takhta Kesultanan Banjar, harus menjadi Sultan Banjar. Sejak saat itulah, rakyat Banjar dengan dipimpin oleh Pangeran Hidayattulah, Pangeran Antasari, dan Demang Leman mengangkat senjata melawan belanda.
Pangeran Antasari berhasil menyerang dan menguasai kedudukan belanda di gunung Jabuk. Pangeran Antasari juga meneyerang tambang batubara Belanda di Pengaron. Pejuang-pejuang Banjar juga berhasil menenggelamkan kapal Onrust beserta pemimpinya, seperti Letnan Van der Velde dan Letnan Bangert. Peristiwa yang memalukan Belanda ini terjadi atas siasat Pangeran Antasari dan Tumenggung Suropati.
Pada tahun 1861, Pangeran Hidayattulah berhasil ditangkap oleh belanda dan dibuang ke Cianjur,Jawa Barat. Pangeran Antasari kemudian mengambil alih pimpinan utama. Ia diangkat oleh rakyat sebagai Penembahan Amiruddin Khalifatul Mu’min, Sehingga kualitas peperangan menjadi semakin meningkat karena ada unsur agama. Sayang, Pangeran Antasri akhirnya wafat pada tanggal 11 Oktober 1862 Karena penyakit cacar yang saat itu sedang mewabah di Kalimantan Selatan. Padahal, saat itu, ia sedang mempersiapkan serangan besar-besaran terhadap Belanda.
Untuk menghormati jasa-jasa Pangeran Antasari, berdasarkan surat keputusan Presiden RI.No.06/TK/1968, Pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan kemerdekaan Nasional kepadanya.
D.  SULAWESI
1.      Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur
Sultan Hasanuddin merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.
Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.
KESIMPULAN
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya,” demikian tutur prisiden pertama Indosia Soekarno. Artinya, dengan mengetahui dan meneladani epos para pahlawan, ada nilai-nilai luhur yang dapat dipetik. Dengan begitu, jiwa rela berkorban dan cinta tanah air dapat tertanam dalam benak setiap insan bangsa Indonesia, utamanya generasi muda.
Jadi banyak sekali yang dapat kita ambil dari perjuangan-perjuangan pahlawan kita terdahulu, misalnya saja Soekarno, penulis teringat akan kata-katanya yaitu : “berikan aku sepuluh pemuda yang akan menggoncangkan dunia” seolah olah ada sebuah isarat bagi generasi pemuda berikutnya, untuk tidak tinggal diam, ketika hak negara kita diklaim, atau para-para pahlawan Devisa seperti TKI yang ikut memberikan andil dalam pemasukan negara, tetapi ketika mereka terlantar atau menghadapi sebuah problem, kita malah diam saja, padahal bukan itu yang diinginkan Soekarno, tetapi yang diinginkannya ialah ketika pahlawan devisa terlantar, kita sebagai generasi pemuda harus membela mereka atau palin tidak memperjuangkan yang menjadi hak mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Ajisaka, Arya, Mengenal Pahlawan Indonesia,  Jakarta, Kawan Pustaka, 2004.
Sutrisno, Sulastin, Terjemahan Surat-Surat Kartini, Bandung, Djambatan, 1971.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Raja Grafindo, 2010.


[1]Arya Ajisaka, MengenalPahlawan Indonesia, ( Jakarta, Kawan Pustaka, 2004), Cet ke-1, hlm 147.
[2]Sulastin Sutrisno, Terjemahan Surat-Surat Kartini, (Bandung, Djambatan, 1971), hlm 402.
[3]Arya Ajisaka, Op, Cit., hlm 147.
[4]Ibid, hlm 148.
[5]Ibid.
[6]SulastinSutrisno, Op, Cit., hlm 12-22.
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, Raja Grafindo, 2010), hlm 216-217.
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Teuku_Umar, diakses pada tanggal 10 Juni.

No comments:

Post a Comment