Friday, October 2, 2015

hadis dhaif dan hadis palsu (maudhu)



PENDAHULUAN
Suatu fakta yang lumrah. Bila manusia selalu mencoba memalsukan sesuatu yang berharga, seperti permata, berlian atau segala hasil kerja seni, dan lain-lain. Bagi orang Islam selain Al-Quran tidak ada yang lebih berharga dibandingkan dengan sunnah Nabi. Oleh sebab itu, dari motivasi dan untuk tujuan berbeda, berbagai kelompok dan tingkatan manusia, telah memalsukan hadis Nabi. Banyak di antara mereka kelompok ortodoks, dan lainnya adalah mereka yang telah kehilangan tanah airnya dan masih buta huruf. Namun mereka terkadang berniat baik terhadap orang muslim dengan pemalsuan hadis tersebut. Hadis palsu yang disandarkan kepada Nabi dapat dikelompokkan pada dua kategori yaitu pemalsuan yang disengaja. Itu disebut hadis maudhu dan pemalsuan yang tidak disengaja. Akibat yang ditimbulkan oleh kedua kondisi ini adalah sam yaitu munculnya ungkapan palsu yang disandarkan kepada Nabi.
Hadis dhaif merupakan hadis yang tidak memenuhi beberapa persyaratan hadis shahih misalnya karena tidak bersambung sanadnya (adam al- ittishal) tidak adil dan tidak dapat diandalkan kekuatan daya ingat atau hafalan perawi dalam seluruh sanadnya (‘adam ‘adl wa dhabith ar-ruwah), atau karena adanya keganjilan baik dalam sanad atau matan, dan atau karena adanya cacat-cacat yang tersembunyi baik dalam sanad maupun dalam matan.
Berbagai dampak positif yang terkandung dalam pernyataan-pernyataan hadis lemah dan hadis palsu tidak dapat menghilangkan dampak negatifnya. Masyarakat yang tingkat pengetahuan dan pendidikannya makin tinggi akan mempunyai kesan yang salah tentang sumber ajaran Islam itu sendiri. Berbagai kritik negative yang ditimbulkan oleh keyakinan masyarakat, khususnya umat Islam, tentang ajaran Islam yang mereka pahami dari petunjuk-petunjuk hadis dhaif dan palsu. Kalaulah diakui bahwa sebagian hadis dhaif dan hadis palsu mengandung petunjuk-petunjuk kebaikan, maka sesungguhnya apa yang dinyatakan sebagai kebaikan itu masih perlu didiskusikan. Pernyataan ini diajukan karena sumber ajaran Islam adalah wahyu Allah, baik yang bersifat matlu (yang dibaca, yakini al-quran) maupun yang bersifat gair matlu (yang tidak dibaca, yaitu hadis nabi)
Oleh karena demikian, penulis akan menjelaskan kembali mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hadis dhaif dan hadis palsu (maudhu) secara mendetail.

PEMBAHASAN
       A.  Pengertian  Hadis dhaif
Dari segi bahasa dha’if berarti lemah lawan dari al-qawi yang berarti kuat. Hadis dhaif ialah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat bisa diterima. Mayoritas ulama menyatakan hadis dhaif yaitu hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat shahih dan syarat-syarat hasan.[1]
Ulama hadis yang tergolong Muta’akhirin, misalnya Ibn al Shalah (w. 643H ) dan Al-Nawwi (w. 676 H). membagi kualitas hadis kepada tiga macam, yakni shahih, hasan dan dhaif. Dalam menerangkan hadis para ulama mendahulukan pengertian hadis shahih dan hadis hasan, kemudian barulah mnerangkan pengertian hadis dhaif. Hal tersebut dapat di maklumi karena pengertian hadis dhaif menurut mereka adalah hadis yang tidak memenuhi sebagian atau seluruh syarat-syarat hadis shahih dan hadis hasan. Syarat-syarat hadis shahih dan hadis hasan hampir sama. Perbedaan keduanya terletak pada tingkat kedhabithan periwayat. Tingkat kedhabithan hadis shahih sempurna, sedang tingkat kedhabithan  hadis hasan agak kurang sedikit lazim disebut khafif al dhabith maksudnya, kesetiaan hapalan periwayat untuk hadis hasan tidak sesempurna kesetiaan hafalan periwayat hadis shahih.
