PENDAHULUAN
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya,”
demikian tutur prisiden pertama Indosia Soekarno. Artinya, dengan mengetahui
dan meneladani epos para pahlawan, ada nilai-nilai luhur yang dapat dipetik.
Dengan begitu, jiwa rela berkorban dan cinta tanah air dapat tertanam dalam
benak setiap insan bangsa Indonesia, utamanya generasi muda.
Meneladani epos para pahlawan salah satunya dapat dilakukan dengan mencari
tahu tentang kisah perjuangan para pahlawan dalam melawan para imperialisme.
Dalam buku Mengenal Pahlawan Indonesia tercatat 275 pahlawan yang telah
rela berkorban demi bangsa indonesia, namun yang akan dibahas disini adalah
pahlawan Islam Indonesia yang termashur dikalangan rakyat Indonesia, baik dari
segi biografinya maupun dari sejarah singkatnya.
PENJELASAN
A.
PAHLAWAN
ISLAM di JAWA
1.
Sutomo
(Bung Tomo)
Sutomo lahir di Surabaya, Jawa Timur, 3 Oktober 1920 dan meninggal di
Padang Arafah, Arab Saudi, 7 Oktober 1981 pada umur 61 tahun. lebih dikenal
dengan sapaan akrab oleh rakyat sebagai Bung Tomo. Beliau adalah pahlawan yang terkenal karena
peranannya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk melawan kembalinya
penjajah Belanda melalui tentara NICA, yang berakhir dengan pertempuran 10
November 1945 yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Sutomo dilahirkan di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya
bernama Kartawan Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Dan
ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura.
Sutomo pernah menjadi seorang jurnalis yang sukses. Kemudian ia bergabung
dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Ketika ia terpilih pada 1944 untuk
menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hampir tak seorang
pun yang mengenal dia. Namun semua ini mempersiapkan Sutomo untuk peranannya yang
sangat penting, ketika Oktober dan
November 1945, ia berusaha membangkitkan semangat rakyat sementara Surabaya
diserang habis-habisan oleh tentara-tentara NICA. Sutomo terutama sekali
dikenang karena seruan-seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang
penuh dengan emosi, "Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!".
Meskipun Indonesia kalah dalam pertempuran 10 November itu, kejadian ini
tetap dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Indonesia.
2.
Ir.
Soekarno
Ir. Soekarno lahir di Blitar,
Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di
Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun. Ia adalah Presiden Indonesia pertama yang
menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia memainkan peranan penting untuk
memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali
Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad
Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno menandatangani Surat
Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang isinya - berdasarkan
versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan darat - menugaskan Letnan Jenderal
Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi
kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk
membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya
yang duduk di parlemen. Setelah pertanggung jawabannya ditolak Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967,
Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang
Istimewa MPRS di tahun yang sama dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden
Republik Indonesia.
3. R.A Kartini
Raden
Ajeng Kartini lahir tanggal 21 April 1897 di Jepara dan wafat pada tanggal 17
september 1904. Ia adalah putri dari R.M Ario Sosroningrat seorang adipati di
Jepara. Pada usia 12-16 tahun ia hidup dalam pingitan.
