PENDAHULUAN
Suatu fakta yang lumrah. Bila manusia selalu mencoba memalsukan sesuatu
yang berharga, seperti permata, berlian atau segala hasil kerja seni, dan
lain-lain. Bagi orang Islam selain Al-Quran tidak ada yang lebih berharga
dibandingkan dengan sunnah Nabi. Oleh sebab itu, dari motivasi dan untuk tujuan
berbeda, berbagai kelompok dan tingkatan manusia, telah memalsukan hadis Nabi. Banyak di antara mereka kelompok ortodoks,
dan lainnya adalah mereka yang telah kehilangan tanah airnya dan masih buta
huruf. Namun mereka terkadang berniat baik terhadap orang muslim dengan
pemalsuan hadis tersebut. Hadis palsu yang disandarkan kepada Nabi dapat
dikelompokkan pada dua kategori yaitu pemalsuan yang disengaja. Itu disebut
hadis maudhu dan pemalsuan yang tidak disengaja. Akibat yang ditimbulkan oleh
kedua kondisi ini adalah sam yaitu munculnya ungkapan palsu yang
disandarkan kepada Nabi.
Hadis
dhaif merupakan hadis yang tidak memenuhi beberapa persyaratan hadis shahih
misalnya karena tidak bersambung sanadnya (adam al- ittishal) tidak adil
dan tidak dapat diandalkan kekuatan daya ingat atau hafalan perawi dalam
seluruh sanadnya (‘adam ‘adl wa dhabith ar-ruwah), atau karena adanya
keganjilan baik dalam sanad atau matan, dan atau karena adanya cacat-cacat yang
tersembunyi baik dalam sanad maupun dalam matan.
Berbagai dampak positif yang terkandung dalam pernyataan-pernyataan hadis
lemah dan hadis palsu tidak dapat menghilangkan dampak negatifnya. Masyarakat
yang tingkat pengetahuan dan pendidikannya makin tinggi akan mempunyai kesan
yang salah tentang sumber ajaran Islam itu sendiri. Berbagai kritik negative
yang ditimbulkan oleh keyakinan masyarakat, khususnya umat Islam, tentang
ajaran Islam yang mereka pahami dari petunjuk-petunjuk hadis dhaif dan palsu. Kalaulah diakui bahwa sebagian hadis dhaif dan hadis palsu mengandung
petunjuk-petunjuk kebaikan, maka sesungguhnya apa yang dinyatakan sebagai
kebaikan itu masih perlu didiskusikan.
Pernyataan ini diajukan karena sumber ajaran Islam adalah wahyu Allah, baik yang bersifat matlu (yang dibaca, yakini
al-quran) maupun yang bersifat gair matlu (yang tidak dibaca, yaitu hadis nabi)
Oleh
karena demikian, penulis akan menjelaskan kembali mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan hadis dhaif dan hadis palsu (maudhu) secara mendetail.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadis dhaif
Dari segi bahasa dha’if berarti lemah lawan dari al-qawi
yang berarti kuat. Hadis dhaif ialah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat
bisa diterima. Mayoritas ulama menyatakan hadis dhaif yaitu hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat
shahih dan syarat-syarat hasan.[1]
Ulama hadis yang tergolong Muta’akhirin, misalnya Ibn al Shalah (w. 643H )
dan Al-Nawwi (w. 676 H). membagi kualitas hadis kepada tiga macam, yakni shahih, hasan dan dhaif. Dalam menerangkan hadis para ulama mendahulukan pengertian hadis shahih dan hadis hasan, kemudian
barulah mnerangkan pengertian hadis dhaif. Hal tersebut dapat di maklumi karena pengertian hadis
dhaif menurut mereka adalah hadis yang tidak memenuhi sebagian atau seluruh
syarat-syarat hadis shahih dan hadis hasan. Syarat-syarat hadis shahih dan
hadis hasan hampir sama. Perbedaan keduanya terletak pada tingkat kedhabithan
periwayat. Tingkat kedhabithan hadis shahih sempurna, sedang tingkat kedhabithan hadis hasan agak kurang sedikit lazim disebut
khafif al dhabith maksudnya, kesetiaan hapalan periwayat untuk hadis
hasan tidak sesempurna kesetiaan hafalan periwayat hadis shahih.
