AL-AZHAR,
AKANKAH CADAR KEHILANGAN
NILAI
SAKRALNYA?
Oleh :Arif Sugian, S.Th.I, M.Pd
“Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka
(isteri-isteri Nabi saw.), maka mintalah dari balik hijab. Sesungguhnya yang
demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan
tidak boleh kamu menyakiti hati Rasulullah dan tidak pula mengawini
isteri-isterinya sesudah Beliau wafat. Sesungguhnya Yang demikin itu adalah
amat besar (dosanya) di sisi Allah” (QS. al-Ahzab: 53).
Sejak masa Tabi’it Tabi’in, kontroversi tentang ayat hijab
ini mulai bermunculan. Bahkan
menjadi salah satu bahan pokok ikhtilaf
para ulama saat itu. Sebagian ada yang berpendapat bahwa ayat ini hanya
ditujukan untuk para isteri Nabi saw. saja, sebagian yang lain berpendapat
bahwa ayat ini ditujukan bagi semua wanita muslim yang merdeka dengan
menggunakan khitab kepada isteri-isteri Nabi saw..
Mereka
yang mengatakan ayat ini ditujukan khusus bagi isteri-isteri Nabi saja,
beralasan bahwa ayat ini cukup diartikan sesuai dengan konteks kalimat secara
harfiah. Bagi mereka, kalimat ‘isteri-isteri Nabi’ dalam ayat ini memang
ditujukan bagi isteri-isteri Nabi saja. Bukan mewakili wanita muslim secara
keseluruhan seperti yang dipahami sebagian yang lain.
Sedang bagi mereka yang
mengatakan bahwa ayat ini tidak tertentu bagi isteri-isteri Nabi saja, meyakini
bahwa ayat ini secara hakikatnya, ditujukan bagi seluruh wanita muslim dengan
menyebutkan isteri-isteri Nabi sebagai obyeknya, sebagaimana banyak terdapat
pada ayat-ayat yang lain dalam Al Qur’an. Seperti yang terdapat pada ayat
pertama surah ath-Thalaq. Dalam ayat ini, yang menjadi subyeknya juga
isteri-isteri Nabi saja, namun penerapan hukumnya meliputi semua perempuan
muslim. Bahkan mufassir-mufassir besar seperti Ibnu Katsir, Ibnu Arabi,
al-Qurtubi, dan mufassir ternama lain sepakat akan pendapat ini.
Dewasa ini pun, perbedaan pendapat tentang ayat hijab ini
masih menjadi masalah serius di kalangan ulama. Bahkan menjadi sangat ekstrim ketika salah satu
pendapat dipaksakan kepada orang lain. Seperti yang terjadi di Universitas
al-Azhar-Kairo, Mesir. Universitas yang tercatat dalam sejarah sebagai
universitas Islam tertua di dunia tersebut menjadi gempar saat Syeikh
Mohammad Said Tanthowi yang berkedudukan sebagai Guru Besar al-Azhar memfatwakan
bahwa cadar hanyalah salah satu kebudayaan orang Arab, bukan bagian dari syari’at
Islam. Tidak hanya itu, beliau
juga berniat mengeluarkan peraturan tentang larangan memakai cadar bagi para
mahasiswi al-Azhar. Jika aturan ini benar-benar diterapkan, sehingga cadar
hanya dipandang sebagai budaya, tidak ayal lagi, cadar akan segera kehilangan
nilai sakralnya. Bukan hanya di al-Azhar, tetapi juga negara-negara muslim di
berbagai belahan dunia pun akan terkena imbasnya termasuk Indonesia.
Hal ini tentu saja menuai
kontroversi besar dalam dunia Islam, khususnya di lingkungan al-Azhar sendiri.
Betapa tidak, universitas yang turun temurun menjadi tempat menimba ilmu
sekaligus tempat bernaung bagi muslimah-muslimah bercadar, tiba-tiba dipaksa
untuk memaksa mahasiswinya melepas atribut mereka. Sungguh suatu keanehan yang
memalukan. Seperti seseorang yang mencium tangannya setelah menyentuh
kotorannya sendiri.
Sementara mereka yang masih
bersikukuh pada sebuah keyakinan bahwa cadar bukan kebudayaan, melainkan
kewajiban yang telah disyariatkan Allah bagi hamba-Nya. Bukannya tanpa dalil, bahkan
jauh lebih kuat dari sekadar konteks Alquran secara harfiah saja. Bukan hanya
sekadar bermodal tafsir hakiki, tetapi juga dari segi sejarah, dan asbabun
nuzul ayat tentang cadar.
Terlepas dari semua pertentangan
itu, jika ditilik lebih dalam, larangan cadar saat ini sebenarnya lebih kepada
kepentingan duniawi manusia yang menganggap bahwa cadar merupakan pembatasan
yang mengganggu. Dari sini kita bisa merasakan adanya susupan misi busuk
musuh-musuh Islam. Mereka membuat skenario apik menyesatkan. Kemudian mereka
sisipkan dalam segala aspek kehidupan Islam. Sehingga tanpa sadar, umat
Islam dengan sendirinya merasa asing, aneh, dan kurang cocok dengan Islamnya
sendiri.
