Friday, October 2, 2015

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari



PENDAHULUAN
Diantara ulama Nusantara terkemuka abad ke-18 M yang dikenal kedalaman ilmu dan kecemerlangan karya karyanya adalah syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari atau yang sering  disebut Datu Kalampayan, beliau lahir pada 15 syafar 1122 H/ Maret 1710 M dikampung Lok Gabang Martapura Kalimantan Selatan, nama lengkap beliau adalah Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdurrahman Al-Banjari, terlahir dari seorang ibunda yang sholehah bernama Siti Aminah, ayah beliau yang bernama Abdullah bin Abdurrahman adalah seorang yang zuhud dan alim, beliau tumbuh dan besar dalam suasana keislaman yang kental dibawah pemerintahan kerajaan Islam Banjar. sejak umur 7 tahun beliau sudah fasih dan sempurna dalam membaca Al-Qur'an, kecerdasannya dalam ilmu agama dan bakat melukisnya menarik perhatian Sultan penguasa kerajaan Banjar pada waktu itu, maka Muhammad Arsyad kecil pun diboyong untuk belajar ilmu agama dilingkungan istana bersama keluarga kerajaan, setelah dewasa dan menikah karena kepandaian dan kecerdasan beliau dalam mempelajari ilmu agama maka menjelang usia 30 tahun beliau diberangkatkan ketanah suci Mekah untuk memperdalam ilmu agama dengan dibiayai oleh kerajaan, karena Sultan berharap dengan ilmu yang dipelajarinya nanti ditanah suci itu kelak akan dapat membimbing dan mengajarkan ilmu kepada rakyat banjar dan sekitarnya.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari wafat 6 Syawal 1227 H/13 Oktober 1812 M dan dimakamkan di Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan (sekitar 56 km dari Kota Madya Banjarmasin). Sebelum meninggal, beliau sempat berwasiat agar jasadnya dikebumikan di Kalampayan. Setelah beliau meninggal, anak cucu / zuriat beliau yang telah mewarisi ilmu-ilmu beliau merasa bertanggung jawab dan tidak begitu saja membiarkan usaha-usaha yang telah dicapai datuknya dalam mengembangkan misi dakwah terhenti sampai disitu, maka dari itu penulis mencoba memaparkan lebih jelas mengenai keadaan masyarakat Banjar sepeninggal beliau, peninggalan-peninggalan beliau, serta usaha yang dilakukan anak cucu/ zuriat beliau pasca beliau meninggal.





PEMBAHASAN
A.    Keadaan Masyarkat Banjar sepeninggal Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Pada tahun 1825 Sultan Adam dinobatkan menjadi Sultan di Kerajaan Banjar mengganti Sultan Sulaiman Rahmatullah yang adalah ayah beliau. Sultan Adam adalah raja Kerajaan Islam Banjar yang kedua belas. Beliau adalah orang yang sangat rajin menuntut ilmu pengetahuan, banyak sekali yang berguru pada putera dan cucu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Pada masa awal pemerintahanya keadaan sangat terkendali, aman dan damai. Namun setelah kurang lebih sepuluh tahun memerintah, kehidupan berpolitik, bernegara, dan bermasyarakat mulai bergejolak, karena penjajah belanda mulai terang-terangan ingin menguasai kerajaan Banjar ditambah lagi dengan kedatangan misionaris Kristen yang dipimpin pendeta Barnstein.
 Melihat keadaan yang sedemikian, Sultan Adam yang arif lagi bijaksana dan rasa cintanya terhadap agama Islam berusaha untuk menangkis dan menepis budaya asing serta situasi yang mengancam kesatuan dan keutuhan kerajaan, maka Sultan Adam merasa perlu untuk membuat undang-undang dengan maksud untuk mempertahankan dan memperkokoh kepercayaan rakyat dalam beragama Islam. Untuk itu dibentuklah satu tim untuk membuat undang-undang yang langsung dipimpin oleh sultan sendiri. Tim tersebut terdiri dari para ahli antara lain Pangeran Syarief Husein dan Mufti H. Jamaluddin bin Syekh M. Arsyad al-Banjari. Dari tim tersebut tersusunlah undang-undang yang dikenal dengan nama Undang-Undang Sultan Adam.