Adapun pengertian hadis shahih itu sendiri adalah hadis sanadnya bersambung sampai kepada
Nabi, diriwayatkan oleh orang-orang yng bersifat adil dan dhabith, terhindar
dari kejanggalan (syadz) dan cacat (illat). Tiga butir syarat yang disebutkan pertama berkaitan
dengan sanad (termasuk para periwayat), sedang dua butir berikutnya berkaiatan dengan sanad dan matan hadis. Jadi
keshahihan suatu hadis tidak hanya ditentukan oleh sanadnya saja, tetapi juga
ditentukan oleh matannya. Apabila bobot ke-dha’ifan sanad terlalu parah
misalnya adanya sanad yang sering kacau hapalannya, maka kualitas hadis yang
bersangkutan dinyatakan kualitas dha’if termasuk matannya. Ulama hadis
berpendirian demikian karena periwayat yang sering kacau hapalannya sulit
dipercaya apa yang diriwayatkannya. Kekacauan tentang apa yang diriwayatkannaya
itu dapat saja terjadi dalam sanad, matan, atau dalam
sanad dan matan sekaligus.[2]
Para muhadditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadis dari dua
jurusan. Yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan. Dari jurusan sanad
diperinci menjadi dua bagian yaitu
sebagai berikut :
Pertama, terwujudnya cacat-cacat
pada rawinya, baik tentang keadilannya maupun kehafalannya, seperti dusta,
tertuduh dusta, fasik, banyak salah, lengah dalam menghafal, banyak waham,
menyalahi orang kepercayaan, tidak diketahui identitasnya, penganut bid’ah dan
tidak baik hafalannya.
Kedua, tidak bersambungnya sanad, dikarenakan adanya seorang rawi atau lebih,
yang digugurkan atau saling tidak bertemunya satu dengan yang lainnya.
Sebab-sebab tertolaknya hadis karena sanad digugurkan (tidak bersambung)
1. Kalau yang digugurkan itu sanad pertama
2. Kalau yang digugurkan itu sanad terakhir (sahabat)
Dari jurusan matan, hadis dhaif yang disebabkan suatu sifat yang terdapat
pada matan ialah:
a. Hadis maufuq ialah hadis yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan
maupun ketetapan baik sanadnya bersambung atau tidak, dengan syarat sunyi dari
tanda-tanda marfu’. Kalau tidak sunyi maka hukumnya marfu’. Seperti riwayat Bukhari :” adalah Ibnu Umar dan Ibnu Abbas keduanya berbuka puasa dan
meringkas shalat pada perjalanan empat burad (12 mil).
b. Hadis
maqthu ialah hadis yang disandarkan kepada tabiin dan orang-orang yang datang
sesudahnya, baik berupa perkataan, perbuatan maupu ketetapan, baik sanadnya
bersambung atau tidak, tetapi dengan syarat sunyi dari tanda-tanda marfu’ dan
mauquf. Contohnya : perkataan
tabiin”berbuat demikian”.[4]
Contoh
hadis dhaif :
من قا م ليلتي العيد ين محتسبا الله لم يمت قلبه يو م تمو ت
Artinya: Barang siapa
menyamarakkan malam dua hari raya hanya semata-mata mengharap ridha Allah, maka hatinya tidak akan mati di hari ketika manusia mati.
Hadis ini sangat dhaif. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Majah dengan sanad dari buqayah
bin al-walid, dari Tsur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan, dari Abu Umamlah r.a,
sanad riwayat ini dhaif dikarenakan Buqayah dikenal sebagai orang yang suka
mencampur adukkan perawi, dengan demikian yang dinyatakan al-Hafizh al-Iraqi
dalam Tahrij alIhyanya.[5]
2. Hukum Periwayatan
Hadis Dhaif
Ulama
hadis mengingatkan agar orang yang meriwayatkan hadis dhaif tanpa sanad tidak meriwayatkan dengan redaksi
yang menunjukkan kemantapan penuh bahwa ia merupakan hadis. Sehingga ia tidak diperkenankan mengatakan Rasulullah SAW. Menyabdakan begini-begini”dan sejenisnya. Bahkan Ia harus
meriwayatkan dengan redaksi yang menujukkan keraguan akan keshahihannya
misalnya; ruwiya (diriwayatkan) ja’a (datang), nuqila (di pindahkan), fima
yurwa. (pada sesuatu yang diriwayatkan) dan sejenisnya. Adapun meriwayatkan
hadis-hadis dhaif lengkap dengan sanadnya tidak di makruhkan menggunakan
redaksi yang menunjukkan kemantapan, bila diriwayatkan kepada ahli ilmu. Bila
diriwayatkan kepada orang awam, maka menggunakan redaksi yang tidak menunjukkan
kemantapan penuh, sama seperti ketika meriwayatkan tanpa sanad.[6] Para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadis dhaif
sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat:
a. Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
b. Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, Tetapi berkaitan dengan masalahh mau’izhah,
targhib watarhib (hadis-hadis tentang ancaman dan janji), kisah-kisah dan lain-lain.
