Friday, October 2, 2015

AL-AZHAR, AKANKAH CADAR KEHILANGAN NILAI SAKRALNYA?



AL-AZHAR,
AKANKAH CADAR KEHILANGAN
NILAI SAKRALNYA?
Oleh :Arif Sugian, S.Th.I, M.Pd

        “Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka (isteri-isteri Nabi saw.), maka mintalah dari balik hijab. Sesungguhnya yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti hati Rasulullah dan tidak pula mengawini isteri-isterinya sesudah Beliau wafat. Sesungguhnya Yang demikin itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah”  (QS. al-Ahzab: 53).
Sejak masa Tabi’it Tabi’in, kontroversi tentang ayat hijab ini mulai bermunculan. Bahkan menjadi salah satu bahan  pokok ikhtilaf para ulama saat itu. Sebagian ada yang berpendapat bahwa ayat ini hanya ditujukan untuk para isteri Nabi saw. saja, sebagian yang lain berpendapat bahwa ayat ini ditujukan bagi semua wanita muslim yang merdeka dengan menggunakan khitab kepada isteri-isteri Nabi saw..
            Mereka yang mengatakan ayat ini ditujukan khusus bagi isteri-isteri Nabi saja, beralasan bahwa ayat ini cukup diartikan sesuai dengan konteks kalimat secara harfiah. Bagi mereka, kalimat ‘isteri-isteri Nabi’ dalam ayat ini memang ditujukan bagi isteri-isteri Nabi saja. Bukan mewakili wanita muslim secara keseluruhan seperti yang dipahami sebagian yang lain.
Sedang bagi mereka yang mengatakan bahwa ayat ini tidak tertentu bagi isteri-isteri Nabi saja, meyakini bahwa ayat ini secara hakikatnya, ditujukan bagi seluruh wanita muslim dengan menyebutkan isteri-isteri Nabi sebagai obyeknya, sebagaimana banyak terdapat pada ayat-ayat yang lain dalam Al Qur’an. Seperti yang terdapat pada ayat pertama surah ath-Thalaq. Dalam ayat ini, yang menjadi subyeknya juga isteri-isteri Nabi saja, namun penerapan hukumnya meliputi semua perempuan muslim. Bahkan mufassir-mufassir besar seperti Ibnu Katsir, Ibnu Arabi, al-Qurtubi, dan mufassir ternama lain sepakat akan pendapat ini.
            Dewasa ini pun, perbedaan pendapat tentang ayat hijab ini masih menjadi masalah serius di kalangan ulama. Bahkan menjadi sangat ekstrim ketika salah satu pendapat dipaksakan kepada orang lain. Seperti yang terjadi di Universitas al-Azhar-Kairo, Mesir. Universitas yang tercatat dalam sejarah sebagai universitas Islam tertua di dunia tersebut menjadi gempar saat Syeikh Mohammad Said Tanthowi yang berkedudukan sebagai Guru Besar al-Azhar memfatwakan bahwa cadar hanyalah salah satu kebudayaan orang Arab, bukan bagian dari syari’at Islam. Tidak hanya itu, beliau juga berniat mengeluarkan peraturan tentang larangan memakai cadar bagi para mahasiswi al-Azhar. Jika aturan ini benar-benar diterapkan, sehingga cadar hanya dipandang sebagai budaya, tidak ayal lagi, cadar akan segera kehilangan nilai sakralnya. Bukan hanya di al-Azhar, tetapi juga negara-negara muslim di berbagai belahan dunia pun akan terkena imbasnya termasuk Indonesia.
Hal ini tentu saja menuai kontroversi besar dalam dunia Islam, khususnya di lingkungan al-Azhar sendiri. Betapa tidak, universitas yang turun temurun menjadi tempat menimba ilmu sekaligus tempat bernaung bagi muslimah-muslimah bercadar, tiba-tiba dipaksa untuk memaksa mahasiswinya melepas atribut mereka. Sungguh suatu keanehan yang memalukan. Seperti seseorang yang mencium tangannya setelah menyentuh kotorannya sendiri.
Sementara mereka yang masih bersikukuh pada sebuah keyakinan bahwa cadar bukan kebudayaan, melainkan kewajiban yang telah disyariatkan Allah bagi hamba-Nya. Bukannya tanpa dalil, bahkan jauh lebih kuat dari sekadar konteks Alquran secara harfiah saja. Bukan hanya sekadar bermodal tafsir hakiki, tetapi juga dari segi sejarah, dan asbabun nuzul ayat tentang cadar.
Terlepas dari semua pertentangan itu, jika ditilik lebih dalam, larangan cadar saat ini sebenarnya lebih kepada kepentingan duniawi manusia yang menganggap bahwa cadar merupakan pembatasan yang mengganggu. Dari sini kita bisa merasakan adanya susupan misi busuk musuh-musuh Islam. Mereka membuat skenario apik menyesatkan. Kemudian mereka sisipkan dalam segala aspek kehidupan Islam. Sehingga tanpa sadar, umat Islam dengan sendirinya merasa asing, aneh, dan kurang cocok dengan Islamnya sendiri.