Diumur
itulah ia menghabiskan waktunya dengan membaca dan menulis surat kepada sahabat-sahabatnya
yang berada di Belanda.[1]
Diantara
sahabat-sahabatnya ialah J.H Abendanon dan isterinya ia adalah penyusun surat-surat
Kartini yang kemudian dijadikan sebuah buku yang berjudul Door Duisternis
TotLicht. Ia belajar hukum di Leiden, setelah ia pulang ke Indonesia ia
diangkat menjadi Direktur Kementrian Pengajaran dan Kerajinan. Ia juga
merupakan orang yang paling berjasa dalam kemajuan seni ukir kayu di Jepara. Kartini
dan saudara-saudaranya juga bekerja dalam bidang tersebut. Awal perkenalannya
dengan Kartini yaitu dimulai dari bidang seni tersebut, dari perkenalannya
tersebut terjalinlah surat menyurat antara Kartini dan Nyonya Abendanon.[2]
Kartini aktif memperjuangkan cita citanya
untuk mewujudkan persamaan hak antara pria dan wanita. Dia mendirikan sekolah untuk
anak-anak gadis di kota kelahirannya, setelah menikah dia juga mendirikan sekolah
untuk wanita.[3]
Kartini wafat di usia yang masih amat
muda (kurang lebih 25 tahun), oleh sahabatnya yang bernama J.H Abendanon ratusan
pucuk surat Kartini diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul Door
Duistenis Tot Licht yang kemudian diterjemahkan oleh Armin Pane ke Bahasa
Indonesia dengan judul Habis GelapTerbitlah Terang.[4]
Sebagai penghargaan atas
jasa-jasanya, tanggal kelahirannya diperingati sebagai hari Kartini. Selain itu
berdasarkan SK Presiden RI No.108/1964, ia dianugerahi gelar Pahlawan
Kemerdekaan Indonesia.[5]
Dalam salah satu suratnya
di sebutkan bahwa bagi seorang Kartini, membaca dan menulis merupakan segala-galanya,
ketika ia dipingit ia merasa dirinya terbelenggu, tetapi dipihak lain
memberinya kesempatan seluas-luasnya kepadanya untuk merenungkan berbagai pristiwa
dilingkungannya sendiri, suasana dirumahnya, kehidupan golongan ningrat,
terutama di kalangan wanita.
Bacaannya yang
luas serta pengamatannya yang tajam membuat perhatian terhadap nasib dan kedudukan
perempuan dalam masyarakat kepada soal-soal lain yang berhubungan dengan hal
yang menyangkut kemajuan kehidupan bersama menjadi meningkat. Misalnya dalam bidang
kesenian seperti seni ukir, sastra, batik dan sebagainya. Ia melayani pesanan teman-temannya
dari luar negeri dengan cara memberikan contoh lukisannya kepada tukang ukir,
hal itu dianggapnya sebagai suatu jalan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ketika ditanya? Banyakkah
hasil nyata yang dicapai kartini semasa hidupnya? Tidak, dia terombang-ambing antara
nilai-nilai peradaban Barat, ketika ia memulai mendirikan sekolah yang kecil dengan
murid hanya 9 orang. Adat yang terlalu kuat didaerahnya yang melarang anak yang
belum kawin dilarang tampil dimuka umum sehingga menyebabkan dia tidak dapat lekas-lekas
mewujudkan cita-citanya, karena itulah keinginannya yang besar itu hanya dapat disalurkan
melalui surat-surat yang ia tulis kepada sahabat-sahabatnya.
Dibalik kepedihan serta keputusasaan
ternyata ada juga untungnya bagi seorang Kartini ini yaitu menjadi anak seorang
adipati, ia dapat berhubungan langsung dengan orang-orang Belanda terkemuka,
baik secara lisan maupun tulisan lewat surat-surat.
Seandainya Kartini
bukan anak dari seorang adipati tentu dia tidak akan bisa berhubungan dengan para
tokoh-tokoh terkemuka Belanda. Dan tentunya surat-suratnya pun akan menjadi sukar
untuk diketahui, dan jika surat-suratnya tidak diumumkan tentu nasibnya pun
tidak jauh berbeda dengan nasib anak-anak perempuan lainya pada waktu itu,
walaupun mereka juga pada dasarnya menginginkan kebebasan dari himpitan dan kekangan
adat.
Karena kedudukan sosial
orang tuanyalah, sehingga ia berkesempatan menjadi juru bicara, dia melaksanakan
tugasnya dengan senjata penanya yang ampuh, harta yang paling disayanginya,
Kartini berkata : “ Rampaslah semua harta benda saya, asal jangan pena saya”.
Begitulah kekuatan pena Kartini dikenal. Siapa saja yang menbaca suratnya, maka
secara tidak sadar akan turut menangis, bersorak kegirangan, berharap,
putusasa, jatuh, bangun kembali.
Meskipun Kartini tidak
sempat melaksanakan ide-idenya dan tidak sempat menyaksikan terwujudnya pikiran-pikirannya.