Berbeda dengan meriwayatkan hadits shahih, harus menggunakan kata aktif yang meyakinkan Rasulullah SAW bersabda…….. makruh
meriwayatkan dengan menggunakan bentuk kata pasif seperti hadis dhaif. Kecuali
jika hadis dhaif diriwayatkan dengan menyebutkan sanad, sebaiknya dengan menggunakan bentuk kata aktif dan meyakinkan ketika dikonsumsi oleh kalangan ahli ilmu dan
untuk kalangan orang umum boleh dengan menggunakan bentuk pasif tidak
sebagaimana tanpa sanad.[7]
3. Hukum pengamalan hadis dhaif
Para ulama berbeda pendapat dalam pengamalan hadis dhaif. Perbedaan itu dapat
dibagi menjadi tiga pendapat yaitu:
a. Hadis dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak baik mengenai fadhilah amal maupun dalam hukum. Ini diceritakan oleh Ibnu Sayyid an-nas dari Yahya bin Ma’in dan pendapat inilah yang dipilih Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazam.
b. Hadis dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhilah amal atau
dalam masalah hukum (ahkam). Pendapat Abu Daud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadis
dhaif lebih kuat dari pada pendapat ulama.
c. Hadis
dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-amal, mau’izah, targhib (janji-janji yang
menggemparkan) dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa
persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani yaitu
sebagai berikut:
1). Tidak
terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadis mawdhu’) atau dituduh
dusta (hadis matruk), orang yang daya ingat hapalannya sangat kurang dan berlaku
fasik dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadis munkar)
2). Masuk kedalam kategori hadis yang diamalkan
(ma’mul bih) seperti hadis muhkan (hadis maqbul yang tidak terjadi pertentangan
dengan hadis lain), nasikh (hadis yang membatalkan hukum pada hadis sebelumnya)
dan rajah (hadis yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).
3). Tidak diyakinkan secara unggul yakin kebenaran hadis dari nabi, tetapi karena
berhati-hati semata atau ikhtiyath.[8]
Hadis-hadis dha’if banyak terdapat pada sebagian karya berikut ini:
a. Ketiga mu;jani, at-thabari, al-kabir, al-awsat, as-shaghir.
b.
Kitab al-afrad, karya ad-daruquthni. Didalam hadis-hadis afrad terdapat
hadis-hadis al-fardu al-muthlaq dan al-frdu an-nisbi.
c. Kumpulan karya al-khathib al-baghdadi.
B. Pengertian Hadis Maudhu
Mudhu menurut bahasa adalah sesuatu yang diletakkan. Sedangkan diletakkan,
dibiarkan, digugurkan, ditinggalkan, dan dibuat-buat. Sedangkan menurut istilah
maudhu adalah sesuatu yang disandarkan kepada rasul SAW secara mengada-ada dan
bohong dari apa yang tidak dikatakan beliau atau tidak dilakukan atau tidak
disetujuinya. Sebagian ulama mengartikan bahwa hadis maudhu adalah hadis yang diadaadakan, dibuat, dan didustakan
seseorang pada Rasulullah SAW. Jadi hadis mudhu adalah hadis bohong atau hadis
palsu, bukan dari Rasulullah tetapi dikatakan dari Rasulullah oleh seseorang pembohong. Oleh karena itu, sebagian ulama ada yang tidak
memasukkannya bagian di hadis dhaif karena bukan hadis dalam arti yang
sebenarnya dan ada pula yang memasukkannya, karena walaupun dikatakan hadis
tetapi palsu dan bohong dalam arti palsu dan bohong ini meniadakan makna hadis.