Mereka biasakan umat Islam dengan pergaulan yang bebas tanpa batas antara laki-laki dan perempuan dengan membudayakan persamaan derajat dan emansipasi wanita. Sehingga tempat-tempat pendidikan Islam berbasis modern bermunculan dengan sistem pembelajaran di mana siswa dan siswinya belajar bersama tanpa hijab dalam satu ruangan. Begitu juga dengan muamalah lainnya. Di kantor, pasar, kegiatan sosial, dll, mereka berikan kesempatan kepada kaum wanita berpartisipasi, bahkan banyak yang memegang jabatan penting dalam pemerintahan dengan dalih persamaan derajat dan emansipasi tadi. Hal ini berakibat muculnya kesan bahwa cadar mengganggu dan merepotkan. Yang berujung kepada usaha penyelewengan dalil demi hapusnya satu hukum dalam Islam oleh penganutnya sendiri.
Mengatakan bahwa cadar hanya budaya, bukan syari’at, merupakan salah satu hasil dari skenario apik tadi. Padahal dalam sejarahnya, sebelum ayat hijab turun, wanita muslim belum ada yang megenakan hijab. Hingga setelah ayat hijab turun, yang secara konteksnya hanya untuk isteri Nabi saja, ternyata dilaksanakan secara menyeluruh atas perintah Rasulullah saw.. Bahkan Ibnu Katsir meriwayatkan bahwa Ummu Salamah, salah seorang isteri Nabi, menceritakan keadaan wanita-wanita Anshar yang keluar rumah seperti burung-burung gagak hitam ketika turun ayat 59 dari surah al-Ahzab . Di sini jelas bahwa cadar bukan hasil kebudayaan, tapi suatu kewajiban.
Dalam kitab Sullamut Taufiq, Imam Nawawi menerangkan bahwa laki-laki diharamkan memandang wanita yang bukan muhrim, termasuk wajahnya. Sebaliknya, wanita diharamkan membuka bagian tubuhnya yang orang lain haram melihatnya. Dengan kata lain, karena wajah wanita haram dilihat, maka haram juga memperlihatkannya. Cadar menjadi wajib demi menutup yang haram terbuka.
Dalam shalat berjamaah, memang wajah wanita boleh terbuka. Namun dalam prakteknya, saat shalat berjamaah, posisi wanita ada di belakang jamaah pria dan pakai sekat atau dinding dari kain sebagai hijab. Secara logika, jika shalat yang boleh membuka wajah saja tetap harus dihijab agar jamaah pria tidak bisa melihat wajah jamaah wanita, tentunya di luar shalat harus lebih dari itu. Sementara hijab tidak mungkin bisa dibawa ke mana-mana, maka cadarlah yang paling tepat sebagai pengganti hijab tersebut.
Jika dipandang dari aspek kehidupan sosial, sangat keliru jika cadar dianggap sesuatu yang mengganggu. Karena cadar bukan seperti operasi plastik yang menempel dengan permanen. Ketika si pemakai cadar terlibat dalam kegiatan sosial yang tentu saja hanya dilaksanakan oleh para wanita, maka cadar pun boleh dilepas. Memang, akibat misi musuh Islam tadi, cadar terasa aneh pada awalnya, namun ketika sudah membaur, rasa aneh itu akan hilang dengan sendirinya. Seperti yang penulis alami dari tahun 2005-2008 mondok di PP Ibnul Amin-Pamangkih (HST). Di pondok, penulis melihat langsung kehidupan sosial wanita bercadar di tengah-tengah masyarakat yang umumnya tidak mengenal cadar. Hampir tidak ada masalah sama sekali. Mereka sangat welcome dengan muslimah bercadar. Bahkan sangat dikagumi oleh masyarakat karena sikapnya yang sangat konsisten dengan syariat. Kegiatan-kegiatan sosial seperti Yasinan, Maulidan, Arisan, Ta’ziah, dll, aktif mereka ikuti.
Hal yang sama juga dirasakan ketika mulai memasuki bangku kuliah, terlihat mengagumkannya sosok mahasiswi yang bercadar di tengah-tengah kumpulan orang yang modern baik dosen, staf maupun yang lainnya yang mungkin sudah  mengenal akan cadar atau belum sama sekali bahkan merasa aneh dengan cadar yang menutupi wajahnya.
            Dalam kehidupan keluarga, mereka yang memiliki isteri bercadar, jauh lebih sayang terhadap isterinya dibanding mereka yang memiliki isteri tidak bercadar. Karena memang dengan cadar, kita merasa isteri kita sepenuhnya milik kita. Tidak ada yang bisa menikmatinya meskipun hanya lewat pandangan mata. Wajahnya terbuka untuk kita, namun tertutup untuk orang lain.
            Demikianlah Islam memuliakan wanita. Bak mutiara yang tinggi nilainya. Tidak sembarang orang boleh melihatnya. Tidak sembarang orang bisa memilikinya. Jauh dari sekadar mutiara, wanita shalihah jauh lebih mulia. Terlalu mahal, jika wajahnya dinikmati siapa saja.

            Allâhummaj’al Nisâ-anâ wa Nisâal-Muslimîn Mutahajjibât, Mutanaqqibât, Ghaira Mutabarrijât. Waj’alhunna Yâ  Allâh, kaNisâis ash-Shohâbah, walâ taj’alhunna kaNisâ-il-Jâhiliyyah.


No comments:

Post a Comment