Tetapi surat-suratnya bernasib baik sampai kepada kita dengan mewariskan jiwa
yang kaya serta mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Dia tidak menyesal
karena tidak berumur panjang, karena ia telah memeras hidupnya untuk menyatakan
semangat zamannya, ia sempat menulis surat kepada sahabatnya : “walaupun saya tidak
beruntung sampai keujung jalan itu, walaupun saya akan patah
ditengah jalan, saya akan mati
dengan bahagia. Karena jalan sudah terbuka dan saya telah ikut merintis jalan
yang menuju kebebasan dan kemerdekaan perempuan Indonesia.[6]
4.
Sunan
Gunung Djati
Beliau lahir tahun 1448 M, dan wafat pada tahun 1568 M, ia adalah
orang yang berhasil meningkatkan status cirebon menjadi sebuh kerajaan yang sekaligus
pengganti dan keponakan dari Pangeran Walangsungsang, dia adalah pendiri
dinasti raja-raja Cirebon dan juga Banten.
Disebut Sunan Gunung Jati karena kedudukan beliau sebagai seorang
walisongo, ia mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa, seperti Demak
dan Pajang. Setelah Cirebon resmi menjadi sebuah kerajaan Islam yang bebas dari
kekuasaan kerajaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati pun berusaha meruntuhkan
kerajaan Pajajaran yang belum menganut Islam.[7]
B.
SUMATERA
1.
Bung
Hatta
Dr.(H.C.) Drs. H. Mohammad
Hatta (populer sebagai Bung Hatta, lahir di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, 12
Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah
pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur
dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden
Soekarno. Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Bandar udara
internasional Jakarta menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasanya
sebagai salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia.
Nama yang diberikan oleh orangtuanya ketika dilahirkan adalah Muhammad
Athar. Anak perempuannya bernama Meutia Hatta menjabat sebagai Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Ia dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta.
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi,
sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta
mulai menimbun pengetahuan perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah
satunya lewat membaca berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi
juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat
kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.
Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari
sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas ia bertolak ke Batavia untuk
melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini, Hatta
mulai aktif menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera, “Namaku
Hindania!” begitulah judulnya. Berkisah perihal janda cantik dan kaya yang
terbujuk kimpoi lagi. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan,
datanglah musafir dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya. “Tapi
Wolandia terlalu miskin sehingga lebih mencintai hartaku daripada diriku dan
menyia-nyiakan anak-anakku,” rutuk Hatta lewat Hindania.
Hatta mengawali karir pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922,
lagi-lagi, sebagai Bendahara. Penunjukkan itu berlangsung pada 19 Februari
1922, ketika terjadi pergantian pengurus Indische Vereeniging. Ketua lama dr.
Soetomo diganti oleh Hermen Kartawisastra.
Pada tahun 1932 Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi
Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik
rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Belanda kembali menangkap
Hatta, bersama Soetan Sjahrir, ketua Club Pendidikan Nasional Indonesia pada
bulan Februari 1934. Hatta diasingkan ke Digul dan kemudian ke Banda selama 6
tahun.
Pada tahun 1945, Hatta secara aklamasi diangkat sebagai wakil presiden
pertama RI, bersama Bung Karno yang menjadi presiden RI sehari setelah ia dan
bung karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena peran tersebut
maka keduanya disebut Bapak Proklamator Indonesia.
Bung Hatta adalah nama salah seorang dari beribu pahlawan yang pernah
memperjuangkan kemerdekaan dan kemajuan Indonesia. Sosok Bung Hatta telah
menjadi begitu dekat dengan hati rakyat Indonesia karena perjuangan dan
sifatnya yang begitu merakyat. Besarnya peran beliau dalam perjuangan negeri
ini sehingga ai disebut sebagai salah seorang “The Founding Father’s of
Indonesia”.
Berbagai tulisan dan kisah perjuangan Muhammad Hatta telah ditulis dan
dibukukan, mulai dari masa kecil, remeja, dewasa dan perjuangan beliau untuk
mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Namun ada hal yang rasanya perlu sedikit
digali dan dipahami yaitu melihat Bung Hatta sebagai tokoh organisasi dan
partai politik, hal ini dikaitkan dengan usaha melihat perkembangan kegiatan
politik dan ketokohan politik di dunia politik Indonesia sekarang maka pantas
rasanya kita ikut melihat perjuangan dan perjalanan kegiatan politik Bung
Hatta.