Undang-undang Sultan Adam itu hanya terdiri dari 31 pasal. Dibuat tanggal 20 Muharram 1276 H. undang-undang itu mengatur tentang I’tiqad dan muamalah seperti kehidupan bermasyarakat, penggunaan tanah, masalah suami istri, mencari keadilan, tugas kewajiban Mufti, hakim, mentri, lurah, pembakal, tetuha kampung, khatib, bilal, dan kaum.
Ciri khas dari pemerintahan masa itu adalah bahwa bila sesuatu perkara tidak selesai diputus oleh hakim, maka perkara itu harus diselesaikan kepada Sultan. Dengan berkuasanya Sultan beserta pembesar-pembesar yang beragama Islam, apalagi dengan terbentuknya kerajaan yang diresmikan bernama Kerajaan Islam menjadi hidup dan pesat.
Kemudian, dibangunlah mesjid dan langgar tempat beribadah dan mengaji. Bertugaslah guru-guru yang mengajar agama Islam dan memimpin umat untuk melaksanakan ajaran Islam, terutama tata cara beribadah, beri’tiqad, berakhlak, dan bermasyarakat menurut Islam. Yang kemudian akan melahirkan generasi-generasi penerus yang agamis.
Huruf Arab yang digunakan dalam pembelajaran membaca Al-Qur’an dan menghafal bacaan shalat cukup tersiar. Sampai surat perjanjian yang dibuat Sultan-Sultan Banjar dengan kompeni Belanda dan Inggris pada abad ke-17 ditulis dengan huruf Arab Melayu.
Ketika markaz besar perjuangan Pangeran Antasari dalam Perang Banjar (1825-1857) dipindahkan ke Hulu Barito, Kalimantan Tengah, sambil berperang agama Islam dikembangkan kedaerah pedalaman, pehuluan, dan pedusunan.
Perang Banjar itupun mempunyai motif untuk mengembangkan Islam, yaitu :
1.      Pemulihan Kerajaan Islam Banjar yang berdaulat dan merdeka tanpa campur tangan penjajah.
2.      Mensejahterakan kehidupan masyarakat Banjar
3.      Memantapkan dan mengembangkan agama Islam di kerajaan Banjar.
Walaupun umumnya masyarakat Banjar sudah memeluk agama Islam, tetapi masih banyak dari mereka yang belum sepenuhnya dapat meniggalkan adat kebiasaan lama, terutama dalam meluruskan aqidah tauhid, masih banyak yang melakukan perbuatan yang berbau khufarat, tahayyul, dan syirik, yang berasal dari agama Hindu yang semula menjadi anutan, atau dari adat istiadat yang berbau Animisme, seperti masih mempercayai adanya tuah atau keramat dari suatu benda yang dianggap angker, seperti pohon besar, batu besar, atau benda pusaka seperti keris dan sebagainya.
Demikian juga dengan memuliakan kuburan dan mengeramatkannya, tempat-tempat itu diziarahi serta ditaruh sesajen diatas kuburannya, yang mereka berharap untuk keselamatan hidupnya, keluarganya serta kampungnya. Padahal Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sudah mendakwahkan ketauhidan yang bersih serta memberantas tindak perbuatan khufarat, tahayyul dan syirik.
Meski demikian, pendidikan agama sudah mengalami kemajuan yakni sudah ada sekolah rakyat dizaman Hindia Belanda diajarkan pelajaran membaca dan menulis huruf Arab bahasa Melayu, murid-murid sekolah lebih mudah dan banyak yang bisa membaca al-Qur’an. Serta pengajian di pesantren ditambah dengan bentuk madrasah. Dan lahirlah madrasah MIN, MTSN, dan MAN, kemudian PGA dipelosok daerah.