Contoh hadis maudhu:
من ا عتكف عشر ا في ر مضان كان كحجتين وعمرت
Artinya: “Barang siapa melakukan i’tikap pada sepuluh hari terakhir bulan ramadhan,
maka baginya pahala dua ibadah haji dan dua ibadah umrah.
Telah diriwayatkan oleh al-baihaqi dalam Asy-Syi’b dengan sanad dari Husain
bin Ali ra. Al-baihaqi berkata, “ sanad
riwayat ini dha’if, sebab salah seorang perawinya yang bernama Muhammad bin
Zadan ditolak riwayatnya oleh jumhur ahli hadis. “ Imam Bukhari juga menyatakan
mengenai Muhammad bin Zadan ini. Riwayat yang dibawanya tidaklah diterima dan tidak ada yang mencatatnya”. Selain itu perawi sanad yang lain, Anbsah bin Abdur Rahman, dinyatakan oleh jumhur
muhadditsin sebagai tukang memalsukan hadis. Diantaranya Imam Bukhari sendiri menyatakan, “
tidak ada satu pun ulama ahli hadis yang menerima riwayatnya”. Mengenai Anbasah Abu Hatim dengan tegas menyatakannya sebagai pemalsu riwayat.
Wallahu a’lam.[10]
2. Hukum meriwayatkan hadis maudhu
Umat Islam telah sepakat bahwa meriwayatkan hadis mudhu ‘adalah hukumnya secara
mutlak tidak ada perbedaan antara mereka. Menciptkan hadis maudhu sama dengan mendustakan kepada Rasulullah. Karena perkataan itu dari pencipta sendiri atau dari perkataan orang lain
kemudian diklaim Rasulullah yang menyabdakan berarti ia berdusta atas nama Rasulullah. Orang yang demikian di ancam dengan api
neraka, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya, barang siapa yang mendustakanku dengan sengaja, maka hendaklah siap-siaplah tempat
tinggalnya didalam neraka.[11]
Jumhur ahli hadis juga berpendapat, bahwa berdusta termasuk dosa besar.
Semua ahli hadis menolak khabar pendusta. Bahkan Syeikh Abu Muhammad
al-juwainiy mengkafirkan pemalsu hadis. Semua hadis maudhu bathil lagi tertolak
dan tidak bisa dijadikan pegangan, karena merupakan kedustaan atas diri rasul saw.
Disamping sepakat mengenai keharaman membuat hadis palsu, ulama juga
sepakat mengenai keharaman meriwayatknnya, tanpa
menjelaskan kemaudhuannya dan kedustaannya. Mereka tidak memperbolehkan meriwayatkan sedikit pun hadis palsu,
baik berkenaan dengan kisah, tarhib, targthib, hukum-hukum ataupun tidak,
berdasarkan sabda Rasulullah saw :
من احدث عني بحد ير انه كذب
فهواحدالكاذبين
Artinya:” Barang siapa yang meriwayatkan dariku sebuah hadis dan
terlihat bahwa hadis itu dusta, maka ia juga termasuk satu diantara para pendusta”.
3. Tanda-tanda hadis maudhu
Hadis maudhu dapat diketahui melalui tanda-tandanya baik yang ada pada sanad maupun pada matan. Tanda-tanda maudhu pada sanad,
diantaranya sebagai berikut:
a.
Pengakuan dari orang yang membuat sendiri
Sebagaimana pengakuan abdul Karim bin Abu Al-Auja ketika akan dihukum mati ia mengatakan: “ demi Allah
aku palsukan padamu 4000 buah hadis. Di dalamnya aku haramkan yang halal dan
aku halalkan yang haram”. Kemudian dihukum pancung lehernya atas instruksi
Muhammad bin Sulaiman bin Ali gubernur Basrah (160-173 H). Maysarah bin Abdi Rabbih al-Farisi mengaku banyak membuat
hadis maudhu lebih dari 70 hadis. Demikian Abu Ishmah bin Maryam yang bergelar Nuh Al-Jami mengaku banyak membuat hadis
maudhu yang disandarkan kepada abbas tentang keutamaan al-quran.
b.