Adapun pengertian hadis shahih itu sendiri adalah hadis sanadnya bersambung sampai kepada Nabi, diriwayatkan oleh orang-orang yng bersifat adil dan dhabith, terhindar dari kejanggalan (syadz) dan cacat (illat). Tiga butir syarat yang disebutkan pertama berkaitan dengan sanad (termasuk para periwayat), sedang dua butir berikutnya berkaiatan dengan sanad dan matan hadis. Jadi keshahihan suatu hadis tidak hanya ditentukan oleh sanadnya saja, tetapi juga ditentukan oleh matannya. Apabila bobot ke-dha’ifan sanad terlalu parah misalnya adanya sanad yang sering kacau hapalannya, maka kualitas hadis yang bersangkutan dinyatakan kualitas dha’if termasuk matannya. Ulama hadis berpendirian demikian karena periwayat yang sering kacau hapalannya sulit dipercaya apa yang diriwayatkannya. Kekacauan tentang apa yang diriwayatkannaya itu dapat saja terjadi dalam sanad, matan, atau dalam sanad dan matan sekaligus.[2]
Para muhadditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadis dari dua jurusan. Yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan. Dari jurusan sanad diperinci menjadi dua bagian yaitu sebagai berikut :
           Pertama, terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilannya maupun kehafalannya, seperti dusta, tertuduh dusta, fasik, banyak salah, lengah dalam menghafal, banyak waham, menyalahi orang kepercayaan, tidak diketahui identitasnya, penganut bid’ah dan tidak baik hafalannya.
              Kedua, tidak bersambungnya sanad, dikarenakan adanya seorang rawi atau lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemunya satu dengan yang lainnya.
           Sebab-sebab tertolaknya hadis karena sanad digugurkan (tidak bersambung)
     1.    Kalau yang digugurkan itu sanad pertama
     2.    Kalau yang digugurkan itu sanad terakhir (sahabat)
     3.    Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut.[3]
Dari jurusan matan, hadis dhaif yang disebabkan suatu sifat yang terdapat pada matan ialah:
       a. Hadis maufuq ialah hadis yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan baik sanadnya bersambung atau tidak, dengan syarat sunyi dari tanda-tanda marfu’. Kalau tidak sunyi maka hukumnya marfu’. Seperti riwayat Bukhari :” adalah Ibnu Umar dan Ibnu Abbas keduanya berbuka puasa dan meringkas shalat pada perjalanan empat burad (12 mil).
       b. Hadis maqthu ialah hadis yang disandarkan kepada tabiin dan orang-orang yang datang sesudahnya, baik berupa perkataan, perbuatan maupu ketetapan, baik sanadnya bersambung atau tidak, tetapi dengan syarat sunyi dari tanda-tanda marfu’ dan mauquf. Contohnya : perkataan tabiin”berbuat demikian”.[4]
Contoh hadis dhaif :
من قا م ليلتي العيد ين محتسبا الله لم يمت قلبه يو م تمو ت
Artinya: Barang siapa menyamarakkan malam dua hari raya hanya semata-mata mengharap ridha Allah, maka hatinya tidak akan mati di hari ketika manusia mati.
Hadis ini sangat dhaif. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Majah dengan sanad dari buqayah bin al-walid, dari Tsur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan, dari Abu Umamlah r.a, sanad riwayat ini dhaif dikarenakan Buqayah dikenal sebagai orang yang suka mencampur adukkan perawi, dengan demikian yang dinyatakan al-Hafizh al-Iraqi dalam Tahrij alIhyanya.[5]
     2.    Hukum Periwayatan Hadis Dhaif
Ulama hadis mengingatkan agar orang yang meriwayatkan hadis dhaif  tanpa sanad tidak meriwayatkan dengan redaksi yang menunjukkan kemantapan penuh bahwa ia merupakan hadis. Sehingga ia tidak diperkenankan mengatakan Rasulullah SAW. Menyabdakan begini-begini”dan sejenisnya. Bahkan Ia harus meriwayatkan dengan redaksi yang menujukkan keraguan akan keshahihannya misalnya; ruwiya (diriwayatkan) ja’a (datang), nuqila (di pindahkan), fima yurwa. (pada sesuatu yang diriwayatkan) dan sejenisnya. Adapun meriwayatkan hadis-hadis dhaif lengkap dengan sanadnya tidak di makruhkan menggunakan redaksi yang menunjukkan kemantapan, bila diriwayatkan kepada ahli ilmu. Bila diriwayatkan kepada orang awam, maka menggunakan redaksi yang tidak menunjukkan kemantapan penuh, sama seperti ketika meriwayatkan tanpa sanad.[6] Para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadis dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat:
       a.   Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
       b.   Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, Tetapi berkaitan dengan masalahh mau’izhah, targhib watarhib (hadis-hadis tentang ancaman dan janji), kisah-kisah dan lain-lain.