2.
Teuku
Umar
Teuku Umar
dilahirkan di Meulaboh
Aceh Barat
pada tahun 1854,
adalah anak seorang Uleebalang bernama Teuku Achmad Mahmud dari perkawinan
dengan adik perempuan Raja Meulaboh. Umar mempunyai dua orang saudara perempuan
dan tiga saudara laki-laki.
Nenek moyang
Umar adalah Datuk Makudum Sati berasal dari Minangkabau.
Salah seorang keturunan Datuk Makudum Sati pernah berjasa terhadap Sultan Aceh,
yang pada waktu itu terancam oleh seorang Panglima Sagi yang ingin merebut
kekuasaannya. Berkat jasanya tersebut, orang itu diangkat menjadi Uleebalang VI
Mukim
dengan gelar Teuku Nan Ranceh. Teuku Nan Ranceh mempunyai dua orang
putra yaitu Nanta Setia dan Ahmad Mahmud. Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Nanta
Setia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Uleebalang VI Mukim. la mempunyai
anak perempuan bernama Cut Nyak Dhien[8]
.
Teuku Umar
dari kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka
berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan
pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah
mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu
menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas , dan pemberani.
Ketika perang Aceh
meletus pada 1873
Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, umurnya
baru menginjak 19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri, kemudian
dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur yang masih muda ini, Teuku Umar
sudah diangkat sebagai keuchik gampong(kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.
Pada usia 20
tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk
meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak
Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim.
Pada tahun 1880, Teuku Umar
menikahi janda Cut Nyak Dhien, puteri pamannya Teuku Nanta Setia.
Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878 dalam peperangan
melawan Belanda di Gle Tarun. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan
serangan terhadap pos-pos Belanda.
Teuku Umar
kemudian mencari strategi untuk mendapatkan senjata dari
pihak Belanda. Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek Belanda. Belanda
berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Gubernur Van
Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk
merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer.
Ketika
bergabung dengan Belanda, Teuku Umar menundukkan pos-pos pertahanan Aceh, hal
tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura untuk mengelabuhi Belanda agar
Teuku Umar diberi peran yang lebih besar. Taktik tersebut berhasil, sebagai
kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17
orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pang Laot (panglima Laut]) sebagai
tangan kanannya, dikabulkan.
Februari 1899, Jenderal Van Heutsz
mendapat laporan dari mata-matanya mengenai kedatangan Teuku Umar di Meulaboh,
dan segera menempatkan sejumlah pasukan yang cukup kuat diperbatasan Meulaboh.
Malam menjelang 11 Februari 1899 Teuku Umar bersama pasukannya tiba di pinggiran kota
Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika pasukan Van Heutsz mencegat. Posisi
pasukan Umar tidak menguntungkan dan tidak mungkin mundur. Satu-satunya jalan
untuk menyelamatkan pasukannya adalah bertempur. Dalam pertempuran itu Teuku
Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya.
Jenazahnya
dimakamkan di Mesjid
Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh. Mendengar berita kematian suaminya, Cut
Nyak Dhien sangat bersedih, namun bukan berarti perjuangan telah berakhir.
Dengan gugurnya suaminya tersebut, Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan
perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda. Ia pun mengambil alih pimpinan
perlawanan pejuang Aceh.
Atas
pengabdian dan perjuangan serta semangat juang rela berkorban melawan penjajah
Belanda, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan
Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah
daerah di tanah air. Salah satu kapal perang TNI AL dinamakan KRI Teuku Umar (385). Selain itu Universitas Teuku Umar
di Meulaboh diberi nama berdasarkan namanya.
3.
Cut
Nyak Dien
Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien,
Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 – Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908;
dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional
Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh.
Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim
Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada
tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah
hendak menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, salah satu
tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien
menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan
perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880 yang
menyebabkan meningkatnya moral pasukan perlawanan Aceh. Mereka dikaruniai anak
yang diberi nama Cut Gambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia
bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku Umar gugur
saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang
sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat
itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya
yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba. Ia akhirnya
ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Disana ia dirawat dan penyakitnya mulai
sembuh. Namun, ia menambah semangat perlawanan rakyat Aceh serta masih
berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap, sehingga ia dipindah ke
Sumedang. Tjoet Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan
dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Cut Nyak Dien Perempuan
Aceh Berhati Baja Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak
melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum
imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang
di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan
Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.
Pahlawan Kemerdekaan
Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1850, ini sampai akhir hayatnya teguh
memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga
bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku
Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan
Kemerdekaan Nasional.
Jiwa pejuang memang
sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang
tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana
memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa
patriotnya.
Ketika Lampadang, tanah
kelahirannya, diduduki Belanda pada bulan Desember 1875, Cut Nyak Dien terpaksa
mengungsi dan berpisah dengan ayah serta suaminya yang masih melanjutkan
perjuangan. Perpisahan dengan sang suami, Teuku Ibrahim Lamnga, yang dianggap
sementara itu ternyata menjadi perpisahan untuk selamanya. Cut Nyak Dien yang menikah
ketika masih berusia muda, begitu cepat sudah ditinggal mati sang suami yang
gugur dalam pertempuran dengan pasukan Belanda di Gle Tarum bulan Juni 1878.
Begitu menyakitkan
perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya bersumber dari kerakusan
dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia 28 tahun itu
bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya akan
menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut.
Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus
melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda.
Dua tahun setelah
kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah
lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah
dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya
benar-benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang
terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda. Teuku Umar telah dinobatkan
oleh negara sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Sekilas mengenai Teuku
Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada
tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk
memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura
bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu
pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur. Cut
Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang
suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di
daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau
tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah
berdamai sekalipun.
Perlawanannya yang
dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan
membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu
berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil, Tapi seiring dengan
bertambahnya usia, Cut Nyak Dien pun semakin tua. Penglihatannya mulai rabun
dan berbagai penyakit orang tua seperti encok pun mulai menyerang. Di samping
itu jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi yang semakin
sulit memperoleh makanan.
Melihat keadaan yang
demikian, anak buah Cut Nyak Dien merasa kasihan kepadanya walaupun sebenarnya
semangatnya masih tetap menggelora. Atas dasar kasihan itu, seorang panglima
perang dan kepercayaannya yang bernama Pang Laot, tanpa sepengetahuannya
berinisiatif menghubungi pihak Belanda, dengan maksud agar Cut Nyak Dien bisa
menjalani hari tua dengan sedikit tenteram walaupun dalam pengawasan Belanda.
Dan pasukan Belanda pun menangkapnya.
Begitu teguhnya
pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap
pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda.
Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya. Dia
lalu ditawan dan dibawa ke Banda Aceh.
Tapi walaupun di dalam
tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang
yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang
sehingga dia pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. Di tempat pembuangan
itulah akhirnya dia meninggal dunia pada tanggal 6 Nopember 1908, dan
dimakamkan di sana.
Perjuangan dan
pengorbanan yang tidak mengenal lelah didorong karena kecintaan pada bangsanya
menjadi contoh dan teladan bagi generasi berikutnya. Atas perjuangan dan
pengorbanannya yang begitu besar kepada negara, Cut Nyak Dien dinobatkan
menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Penobatan tersebut dikuatkan dengan SK
Presiden RI No.106 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.
C.
KALIMANTAN
1.
Pangeran
Antasari
Lahir di Banjarmasin 1797 Wafat: Bayan Begak, 11
Oktober 1862, dan di makamkan di Banjarmasin.
Perlawanan
rakyat banjar terhadap belanda di mulai saat belanda mengangkat Tamijidilah
sebagai Sultan Banjar menggantikan Sultan Adam yang wafat. Rakyat Banjar dan
keluarga besar kesultanan Banjar, termasuk Pangeran Antasari, menuntut agar
Pangeran Hidauattulah, sebagai pewaris sah takhta Kesultanan Banjar, harus
menjadi Sultan Banjar. Sejak saat itulah, rakyat Banjar dengan dipimpin oleh
Pangeran Hidayattulah, Pangeran Antasari, dan Demang Leman mengangkat senjata
melawan belanda.