Yang kemudian berlanjut, dengan berdirinya Pendidikan Tinggi Islam IAIN Antasari dengan fakultas yang tersebar di Kalimantan Selatan seperti di Amuntai, Barabai, Kandangan dan kemudian dipusatkan di Banjarmasin. Serta para pemuda/i nya ada yang melanjutkan ke IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta. di Banjarmasin juga didirikan Perguruan Tinggi Islam Swasta yaitu Universitas Kalimantan M. Arsyad al-Banjari (UNISKA) yang diketuai oleh H. Gt. Abdul Muis.
B.     Peninggalan Bersejarah Syekh M. Arsyad al-Banjari
Penyiaran agama melalui media tulisan berupa buku-buku, kitab-kitab adalah salah satu cara efektif  untuk penyebaran agama Islam secara luas dan merata dan sebagai tabir pembuka kesadaran bagi masyarakat untuk dapat menambah ilmu pengetahuan.
Disamping mengajar, Syekh M.Arsyad al-Banjari juga banyak mengarang bermacam kitab sebagai penuntun bagi agama Islam. diantaranya sebagai berikut :
1.      Ushuluddin, yang berisi sifat-sifat Tuhan semacam pelajaran sifat dua puluh.
2.      Luqthatul ‘Ajlan, berkenaan dengan sifat perempuan yang mengalami masa haid yang bertalian dengan masalah ibadah.
3.      Kitab Faraidh, yang berhubungan dengan masalah warisan dan cara pembagiannnya.
4.      Kitabunnikah, berisi tentang pengertian tentang wali dan bagaimana cara akad nikah.
5.      Kitab Tuhfaturraghibien, berisi penjelasan menurut para ahlussunnah wal jamaah untuk menghapus kebiasaan yang menyebabkan orang tergelincir ke arah syirik dan murtad.
6.      Qaulul Mukhtasar, berisi tentang penjelasan tanda-tanda akhir zaman dan tanda-tanda datang nya Imam Mahdi.
7.      Kitab Kanzul Ma’rifah, kitab yang membahas tentang Tasawwuf.
8.      Sabilal Muhtadin Lit-Tafaqqahu fi Amriedien, yaitu kitab fiqh dalam bahasa Melayu, huruf Arab yang sangat mendalam di sertai berbagai masalah-masalah sulit.[1]
Dilihat dari tulisan-tulisan beliau tersebut, maka karya tulis beliau tersebut diarahkan pada empat sasaran yaitu :
1.      Karya yang ditunjukan kepada orang awam yaitu semacam pelajaran praktis. Hal ini tampak seperti ditulisnya ajaran-ajaran beliau oleh Fatimah binti Abdul Wahab Bugis dengan nama “Parukunan Besar” yang kemudian disebut sebagai “ Parukunan Jamaludin” sebagai pelajaran ibadah bagi orang awam.
2.      Karya-karya yang ditunjukkan untuk orang yang terpelajar dan karenanya disusun  dengan menggunakan dalil-dalil yang terperinci dan pendapat para ulama. Sebagai contoh dalam hukum ialah kitab “Sabilal Muhtadin” dan kitab “Luqthatul ‘Ajlam” walaupun antara dua kitab tersebut terlihat adanya beberapa duplikasi.
3.      Karya-karya yang diajukan kepada orang alim yang menguasai bahasa Arab. Kitab ini ditulis dengan bahasa Arab misalnya “ Hasyiah Fathil Jawaad” yang merupakan komentar dari “ Fathil Jawaad” yang ditulis oleh ibn Hajar al-Haitami. Adanya tulisan ini menunjukan keterlibatan beliau seperti lazimnya ulama masa itu untuk meringkas, memperluas, memberi komentar atau catatan pinggir terhadap kitab-kitab ulama pendahulunya.