Mereka biasakan umat Islam
dengan pergaulan yang bebas tanpa batas antara laki-laki dan perempuan dengan
membudayakan persamaan derajat dan emansipasi wanita. Sehingga tempat-tempat
pendidikan Islam berbasis modern bermunculan dengan sistem pembelajaran di mana
siswa dan siswinya belajar bersama tanpa hijab dalam satu ruangan. Begitu juga
dengan muamalah lainnya. Di kantor, pasar, kegiatan sosial, dll, mereka
berikan kesempatan kepada kaum wanita berpartisipasi, bahkan banyak yang
memegang jabatan penting dalam pemerintahan dengan dalih persamaan derajat dan
emansipasi tadi. Hal ini berakibat muculnya kesan bahwa cadar mengganggu dan
merepotkan. Yang berujung kepada usaha penyelewengan dalil demi hapusnya satu
hukum dalam Islam oleh penganutnya sendiri.
Mengatakan bahwa cadar hanya
budaya, bukan syari’at, merupakan salah satu hasil dari skenario apik tadi.
Padahal dalam sejarahnya, sebelum ayat hijab turun, wanita muslim belum ada
yang megenakan hijab. Hingga setelah ayat hijab turun, yang secara konteksnya
hanya untuk isteri Nabi saja, ternyata dilaksanakan secara menyeluruh atas
perintah Rasulullah saw.. Bahkan Ibnu Katsir meriwayatkan bahwa Ummu Salamah,
salah seorang isteri Nabi, menceritakan keadaan wanita-wanita Anshar yang
keluar rumah seperti burung-burung gagak hitam ketika turun ayat 59 dari surah
al-Ahzab . Di sini jelas bahwa cadar bukan hasil kebudayaan, tapi suatu
kewajiban.
Dalam kitab Sullamut Taufiq,
Imam Nawawi menerangkan bahwa laki-laki diharamkan memandang wanita
yang bukan muhrim, termasuk wajahnya. Sebaliknya, wanita diharamkan membuka
bagian tubuhnya yang orang lain haram melihatnya. Dengan kata lain, karena
wajah wanita haram dilihat, maka haram juga memperlihatkannya. Cadar menjadi
wajib demi menutup yang haram terbuka.
Dalam shalat berjamaah, memang
wajah wanita boleh terbuka. Namun dalam prakteknya, saat shalat berjamaah,
posisi wanita ada di belakang jamaah pria dan pakai sekat atau dinding dari
kain sebagai hijab. Secara logika, jika shalat yang boleh membuka wajah saja
tetap harus dihijab agar jamaah pria tidak bisa melihat wajah jamaah wanita,
tentunya di luar shalat harus lebih dari itu. Sementara hijab tidak mungkin
bisa dibawa ke mana-mana, maka cadarlah yang paling tepat sebagai pengganti
hijab tersebut.
Jika dipandang dari aspek
kehidupan sosial, sangat keliru jika cadar dianggap sesuatu yang mengganggu.
Karena cadar bukan seperti operasi plastik yang menempel dengan permanen.
Ketika si pemakai cadar terlibat dalam kegiatan sosial yang tentu saja hanya
dilaksanakan oleh para wanita, maka cadar pun boleh dilepas. Memang, akibat
misi musuh Islam tadi, cadar terasa aneh pada awalnya, namun ketika sudah
membaur, rasa aneh itu akan hilang dengan sendirinya. Seperti yang penulis
alami dari tahun 2005-2008 mondok di PP Ibnul Amin-Pamangkih (HST). Di
pondok, penulis melihat langsung kehidupan sosial wanita bercadar di
tengah-tengah masyarakat yang umumnya tidak mengenal cadar. Hampir tidak ada
masalah sama sekali. Mereka sangat welcome dengan muslimah bercadar.
Bahkan sangat dikagumi oleh masyarakat karena sikapnya yang sangat konsisten
dengan syariat. Kegiatan-kegiatan
sosial seperti Yasinan, Maulidan, Arisan, Ta’ziah, dll, aktif mereka
ikuti.
Hal yang sama juga dirasakan
ketika mulai memasuki bangku kuliah, terlihat mengagumkannya sosok mahasiswi
yang bercadar di tengah-tengah kumpulan orang yang modern baik dosen, staf
maupun yang lainnya yang mungkin sudah
mengenal akan cadar atau belum sama sekali bahkan merasa aneh dengan
cadar yang menutupi wajahnya.
Dalam
kehidupan keluarga, mereka yang memiliki isteri bercadar, jauh lebih sayang
terhadap isterinya dibanding mereka yang memiliki isteri tidak bercadar. Karena
memang dengan cadar, kita merasa isteri kita sepenuhnya milik kita. Tidak ada
yang bisa menikmatinya meskipun hanya lewat pandangan mata. Wajahnya terbuka
untuk kita, namun tertutup untuk orang lain.
Demikianlah
Islam memuliakan wanita. Bak mutiara yang tinggi nilainya. Tidak sembarang orang boleh melihatnya. Tidak
sembarang orang bisa memilikinya. Jauh dari sekadar mutiara, wanita shalihah
jauh lebih mulia. Terlalu mahal, jika wajahnya dinikmati siapa saja.
Allâhummaj’al Nisâ-anâ wa Nisâal-Muslimîn
Mutahajjibât, Mutanaqqibât, Ghaira Mutabarrijât. Waj’alhunna Yâ Allâh, kaNisâis ash-Shohâbah, walâ taj’alhunna
kaNisâ-il-Jâhiliyyah.
No comments:
Post a Comment