Pangeran
Antasari berhasil menyerang dan menguasai kedudukan
belanda di gunung Jabuk. Pangeran Antasari juga meneyerang tambang batubara
Belanda di Pengaron. Pejuang-pejuang Banjar juga berhasil menenggelamkan kapal
Onrust beserta pemimpinya, seperti Letnan Van der Velde dan Letnan Bangert.
Peristiwa yang memalukan Belanda ini terjadi atas siasat Pangeran Antasari dan
Tumenggung Suropati.
Pada tahun
1861, Pangeran Hidayattulah berhasil ditangkap oleh belanda dan dibuang ke
Cianjur,Jawa Barat. Pangeran Antasari kemudian mengambil alih pimpinan utama.
Ia diangkat oleh rakyat sebagai Penembahan Amiruddin Khalifatul Mu’min,
Sehingga kualitas peperangan menjadi semakin meningkat karena ada unsur agama.
Sayang, Pangeran Antasri akhirnya wafat pada tanggal 11 Oktober 1862 Karena
penyakit cacar yang saat itu sedang mewabah di Kalimantan Selatan. Padahal,
saat itu, ia sedang mempersiapkan serangan besar-besaran terhadap Belanda.
Untuk
menghormati jasa-jasa Pangeran
Antasari, berdasarkan surat keputusan Presiden
RI.No.06/TK/1968, Pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan kemerdekaan Nasional
kepadanya.
D.
SULAWESI
1.
Sultan
Hasanuddin
Di Lahirkan
di Makassar, Sulawesi
Selatan, 12
Januari 1631 wafat: Makassar, Sulawesi
Selatan, 12 Juni 1670
Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa ke-16 dan
pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang
Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana,
hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya,
ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam
Jantan/Jago dari Benua Timur
Sultan
Hasanuddin merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15.
Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan
Gowa, ketika
Belanda yang diwakili Kompeni sedang
berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa
merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur
perdagangan.
Pada
tahun 1666, di
bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman,
Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil
menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik
takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia
bagian timur untuk melawan Kompeni.
Pertempuran
terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak
dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18
November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa
dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya
pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia.
Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Hasanuddin memberikan perlawanan
sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga
akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat
Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada
tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri
dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.
KESIMPULAN
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya,”
demikian tutur prisiden pertama Indosia Soekarno. Artinya, dengan mengetahui
dan meneladani epos para pahlawan, ada nilai-nilai luhur yang dapat dipetik.
Dengan begitu, jiwa rela berkorban dan cinta tanah air dapat tertanam dalam
benak setiap insan bangsa Indonesia, utamanya generasi muda.
Jadi
banyak sekali yang dapat kita ambil dari perjuangan-perjuangan pahlawan kita
terdahulu, misalnya saja Soekarno, penulis teringat akan kata-katanya yaitu :
“berikan aku sepuluh pemuda yang akan menggoncangkan dunia” seolah olah ada
sebuah isarat bagi generasi pemuda berikutnya, untuk tidak tinggal diam, ketika
hak negara kita diklaim, atau para-para pahlawan Devisa seperti TKI yang ikut
memberikan andil dalam pemasukan negara, tetapi ketika mereka terlantar atau
menghadapi sebuah problem, kita malah diam saja, padahal bukan itu yang
diinginkan Soekarno, tetapi yang diinginkannya ialah ketika pahlawan devisa
terlantar, kita sebagai generasi pemuda harus membela mereka atau palin tidak
memperjuangkan yang menjadi hak mereka.
DAFTAR
PUSTAKA
Ajisaka, Arya, Mengenal Pahlawan
Indonesia, Jakarta, Kawan Pustaka,
2004.
Sutrisno, Sulastin, Terjemahan Surat-Surat
Kartini, Bandung, Djambatan, 1971.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta,
Raja Grafindo, 2010.
No comments:
Post a Comment