4.      Karya-karya yang ditujukan kepada para pejabat petugas agama sebagai petunjuk pelaksanaan secara tekhnis, seperti “kitabunnikah” dan “kitabul Fara’id” yang merupakan petunjuk tekhnis penyelenggaraan pernikahan dan pembagian waris dikalangan umat islam. Ciri khas dari karya ini adalah pendek, tegas dan tidak mencantumkan dalil-dalil atau pendapat ulama yang dijadikan referensi.[2]
C.     Anak Cucu atau Zuriat Syekh M.Arsyad al-Banjari
anak cucu / zuriat beliau yang telah mewarisi ilmu-ilmu beliau merasa bertanggung jawab dan tidak begitu saja membiarkan usaha-usaha yang telah dicapai datuknya dalam mengembangkan misi dakwah terhenti sampai disitu.
Dalam rangka meneruskan cita-cita beliau, maka zuriat beliau yang berada diberbagai tempat berupaya sedemikian rupa untuk berkiprah sebagai generasi penerus, sesuai dengan kemampuan dalam bidang masing-masing, sehingga tak jarang kita dapati zuriat Syekh M. Arsyad al-Banjari yang melaksanakan majlis-majlis ta’lim.
Zuriat-zuriat beliau terbagi 2 yaitu diluar negri dan dalam negri
1.      Luar Negri
A.    Mekkah
Syekh Ali bin H. Abdullah bin H. Mahmud bin Asiah binti Syekh M.Arsyad al-Banjari, beliau lahir di Mekkah 1285 H (1868 M), sejak kecil beliau berada di tanah suci Mekkah.
Ia adalah seorang zuriat keempat dari Syekh M.Arsyad al-Banjari yang turut berkiprah sebagai penerus datuk beliau dalam mengajar di Masjidil Haram (Mekkah), beliau wafat pada malam jum’at 12 zulhijah 1307 H dan dimakamkan di Mekkah.[3]
B.     Malaysia
H. Husein bin H. Muhammad Nashir bin H.M Thayyib bin H.Mas’ud bin H. Abd Su’ud bin Syekh M.Arsyad.
Beliau seorang ulama besar dan guru dari Sultan Kedah dan para pembesar lainnya, beliau lahir di Titi Gajah Kedah 20 jumadil awal 1280 H (1862 M), beliau adalah zuriat Syekh M.Arsyad generasi ke-5 dan pendiri pertama Madrasah “al-Khairiyyah” di Poko Sena, beliau wafat pada 17 zulkaidah 1354 H (1935 M) dan dimakamkan di Kedah.
2.      Dalam Negri
A.    Pontianak
H.M Thasin bin H. Jamaluddin bin Syekh M.Arsyad. kemudian melahirkan anak H.M Yusuf Saigon dan H.M Arsyad. Dua kakak beradik inilah yang membangun pengajian, yang melaksanakan pengajian adalah H.M Arsyad, sedang dana pelaksanaannya ditangani oleh H.M. Saigon, sehingga berdirilah pondok pesantren “Saigoniyyah” yang pertama kali di Pontianak.
Namun setelah perang dunia kedua pondok ini tidak ada lagi, akan tetapi pondok tersebut telah banyak mencetak para ulama. Kemudian pada tahun 1977 dibangun kembali dengan nama “al-Irsyad”. Sebagai generasi pada saat ini adalah ustadz H.Fauzi Arsyad bin H.M Arsyad Thasin bin Mufti H.Jamaluddin bin Syekh M.Arsyad.[4]
B.     Tembilahan Indragiri, Riau
Kurang lebih pada tahun 1904, Mufti H.Abdur Rahman Shidiq menetap di Sapat daerah Indragiri Hilir, yang kemudian beliau melaksanakan pengajian di Parit Hidayat dengan system kaji duduk.
Setelah beliau wafat, maka kegiatan itu diteruskan oleh putera-puteri beliau sehingga pengajian tetap terus berjalan. Sebagai kelanjutan usaha tersebut, maka disana didirikan Yayasan Sabilal Muhtadin, yang mengelola lembaga pendidikan sebagai upaya dalam meneruskan dakwah dan pendidikan yang dilaksanakan oleh Mufti H. Abdur Rahman Shidiq di Indragiri Riau.