Berbeda dengan meriwayatkan hadits shahih, harus menggunakan kata aktif yang meyakinkan Rasulullah SAW bersabda…….. makruh meriwayatkan dengan menggunakan bentuk kata pasif seperti hadis dhaif. Kecuali jika hadis dhaif diriwayatkan dengan menyebutkan sanad, sebaiknya dengan menggunakan bentuk kata aktif dan meyakinkan ketika dikonsumsi oleh kalangan ahli ilmu dan untuk kalangan orang umum boleh dengan menggunakan bentuk pasif tidak sebagaimana tanpa sanad.[7]
      3.    Hukum pengamalan hadis dhaif
Para ulama berbeda pendapat dalam pengamalan hadis dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi tiga pendapat yaitu:
     a.    Hadis dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak baik mengenai fadhilah amal maupun dalam hukum. Ini diceritakan oleh Ibnu Sayyid an-nas dari Yahya bin Ma’in dan pendapat inilah yang dipilih Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazam.
     b.    Hadis dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhilah amal atau dalam masalah hukum (ahkam). Pendapat Abu Daud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadis dhaif lebih kuat dari pada pendapat ulama.
     c.    Hadis dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-amal, mau’izah, targhib (janji-janji yang menggemparkan) dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani yaitu sebagai berikut:
       1). Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadis mawdhu’) atau dituduh dusta (hadis matruk), orang yang daya ingat hapalannya sangat kurang dan berlaku fasik dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadis munkar)
       2).  Masuk kedalam kategori hadis yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadis muhkan (hadis maqbul yang tidak terjadi pertentangan dengan hadis lain), nasikh (hadis yang membatalkan hukum pada hadis sebelumnya) dan rajah (hadis yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).
       3). Tidak diyakinkan secara unggul yakin kebenaran hadis dari nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.[8]
Hadis-hadis dha’if banyak terdapat pada sebagian karya berikut ini:
     a.    Ketiga mu;jani, at-thabari, al-kabir, al-awsat, as-shaghir.
b.    Kitab al-afrad, karya ad-daruquthni. Didalam hadis-hadis afrad terdapat hadis-hadis al-fardu al-muthlaq dan al-frdu an-nisbi.
     c.    Kumpulan karya al-khathib al-baghdadi.
     d.   Kitab hilyatul auliya ‘wathabaqtul ashfiya’karya abu nu’aim al-ashbahani.[9]
       B.     Pengertian  Hadis Maudhu
Mudhu menurut bahasa adalah sesuatu yang diletakkan. Sedangkan diletakkan, dibiarkan, digugurkan, ditinggalkan, dan dibuat-buat. Sedangkan menurut istilah maudhu adalah sesuatu yang disandarkan kepada rasul SAW secara mengada-ada dan bohong dari apa yang tidak dikatakan beliau atau tidak dilakukan atau tidak disetujuinya. Sebagian ulama mengartikan bahwa hadis maudhu adalah hadis yang diadaadakan, dibuat, dan didustakan seseorang pada Rasulullah SAW. Jadi hadis mudhu adalah hadis bohong atau hadis palsu, bukan dari Rasulullah tetapi dikatakan dari Rasulullah oleh seseorang pembohong. Oleh karena itu, sebagian ulama ada yang tidak memasukkannya bagian di hadis dhaif karena bukan hadis dalam arti yang sebenarnya dan ada pula yang memasukkannya, karena walaupun dikatakan hadis tetapi palsu dan bohong dalam arti palsu dan bohong ini meniadakan makna hadis.
Contoh hadis maudhu:
من ا عتكف عشر ا في ر مضان كان كحجتين وعمرت
Artinya: “Barang siapa melakukan i’tikap pada sepuluh hari terakhir bulan ramadhan, maka baginya pahala dua ibadah haji dan dua  ibadah umrah.
Telah diriwayatkan oleh al-baihaqi dalam Asy-Syi’b dengan sanad dari Husain bin Ali ra. Al-baihaqi berkata, “  sanad riwayat ini dha’if, sebab salah seorang perawinya yang bernama Muhammad bin Zadan ditolak riwayatnya oleh jumhur ahli hadis. “ Imam Bukhari juga menyatakan mengenai Muhammad bin Zadan ini. Riwayat yang dibawanya tidaklah diterima dan tidak ada yang mencatatnya”. Selain itu perawi sanad yang lain, Anbsah bin Abdur Rahman, dinyatakan oleh jumhur muhadditsin sebagai tukang memalsukan hadis. Diantaranya Imam Bukhari sendiri menyatakan, “ tidak ada satu pun ulama ahli hadis yang menerima riwayatnya”. Mengenai Anbasah Abu Hatim dengan tegas menyatakannya sebagai pemalsu riwayat. Wallahu a’lam.[10]
     2.    Hukum meriwayatkan hadis maudhu
Umat Islam telah sepakat bahwa meriwayatkan hadis mudhu ‘adalah hukumnya secara mutlak tidak ada perbedaan antara mereka. Menciptkan hadis maudhu sama dengan mendustakan kepada Rasulullah. Karena perkataan itu dari pencipta sendiri atau dari perkataan orang lain kemudian diklaim Rasulullah yang menyabdakan berarti ia berdusta atas nama Rasulullah. Orang yang demikian di ancam dengan api neraka, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya, barang siapa yang mendustakanku dengan sengaja, maka hendaklah siap-siaplah tempat tinggalnya didalam neraka.[11]
Jumhur ahli hadis juga berpendapat, bahwa berdusta termasuk dosa besar. Semua ahli hadis menolak khabar pendusta. Bahkan Syeikh Abu Muhammad al-juwainiy mengkafirkan pemalsu hadis. Semua hadis maudhu bathil lagi tertolak dan tidak bisa dijadikan pegangan, karena merupakan kedustaan atas diri rasul saw.
Disamping sepakat mengenai keharaman membuat hadis palsu, ulama juga sepakat  mengenai keharaman meriwayatknnya, tanpa menjelaskan kemaudhuannya dan kedustaannya. Mereka tidak memperbolehkan meriwayatkan sedikit pun hadis palsu, baik berkenaan dengan kisah, tarhib, targthib, hukum-hukum ataupun tidak, berdasarkan sabda Rasulullah saw :
من احدث عني بحد ير انه كذب فهواحدالكاذبين
Artinya:” Barang siapa yang meriwayatkan dariku sebuah hadis dan terlihat bahwa hadis itu dusta, maka ia juga termasuk satu diantara para pendusta”.
     3.    Tanda-tanda hadis maudhu
Hadis maudhu dapat diketahui melalui tanda-tandanya baik yang ada pada sanad maupun pada matan. Tanda-tanda maudhu pada sanad, diantaranya sebagai berikut:
       a.         Pengakuan dari orang yang membuat sendiri
Sebagaimana pengakuan abdul Karim bin Abu Al-Auja ketika akan dihukum mati ia mengatakan: “ demi Allah aku palsukan padamu 4000 buah hadis. Di dalamnya aku haramkan yang halal dan aku halalkan yang haram”. Kemudian dihukum pancung lehernya atas instruksi Muhammad bin Sulaiman bin Ali gubernur Basrah (160-173 H). Maysarah bin Abdi Rabbih al-Farisi mengaku banyak membuat hadis maudhu lebih dari 70 hadis. Demikian Abu Ishmah bin Maryam yang bergelar Nuh Al-Jami mengaku banyak membuat hadis maudhu yang disandarkan kepada abbas tentang keutamaan al-quran.
       b.         Adanya bukti (qarinah) mengenai pengakuan
Seperti seorang yang meriwayatkan hadis dengan ungkapan yang mantap serta meyakinkan (jazam) dari seorang syeikh padahal dalam sejarah ia tidak pernah bertemu atau dari seorang syeikh di suatu negeri yang ia tidak pernah ke sana atau seorang syeikh yang telah wafat sementara ia masih kecil atau belum lahir.
          Ma’mun bin ahmad al-kharawi mengaku mendengar hadis dari Hisyam bin Hammar. Al-hafizh bin Hibban bertanya:’ kapan anda datang ke Syam?”, Ma’mun menjawab: “ pada tahun 250 H. “ Ibnu Hibban menjelaskan bahwa Hisyam bin Amar meninggal pada tahun 245 H. sambut Ma’mun :” Hisyam bin Amar yang lain. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan bahwa ia tidak pernah bertemu dengan Hisyam bin Amar.
       c.         Adanya bukti pada perawi
Adanya indikasi pada perawi yang menujukkan akan kepalsuannya, misalnya seorang perawi yang rafidhah dan hadisnya berisikan tentang keutamaan ahlul baith.
       d.        Kedustaan perawi
Seorang perawi yang dikenal dusta meriwayatkan suatu hadis sendirian dan tidak ada seorang tsiqah yang meriwayatkannya.[12]
     4.    Tanda-tanda maudhu pada matan
     a.    Lemah susunan lafal dan maknanya
Dari segi maknanya, maka hadis itu bertentangan dengan al-quran, hadis, dengan ijma dan logika yang sehat.[13] Secara logis tidak di benarkan bahwa ungkapan itu datang dari Rasul. Banyak hadis-hadis panjang yang lemah susunan bahasa dan maknanya. Seorang yang memiliki ketajaman dalam memahami hadis dari Nabi atau bukan hadis maudhu ini bukan bahasa Nabi yang mengandung sastra (fashahah), karena sangat rusak susunanya, Ar-Rabi’ bin  Khats yang berkata: sesungguhnya hadis itu bercahaya seperti cahaya kami mengenalnya dan memilki kegelapan bagaikan gelap malam kami menolaknya.
Hadis palsu jika diriwayatkan secara eksplisit  bahwa ini lafal dari Nabi dapat terdeteksi oleh pakar yang dalam bidangnya sehingga tercium bahwa ini hadis yang sesungguhnya dan hadis palsu. Jika tidak dinyatakan secara eksplisit, menurut Hajar al-Asqalani, hadis itu dikembalikan kepada maknanya yang rusak, karena bisa jadi ia beralasan Riwayah Abi Al-Ma’na atau tidak bisa menyusunnya secara baik
     b.    Rusak maknanya
Maksud rusak maknanya karena bertentangan dengan rasio yang sehat, menyalahi kaidah kesehatan, mendorong pelampiasan biologis seks dan lain-lain dan tidak bisa ditakwilkan.
     Contoh:
النظرال الوجه الحسن يجاوالبصر والنظرال الوجه القبيح يورث الكا ح
                   Artinya:” Memandang wajah yang cantik dapat menerangkan mata, memandang wajah yang jelek dapat menyebabkan sedih”.[14]
     c.    Bertentangan teks Al-Qur’an atau hadis mutawatir
Contoh yang bertentangan dengan Al-Quran adalah tentang jangka usia dunia, yaitu tujuh ribu tahun. Ini jelas tidak shahih, tentu semau orang akan mengerti kapan kiamat tiba. Padahal Allah Azza Wa Jalla berfirman:

y7tRqè=t«ó¡o Ç`tã Ïptã$¡¡9$# tb$­ƒr& $yg8yóßD ( ö@è% $yJ¯RÎ) $ygãKù=Ïæ yZÏã În1u ( Ÿw $pkŽÏk=pgä !$pkÉJø%uqÏ9 žwÎ) uqèd 4 ôMn=à)rO Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 Ÿw öä3Ï?ù's? žwÎ) ZptGøót 3 y7tRqè=t«ó¡o y7¯Rr(x. ;Å"ym $pk÷]tã ( ö@è% $yJ¯RÎ) $ygßJù=Ïæ yZÏã «!$# £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ
                   Artinya:”Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui".(QS. Al-Araf:187)[15].
Contoh hadis maudhu yang bertentangan dengan hadis mutawatir:
وان كل من يسمي بهذه السماء (محمدواحمد)لآيدخل نار
Artinya:” Bahwa setiap orang dinamakan dengan nama-nama (Muhammad Ahmad dan semisalnya) ini, tidak akan dimaksukkan ke neraka.”
Contoh hadis palsu yang bertentangan dengan hadis shahih adalah hadis-hadis tentang pujian terhadap perang yang namanya Muhammad atau Ahmad dan bahwa orang-orang yang namanya seperti itu tidak akan masuk neraka. Jadi hadis tersebut jelas bertentangan dengan ajaran agama, bahwa neraka tidak akan terpengaruh oleh nama-nama tertentu. untuk selamat darinya hanya bisa dilakukam dengan beriman dan beramal shaleh.[16]
          Setiap hadis yang meriwayatkan Ali adalah shahih yang menyatakan wasiat khalifah ada pada Ali r.a. tidaklah shahih. Karena ia bertentangan dengan ijma’ ulama, bahwa nabi SAW tidak menegaskan siapa yang akan mengganti beliau.
     d.   Menyalahi realita sejarah
Misalnya hadis yang menjelaskan bahwa Nabi memungut jizyah (pajak) para penuduk khaibar dengan di saksikan oleh Sa’ad bin Mu’ads padahal Sa’ad telah meninggal pada masa perang khandaq sebelum kejadian tersebut.
     e.    Hadis sesuai dengan mazhab perawi
misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh Habbah bin Juwaihi, ia berkata: saya mendengar Ali berkata
عبدت الله مع ر سوله قبل ان يعبده ااحدمن هذه الا مة خمس سنين اوسبع سنين
                   artinya:” Aku menyembah Tuhan bersama Rasul-Nya sebelum menyembah-Nya seorang pun dari umat ini lima atau tujuh tahun.”
         Hadis ini mengkultuskan Ali sesuai dengan prinsip madzhab syiah, tetapi mengkultuskan itu juga tidak masuk akal, bagaimana Ali beribadah bersama rasul lima atau tujuh tahun sebelum umat ini.
     f.     Mengandung pahala yang berlebih bagi amal yang kecil.
Biasanya motif pemalsuan hadis ini disampaikan para tukang kisah yang ingin menarik perhatian para pendengarnya atau agar menarik pendengar agar melakukan amal saleh. Tetapi memang tinggi dalam membesarkan suatu amal kecil dengan pahala yang berlebihan. Misalnya:
من صل الضفي كذاوكذاركعة اعطي ثواب سبعين نبيا

                 Artinya:”Barang siapa yang sholat dhuha sekian rakaat diberi pahala 70 nabi.”[17]
      g.      Sahabat dituduh menyembunyikan hadis
        Sahabat dituduh menyembunyikan hadis dan tidak menyampaikan atau tidak meriwayatkan kepada orang lain, padahal hadis itu secara transparan harus disampaikan Nabi saw, misalnya, nabi memegang tangan Ali bin Abi Thalib di hadapan para sahabat semua, kemudian bersabda: ini wasiatku dan saudaraku dan khalifah setelah aku. Seandainya ini benar wasiat dari Nabi SAW tentu banyak diantara para sahabat yang meriwayatkannya, karena masalahnya adalah untuk kepentingan umum yakni kepemimpinan. Tidak mungkin para sahabat diam tidak meriwayatkan jika hal itu terjadi benar pada diri Rasulullah.
     5.    Usaha para ulama dalam mengatasi hadis palsu
Ada beberapa usaha yang dilakukan para ulama dalam menanggulangi hadis maudhu, dengan tujuan agar hadis tetap eksis terpelihara dan bersih dari pemalsuan tangan orang-orang kotor. Disamping itu agar lebih jelas posisi hadis maudhu tidak tercampur dengan hadis-hadis shahih. Diantara usaha-usaha itu adalah:
     a.    Memelihara sanad hadis
Dalam rangka memelihara sunnah siapa saja yang mengaku mendapat sunnah harus disertai sanad. jika tidak disertai dengan sanad, maka suatu hadits tidak dapat di terima. Abdullah bin Al-Mubarok berkata : yang mencari agamanya tanpa sanad bagaikan orang yang naik loteng tanpa tangga. keharusan sanad dalam menerima hadis bukan pada orang-orang khusus saja, bagi masyarakat umum pun pada saat itu mengharuskan menerimanya dengan sanad. Hal ini mulai berkembang sejak masa tabi’in, hingga merupakan suatu kewajiban bagi ahli hadis menerangkan sanad hadis yang ia riwayat kan.