Adanya bukti (qarinah) mengenai pengakuan
Seperti seorang yang meriwayatkan hadis dengan ungkapan yang mantap serta
meyakinkan (jazam) dari seorang syeikh padahal dalam sejarah ia tidak pernah bertemu atau dari seorang
syeikh di suatu negeri yang ia tidak pernah ke sana atau seorang syeikh yang
telah wafat sementara ia masih kecil atau belum lahir.
Ma’mun bin ahmad al-kharawi mengaku mendengar hadis dari Hisyam bin Hammar. Al-hafizh bin Hibban bertanya:’ kapan anda
datang ke Syam?”, Ma’mun menjawab: “ pada tahun 250 H. “ Ibnu Hibban menjelaskan bahwa Hisyam bin Amar meninggal pada tahun 245 H.
sambut Ma’mun :” Hisyam bin Amar yang lain. Hal ini menunjukkan adanya
pengakuan bahwa ia tidak pernah bertemu dengan Hisyam bin Amar.
c.
Adanya bukti pada perawi
Adanya indikasi pada perawi yang menujukkan akan kepalsuannya, misalnya
seorang perawi yang rafidhah dan hadisnya berisikan tentang keutamaan ahlul
baith.
d.
Kedustaan perawi
Seorang perawi yang dikenal dusta meriwayatkan suatu hadis sendirian dan
tidak ada seorang tsiqah yang meriwayatkannya.[12]
4. Tanda-tanda maudhu pada matan
a. Lemah susunan lafal dan maknanya
Dari segi maknanya, maka hadis itu bertentangan dengan al-quran, hadis,
dengan ijma dan logika yang sehat.[13]
Secara logis tidak di benarkan bahwa ungkapan itu datang dari Rasul. Banyak hadis-hadis
panjang yang lemah susunan bahasa dan maknanya. Seorang yang memiliki ketajaman
dalam memahami hadis dari Nabi atau bukan hadis maudhu ini bukan bahasa Nabi yang mengandung sastra (fashahah), karena sangat rusak susunanya, Ar-Rabi’ bin Khats yang berkata: sesungguhnya hadis itu bercahaya seperti cahaya kami
mengenalnya dan memilki kegelapan bagaikan gelap malam kami menolaknya.
Hadis palsu jika diriwayatkan secara eksplisit bahwa ini lafal dari Nabi dapat terdeteksi oleh pakar
yang dalam bidangnya sehingga tercium bahwa ini hadis yang sesungguhnya dan hadis palsu. Jika tidak
dinyatakan secara eksplisit, menurut Hajar al-Asqalani, hadis itu dikembalikan kepada maknanya yang rusak, karena bisa
jadi ia beralasan Riwayah Abi Al-Ma’na atau tidak bisa menyusunnya
secara baik
b. Rusak maknanya
Maksud rusak maknanya karena bertentangan dengan rasio yang sehat,
menyalahi kaidah kesehatan, mendorong pelampiasan biologis seks dan lain-lain
dan tidak bisa ditakwilkan.
Contoh:
النظرال الوجه الحسن يجاوالبصر
والنظرال الوجه القبيح يورث الكا ح
Artinya:” Memandang wajah yang cantik dapat menerangkan mata, memandang
wajah yang jelek dapat menyebabkan sedih”.[14]
c. Bertentangan teks Al-Qur’an atau hadis mutawatir
Contoh yang bertentangan dengan Al-Quran adalah tentang jangka usia dunia,
yaitu tujuh ribu tahun. Ini jelas tidak shahih, tentu semau orang akan mengerti
kapan kiamat tiba. Padahal Allah Azza Wa Jalla berfirman:
y7tRqè=t«ó¡o„ Ç`tã Ïptã$¡¡9$# tb$ƒr& $yg8y™óßD (
ö@è% $yJ¯RÎ) $ygãKù=Ïæ y‰ZÏã ’În1u‘ (
Ÿw
$pkŽÏk=pgä† !$pkÉJø%uqÏ9 žwÎ) uqèd 4
ôMn=à)rO ’Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur 4
Ÿw
öä3‹Ï?ù's? žwÎ) ZptGøót 3
y7tRqè=t«ó¡o„ y7¯Rr(x. ;’Å"ym $pk÷]tã (
ö@è% $yJ¯RÎ) $ygßJù=Ïæ y‰ZÏã «!$# £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ
Artinya:”Mereka
menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah:
"Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku;
tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat
itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat
itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". mereka
bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya
pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan
manusia tidak Mengetahui".(QS. Al-Araf:187)[15].
Contoh hadis maudhu yang
bertentangan dengan hadis mutawatir:
وان كل من يسمي بهذه السماء (محمدواحمد)لآيدخل
نار
Artinya:” Bahwa setiap orang dinamakan dengan nama-nama (Muhammad Ahmad dan semisalnya) ini, tidak akan
dimaksukkan ke neraka.”
Contoh hadis palsu yang bertentangan dengan hadis shahih
adalah hadis-hadis tentang pujian terhadap perang yang namanya Muhammad atau
Ahmad dan bahwa orang-orang yang
namanya seperti itu tidak akan masuk neraka. Jadi hadis tersebut jelas
bertentangan dengan ajaran agama, bahwa neraka tidak akan terpengaruh oleh
nama-nama tertentu. untuk selamat darinya hanya bisa dilakukam dengan beriman
dan beramal shaleh.[16]
Setiap hadis yang meriwayatkan Ali
adalah shahih yang menyatakan wasiat khalifah ada pada Ali r.a. tidaklah
shahih. Karena ia bertentangan dengan ijma’ ulama, bahwa nabi SAW
tidak menegaskan siapa yang akan mengganti beliau.
d. Menyalahi realita sejarah
Misalnya hadis yang menjelaskan
bahwa Nabi memungut jizyah (pajak)
para penuduk khaibar dengan di saksikan oleh Sa’ad bin Mu’ads
padahal Sa’ad telah meninggal pada masa perang khandaq sebelum kejadian
tersebut.
e. Hadis sesuai dengan mazhab
perawi
misalnya, hadis yang
diriwayatkan oleh Habbah bin Juwaihi, ia berkata: saya
mendengar Ali berkata
عبدت الله مع ر سوله قبل ان يعبده ااحدمن هذه الا مة خمس سنين
اوسبع سنين
artinya:” Aku menyembah
Tuhan bersama Rasul-Nya sebelum menyembah-Nya
seorang pun dari umat ini lima atau tujuh tahun.”
Hadis ini mengkultuskan Ali sesuai dengan prinsip madzhab syiah, tetapi
mengkultuskan itu juga tidak masuk akal, bagaimana Ali beribadah bersama rasul
lima atau tujuh tahun sebelum umat ini.
f.
Mengandung
pahala yang berlebih bagi amal yang kecil.
Biasanya motif pemalsuan hadis
ini disampaikan para tukang kisah yang ingin menarik perhatian para pendengarnya atau
agar menarik pendengar agar melakukan amal saleh. Tetapi memang tinggi dalam membesarkan suatu amal kecil dengan pahala yang berlebihan.
Misalnya:
من صل الضفي كذاوكذاركعة
اعطي ثواب سبعين نبيا
g.
Sahabat
dituduh menyembunyikan hadis
Sahabat dituduh menyembunyikan
hadis dan tidak menyampaikan atau tidak meriwayatkan kepada orang lain, padahal
hadis itu secara transparan harus disampaikan Nabi saw, misalnya, nabi memegang
tangan Ali bin Abi Thalib di hadapan para sahabat semua, kemudian bersabda: ini
wasiatku dan saudaraku dan khalifah setelah aku. Seandainya ini benar wasiat
dari Nabi SAW tentu banyak diantara para sahabat yang meriwayatkannya, karena
masalahnya adalah untuk kepentingan umum yakni kepemimpinan. Tidak mungkin para
sahabat diam tidak meriwayatkan jika hal itu terjadi benar pada diri Rasulullah.
5. Usaha para ulama dalam
mengatasi hadis palsu
Ada beberapa usaha yang
dilakukan para ulama dalam menanggulangi hadis maudhu, dengan tujuan agar hadis
tetap eksis terpelihara dan bersih dari pemalsuan tangan orang-orang kotor.
Disamping itu agar lebih jelas posisi hadis maudhu tidak tercampur dengan hadis-hadis shahih. Diantara
usaha-usaha itu adalah:
a. Memelihara sanad hadis
Dalam rangka memelihara sunnah siapa
saja yang mengaku mendapat sunnah harus disertai sanad. jika tidak disertai
dengan sanad, maka suatu hadits tidak dapat
di terima. Abdullah bin Al-Mubarok berkata : yang mencari agamanya tanpa sanad
bagaikan orang yang naik loteng tanpa tangga. keharusan sanad dalam menerima
hadis bukan pada orang-orang khusus saja, bagi masyarakat umum pun pada saat
itu mengharuskan menerimanya dengan sanad. Hal ini mulai berkembang sejak
masa tabi’in, hingga merupakan suatu
kewajiban bagi ahli hadis menerangkan sanad hadis yang ia riwayat kan.
b. Meningkatkan kesungguhan
penelitian
Sejak masa sahabat dan tabi’in,
mereka telah mengadakan penelitian dan pemeriksaan hadis yang mereka dengar dan
yang mereka terima dari sesamanya. Jika hadis yang mereka terima itu meragukan
atau datang bukan dari sahabat yang
langsung terlibat dalam permasalahan hadis, segera mereka melakukan rihlah
(perjalanan) sekalipun dalam jarak jauh untuk mengecek kebenarannya kepada para
sahabat senior atau yang terlibat dalam kejadian hadis.
Hasilnya mereka bukukan dalam
berbagai buku hadis seperti buku hadis induk enam atau tujuh. Imam syafie
menulis ar-risalah dan al-umm yang memuat ulumul hadis, at-tirmidzi dalam
akhir kitab jami-nya.[18]
c. Mengisolir para pendusta hadis
Para ulama berhati-hati dalam
menerima dan meriwayatkan hadis. Orang-orang yang dikenal sebagai pendusta
hadis dijauhi dan masyarakat pun di jauhkan dari padanya. Semua ahli hadis juga
menyampaikan hadis-hadis maudhu dan pembuatnya itu kepada murid-muridnya, agar mereka
menjauhi dan tidak meriwayatkan hadis dari padanya. Diantara para ulama yang dikenal menentang para maudhu
adalah Amir Asy-Sya’bi, Syu’bah bin Al-Hajj, Sufyan
Ats-Tsauri, Abdullah bin Mubarak dll.
d. Menerangkan keadaan para perawi
Para ahli hadis
berusaha menelusuri sejarah kehidupan baik mulai dari lahir hingga wafat atau
pun dari segi-segi sifat-sifat para perawi hadis, dari yang jujur, adil, dan dhabit
dan sebaliknya. Sehingga dapat dibedakan mana hadis shahih dan mana
hadis yang palsu. Hasilnya mereka himpun dalam buku Rijal Al-Hadis dan Al-Jarrh
wa At-Ta’dil sehingga oleh generasi berikutnya.
e. Memberikan kaidah-kaidah hadis
Para ulama meletakkan
dasar-dasar secara metodelogis tentang penelitian hadis untuk menganalisa otensitasnya
sehingga dapat diketahui mana shahih, hasan, dhaif dan maudhu. Kaidah-kidah itu
dijadikan standar penilaian suatu hadis menurut kriteria sebagai hadis yang
diterima atau ditolak.[19]
6. Para pendusta dan kitab-kitab
hadis maudhu
Diantara pendusta hadis yang diketahui setelah
melakukan penelitian yang dilakukan para ulama adalah sebagai berikut:
a. Aban bin Jafar Al-Numaiqi,
membuat 300 hadis yang disandarkan kepada abu hanifah
b. Ibrahim bin Zaid Al-Aslami, membuat
hadis disandarkan dari malik.
c. Ahmad bin Abdullah Al-Juwaini,
yang membuat beribu-ribu hadis kepentingan al-karramiyah
d. Jabir bin Zaid Al-Juafi,
membuat 30.000 hadis
e. Nuh bin Abu Maryam membuat hadis maudhu tentang
fadhail surah-surah dalam Al-Quran
f.
Muhammad bin
Syuja Al-Wasithi, Al-Harits bin Said Al-Mashlub, Al-Waqidi Muqatil bin
sulaiman, Muhammad bin Saad Al-Mashlub, Al-Waqidi dan Ibnu Abu Yahya.
Diantara kitab-kitab yang memuat hadis maudhu
adalah sebagai berikut:
a. Tadzkirah al-maudhuat, karya Abu
al-Fadhal Muhammad bin Thahir al-Maqdisi (448-507 H) didalam kitab ini
disebutkan nama perawi yang dinilai cacat (tarjih)
b. Al-Maudhu’at al-Kubra, karya
Abu al-Faraj Abdurrahman al-Jauzi (508-597)
c. Al-La’ali al-Mashnu’ah fi
al-Maudhu’ah, karya Jalaluddin as-Suyuti (849-911 H)
d. Al-ba’its ‘ala al-Khalash Min
Hawadits al-Qashash, karya Zainuddin Abdurahman al-Iaraqi(725-806 H)
e. Al-fawa’id al-Majmu’ah fi al-Ahadits
al-Mawdhu’ah, karya al-Qadhi Abu Abdullah Muhammad Asy-Syaukani (1173-1255 H).
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi sebagian atau seluruh
syarat-syarat hadis sahih dan hadis hasan.
2. Hukum
periwayatan hadis dha’if, para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadis dha’if
sekalipun tanpa menjelaskan kedha’ifanya dengan dua syarat: Tidak berkaitan
dengan akidah seperti sifat-sifat Allah dan tidak menjelaskan hukum syara’ yang
berkaitan dengan halal haram.
3. hadis
dha’if tidak bisa diamalkan secara mutlak baik mengenai fadhail amal maupun
dalam hukum, Hadis dha’if dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail
al-a’mal atau dalam masalah hukum {akham}, Hadis dha’if dapat diamalkan dalam
fadhail al-a’mal,mau’izhah,targhib dan tarhib.
4. Hadis maudhu adalah hadis yang diada-adakan, dibuat, dan didustakan seseorang pada
Rasulullah saw.
5. Hukum meriwayatkan hadis maudhu: hukumnya haram secara mutlak tidak ada
perbedaan antara mereka.
6. Tanda-tanda hadis maudhu pada:
a.
Sanad : pengakuan dari orang yang membuat sendiri, adanya
bukti (qarinah) mengenai pengakuan, adanya bukti pada keadaan perawi, kedustaan
perawi.
b. Matan :
lemah susunan lafal dan maknanya, rusak maknanya, bertentangan teks Al
Quran atau hadis mutawatir,menyalahi realita sejarah, hadis sesuai dengan
mazhab perawi, mengandung pahala yang berlebihan bagi amal yang kecil dan
sahabat dituduh menyembunyikan hadis.
7. Usaha para ulama dalam mengatasi hadis palsu : memelihara sanad hadis,
meningkatkan kesungguhan penelitian, mengisolir para pendusta hadis, menerangkan keadaan para perawi dan
memberikan kaidah-kaidah hadis.
DAFTAR PUSTAKA
Ajaj, Muhammad
Al-Khathib, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Jakarta, Dar
al-Fikr, 1998.
Al-Qaththan, Manna,
Pengantar Studi Ilmu Hadis, Jakarta,
Pustaka Al kausar, 2004.
Hasan, Hafid
al-Mas’udi, Ilmu Musthalah Hadis, Surabaya, Al Hikmah, tth.
http://nabildaffa.blogspot.com/2012/01/hadis-maudhu-dan-permasalahannya.html.
Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi
Menurut Pembela, Pengikar, dan Pemalsunya. Jakarta:
Gema Insani Press, 1995.
Nashiruddin, Muhammad
af-Albni, Sisilah hadis Dha’if dan Maudhu, Jakarta, Gem Insani Press,
1997.
Rahman, Fatchur,
Ikhtisar Mushthalahul Hadis, Bandung, PT. Alma Arif, 1974.
Yunus, Mahmud,
Terjemah Al-Qur’an al-Karim, Bandung, PT
Al-Ma’rif, 1986.
[1]
Muhammad Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits
Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta, Dar al-Fikr, 1998), hal 304.
[2]
Syuhudi Ismail, Hadits Nabi menurut Pembela,
Pengingkar, dan Pemalsunya, (Jakarta, Gema Insane Press, 1995), hal 53-54.
[5]
Muhammad Nashiruddin af-Albni, Sisilah
hadis Dha’if dan Maudhu, (Jakarta, Gem Insani Press, 1997), hal 23-24.
[9]
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi
Ilmu Hadis, (Jakarta,
Pustaka Al kausar, 2004), hal 132.
No comments:
Post a Comment