C.     Bangil, Jawa Timur
H.M Syarwani Abdan bin H.Abdan bin H.M. Yusuf bin H.M. Shaleh Siam bin H.Ahmad bin H.M Tahir bin H.Syamsuddin bin Saidah binti Syekh M.Arsyad.
Pada tahun 1970, beliau mendirikan pondok pesantren di Bangil yaitu “Pondok Datu Kalampayan”, setelah beliau wafat, pondok itupun diteruskan putera beliau yaitu H.Kasyful Anwar hingga sekarang.
D.    Kalimantan Timur
H.M Syarwani Zuhri, ia adalah salah seorang zuriat Syekh M.Arsyad di Balikpapan, beliau melaksanakan pengajian dan berdakwah keberbagai tempat di sekitar Kalimantan Timur, beliau mendirikan pondok pesantren “Syekh M.Arsyad al-Banjari” di Balikpapan demi kelangsungan dakwah.[5]







E. Martapura, Kalimantan Selatan
a. Sekumpul
Guru Sekumpul adalah sebutan akrab buat Al-Allamah Kh. Zaini Ghani, yaitu seorang ulama kharismatik Kalimantan Selatan, dilahirkan pada 25 Muharram 1361 H (11 Februari 1942 M)  dan wafat 5 Rajab 1426 H (10 Agustus 2005).
Dalam meneruskan, usaha Syekh M.Arsyad dalam mendakwahkan Islam, maka beliau mengadakan pengajian di sekumpul, yaitu sebagai berikut :
1.      Hari sabtu pagi, khusus untuk kaum wanita.
2.      Senin & kamis pagi jam 7-9, dan dihadiri oleh ribuan kaum ibu dan pria.
3.      Minggu sampai kamis, setelah ashar sampai menjelang magrib, khusus bagi kaum pria
4.      Malam jum’at, setelah magrib diadakan burdah, dalailul khairat serta maulid nabi.
5.      Malam kamis, setelah magrib di adakan manaqib Syekh Saman al-Madani.
b. Kampung Melayu
H.Anang Sya’rani bin Fathul Jannah binti H. Abdullah bin H.M. Shalih bin H. Hasanudin bin H.M.Arsyad, semasa beliau menjabat pimpinan madarasah Darussalam Martapura, beliau juga mendirikan “Izharul Ulum” yang menurut riwayat digunakan untuk menampung santri madrasah Darussalam yang ingin melanjutkan dan memperdalam ilmu-ilmu agama dalam berbagai ilmu agama yang ditangani oleh beliau sendiri.
Namun disayangkan hal ini tidak berlangsung lama karena beliau mendahului pergi. Dan sekarang madrasah iti diteruskan oleh tokoh masyarakat setempat.[6]
c. Dalam Pagar
Di Dalam Pagar Martapura, sejak dizaman Syekh M.Arsyad  merupakan pusat pengkajian dan pendidikan agama. Setelah beliau wafat, anak cucu beliau meneruskan cita-cita beliau untuk memberikan ilmu-ilmu bermanfaat kepada anak cucu beliau.
Setelah lebih dari seratus tahun, barulah pada tahun 1931 M di bangun sistem pendidikan didalam pagar mengalami perubahan, disamping yang dulunya hanya dilaksanakan kaji duduk dan para santri mendatangi kerumah guru mereka secara berkelompok atau sendirian, juga dibentuk suatu lembaga pendidikan formal oleh seorang zuriat ke-4 yaitu H.M Salman Jalil dan H.Abdurahman Ismail dari Mekkah.Tahun 1950 an madrasah tersebut diganti dengan nama Madrasatus  Sysari’yah.[7]
d. Teluk Selong
di Sebrang Sungai Dalam Pagar terdapat suatu kampung Telok Selong, yang juga zuriat Syekh M.Arsyad, disana mereka mendirikan madrasah “Sabilal Rasyad’’ yang dikoordinir H.Ahmad dan H.Ahmad Zarkasi bin Ahmad.[8]
e. Sungai Tuan
Sungai Tuan kecamatan Astambul yang jaraknya kurang lebih 7 km di kota Martapura, yang mayoritas penduduknya terdiri dari zuriat Syekh M.Arsyad, disana ada madrasah “al-Fatah” yang dikoordinir langsung oleh H. Masdar Umar. Selain ada madrasah, juga diadakan pengajian oleh kaum ibu.