     b.    Meningkatkan kesungguhan penelitian
Sejak masa sahabat dan tabi’in, mereka telah mengadakan penelitian dan pemeriksaan hadis yang mereka dengar dan yang mereka terima dari sesamanya. Jika hadis yang mereka terima itu meragukan atau datang bukan  dari sahabat yang langsung terlibat dalam permasalahan hadis, segera mereka melakukan rihlah (perjalanan) sekalipun dalam jarak jauh untuk mengecek kebenarannya kepada para sahabat senior atau yang terlibat dalam kejadian hadis.
Hasilnya mereka bukukan dalam berbagai buku hadis seperti buku hadis induk enam atau tujuh. Imam syafie menulis ar-risalah dan al-umm yang memuat ulumul hadis, at-tirmidzi dalam akhir kitab jami-nya.[18]
     c. Mengisolir para pendusta hadis
Para ulama berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Orang-orang yang dikenal sebagai pendusta hadis dijauhi dan masyarakat pun di jauhkan dari padanya. Semua ahli hadis juga menyampaikan hadis-hadis maudhu dan pembuatnya itu kepada murid-muridnya, agar mereka menjauhi dan tidak meriwayatkan hadis dari padanya. Diantara para ulama yang dikenal menentang para maudhu adalah Amir Asy-Sya’bi, Syu’bah bin Al-Hajj, Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah bin Mubarak dll.
     d. Menerangkan keadaan para perawi
Para ahli hadis berusaha menelusuri sejarah kehidupan baik mulai dari lahir hingga wafat atau pun dari segi-segi sifat-sifat para perawi hadis, dari yang jujur, adil, dan dhabit dan sebaliknya. Sehingga dapat dibedakan mana hadis shahih dan mana hadis yang palsu. Hasilnya mereka himpun dalam buku Rijal Al-Hadis dan Al-Jarrh wa At-Ta’dil sehingga oleh generasi berikutnya.
     e.    Memberikan kaidah-kaidah hadis
Para ulama meletakkan dasar-dasar secara metodelogis tentang penelitian hadis untuk menganalisa otensitasnya sehingga dapat diketahui mana shahih, hasan, dhaif dan maudhu. Kaidah-kidah itu dijadikan standar penilaian suatu hadis menurut kriteria sebagai hadis yang diterima atau ditolak.[19]
     6.    Para pendusta dan kitab-kitab hadis maudhu
      Diantara pendusta hadis yang diketahui setelah melakukan penelitian yang dilakukan para ulama adalah sebagai berikut:
     a.    Aban bin Jafar Al-Numaiqi, membuat 300 hadis yang disandarkan kepada abu hanifah
     b.    Ibrahim bin Zaid Al-Aslami, membuat hadis disandarkan dari malik.
     c.    Ahmad bin Abdullah Al-Juwaini, yang membuat beribu-ribu hadis kepentingan al-karramiyah
     d.   Jabir bin Zaid Al-Juafi, membuat 30.000 hadis
     e.    Nuh bin Abu Maryam membuat hadis maudhu tentang fadhail surah-surah dalam Al-Quran
    f.     Muhammad bin Syuja Al-Wasithi, Al-Harits bin Said Al-Mashlub, Al-Waqidi Muqatil bin sulaiman, Muhammad bin Saad Al-Mashlub, Al-Waqidi dan Ibnu Abu Yahya.
     Diantara kitab-kitab yang memuat hadis maudhu adalah sebagai berikut:
     a.    Tadzkirah al-maudhuat, karya Abu al-Fadhal Muhammad bin Thahir al-Maqdisi (448-507 H) didalam kitab ini disebutkan nama perawi yang dinilai cacat (tarjih)
     b.    Al-Maudhu’at al-Kubra, karya Abu al-Faraj Abdurrahman al-Jauzi (508-597)
     c.    Al-La’ali al-Mashnu’ah fi al-Maudhu’ah, karya Jalaluddin as-Suyuti (849-911 H)
     d.   Al-ba’its ‘ala al-Khalash Min Hawadits al-Qashash, karya Zainuddin Abdurahman al-Iaraqi(725-806 H)
     e.    Al-fawa’id al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Mawdhu’ah, karya al-Qadhi Abu Abdullah Muhammad Asy-Syaukani (1173-1255 H).
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
     1.    Hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi sebagian atau seluruh syarat-syarat hadis sahih dan hadis hasan.
     2.    Hukum periwayatan hadis dha’if, para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadis dha’if sekalipun tanpa menjelaskan kedha’ifanya dengan dua syarat: Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah dan tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal haram.
     3.    hadis dha’if tidak bisa diamalkan secara mutlak baik mengenai fadhail amal maupun dalam hukum, Hadis dha’if dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam masalah hukum {akham}, Hadis dha’if dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal,mau’izhah,targhib dan tarhib.
     4.    Hadis maudhu adalah hadis yang diada-adakan, dibuat, dan didustakan seseorang pada Rasulullah saw.
     5.    Hukum meriwayatkan hadis maudhu: hukumnya haram secara mutlak tidak ada perbedaan antara mereka.
     6.    Tanda-tanda hadis maudhu pada:
      a.       Sanad : pengakuan dari orang yang membuat sendiri, adanya bukti (qarinah) mengenai pengakuan, adanya bukti pada keadaan perawi, kedustaan perawi.
      b.      Matan   :  lemah susunan lafal dan maknanya, rusak maknanya, bertentangan teks Al Quran atau hadis mutawatir,menyalahi realita sejarah, hadis sesuai dengan mazhab perawi, mengandung pahala yang berlebihan bagi amal yang kecil dan sahabat dituduh menyembunyikan hadis.
      7. Usaha para ulama dalam mengatasi hadis palsu : memelihara sanad hadis, meningkatkan kesungguhan penelitian, mengisolir para pendusta hadis,  menerangkan keadaan para perawi dan memberikan kaidah-kaidah hadis.






DAFTAR PUSTAKA
Ajaj, Muhammad Al-Khathib, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Jakarta, Dar al-Fikr, 1998.
Al-Qaththan, Manna, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Jakarta, Pustaka Al kausar, 2004.
Hasan, Hafid al-Mas’udi, Ilmu Musthalah Hadis, Surabaya, Al Hikmah, tth.
http://nabildaffa.blogspot.com/2012/01/hadis-maudhu-dan-permasalahannya.html.
Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengikar, dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Nashiruddin, Muhammad af-Albni, Sisilah hadis Dha’if dan Maudhu, Jakarta, Gem Insani Press, 1997.
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalahul Hadis, Bandung, PT. Alma Arif, 1974.
Yunus, Mahmud, Terjemah Al-Qur’an al-Karim, Bandung, PT Al-Ma’rif, 1986.








[1] Muhammad Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta, Dar al-Fikr, 1998), hal 304.
[2] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, (Jakarta, Gema Insane Press, 1995), hal 53-54.
[3]Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis, (Bandung, PT. Alma Arif, 1974), hal 167-168.
[4] Hafid Hasan al-Mas’udi, Ilmu Musthalah Hadis, (Surabaya, Al Hikmah, tth), hal 24-25.
[5] Muhammad Nashiruddin af-Albni, Sisilah hadis Dha’if dan Maudhu, (Jakarta, Gem Insani Press, 1997), hal 23-24.
[6] Muhammad Ajaj Al-Khathib, Op. cit, hal 316.
[7]Fatchur Rahman, Op. cit. hal 164.
[8]Ibid. hal 165-166.
[9] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (Jakarta, Pustaka Al kausar, 2004), hal 132.
[10]Muhammad Nashiruddin af-Albni, Op. Cit , hal 21.
[11] Ibid. hal 207.
[12] Ibid hal 208-209.
[13] Fatchur Rahman, Op.cit hal 171.
[14]Ibid,  hal 201-211.
[15]  Mahmud Yunus, Terjemah Al-Qur’an al-Karim, (Bandung, PT Al-Ma’rif, 1986), hal 158.
[16] Fatchur Rahman, Op.Cit hal 172.
[17] Ibid,  hal 212-213.
[18]Ibid hal 214.
[19]Ibid hal 215.

No comments:

Post a Comment