f. Marabahan
Qadhi H.Abd Samad yaitu cicit Syekh M.Arsyad al-Banjari, merasa bertanggung jawab dalam meneruskan kiprah dalam misi dakwah, sehingga dibangunlah ponpes yang dikoordinir oleh Drs. H. Asqalani bin H.Baeysuni bin H. Talhah bin Qadhi H. Abd Samad bin Mufti H.Jamaludin bin Syekh M.Arsyad[9]










KESIMPULAN

Sepeniggal Syekh M.Arsyad al-Banjari, agama Islam mengalami kemajuan diantaranya adanya Undang-Undang Sultan Adam yang mengatur tentang ibadah dan mu’amalah seperti mengatur masalah kehidupan bermasyarakat, penggunaan tanah, masalah suami isteri, masalah saling tuduh menuduh dalam mencari keadilan.
Syekh M.Arsyad al-Banjari juga meninggalkan karya-karya yang sangat berguna bagi masyarakat seperti kitab “Sabilal Muhtadin” yang sangat membantu masyarakat dalam memecahkan masalah, “Risalah Ushuluddin” yang membantu dalam masalah tauhid, “kitabunnikah” yang mengajarkan tatacara perkawinan dalam Islam, serta “kitabul Fara’id” yang memudahkan dalam pembagian harta waris, dan sebagainya, yang kitab-kitab beliau tersebut sampai sekarang masih dijadikan bahan kajian dan pelajaran, bahkan sebagai bahan pegangan dalam melaksanakan ibadah, terutama kitab “Sabilal Muhtadin”.
anak cucu/zuriat beliau yang telah mewarisi ilmu-ilmu beliau merasa bertanggung jawab dan tidak begitu saja membiarkan usaha-usaha yang telah dicapai datuknya dalam mengembangkan misi dakwah terhenti sampai disitu saja.
Dalam rangka meneruskan cita-cita beliau, maka zuriat beliau yang berada diberbagai tempat berupaya sedemikian rupa untuk berkiprah sebagai generasi penerus dengan mendirikan Madrasah-madrasah, yayasan-yayasan, mengadakan pengajian dirumah-rumah, mengadakan majlis ta’lim serta membangun pondok-pondok pesantren demi kelangsungan cita-cita datuk mereka yaitu misi dakwah dalam penyebaran Islam.









DAFTAR PUSTAKA

Kumpulan makalah Islam Kawasan Kalimantan, Banjarmasin, Iain Antasari, 2007.
Sjarifuddin H, dkk, Sejarah Banjar, Banjarmasin, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, 2003.
Daudi Abu, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Martapura, Yayasan dalam Pagar, 2003.



[1] H, Sjafaruddin, dkk, Sejarah Banjar, (Banjarmasin, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, 2003), Cet ke-1, hlm 198-199.
[2] Ibid, hlm 200-201.
[3] Abu Daudi, Syekh M. Arsyad al-Banjari, (Martapura, Yayasan Dalam Pagar, 2003), Cet ke-1, hlm 448.
[4] Ibid, hlm 449.
[5] Ibid, hlm 450.
[6] Ibid, hlm 452.
[7] Ibid, hlm  453-454.
[8] Ibid, hlm 456.
[9] Ibid.

1 comment: