Friday, October 2, 2015

Plato



PENDAHULUAN
Ketika nama Plato disebut, spontan terbayang seorang sosok orang yang luar biasa, orang yang berpengaruh dalam dunia filsafat serta orang yang banyak sekali memberikan sumbangsih terhadap pendidikan, diantaranya sumbangsihnya yang terpenting adalah gagasan mengenai ide.
Plato pun mencetak seorang murid yang bernama Aristoteles, beliau adalah orang yang sangat cerdas yang menguasai ilmu filsafat, tidak itu saja ia juga banyak menguasai ilmu yang lainnya seperti matematika, astronomi, retorika, dan ilmu lainnya. Jika dibandingkan dengan sumbangsih nya Plato terhadap Idealisme, maka Aristoteles lebih condong kepada hal-hal yang empirisme[1].
Tanpa disadari berkat sumbangsih seorang filusuf tersebut, kita dapat menikmati pengetahuan yang sangat berkembang sampai sekarang ini. Maka tidak ada salahnya kalau kita mengenal Plato secara lebih detail sehingga kita mengetahui sosok hebat tersebut dan apa saja yang menjadi pemikirannya sehingga menjadi dua sosok orang yang masih diakui keilmuannya sampai sekarang ini.









PEMBAHASAN
1.      Latar Belakangnya
Ia dikenal sebagai murid Socrates dan gurunya Aristoteles, dilahirkan di kota Athena 427 SM[2], ia dikenal sebagai sesosok orang yang sangat pintar sekaligus seorang sosok filusuf Yunani yang sangat berpengaruh.
Nama Plato yang sebenarnya adalah Aristokles, karena dahi dan bahunya yang amat lebar ia mempunyai julukan Plato dari seorang pelatih senamnya[3]. Plato dalam bahasa Yunani berasal dari kata benda “Platos” yang berarti “Kelebaran” atau “Lebar”, Jadi nama Plato berarti si “Lebar”. Selain itu Plato juga dikenal sebagai sastrawan.[4]
Munculnya filsafat Plato dapat dilirik dari dua sudut pandang, yang pertama  yang paling mencolok adalah usaha para pemikir untuk mencari dan merumuskan suatu asas dari segala-galanya yang dialami[5]. Seperti tokoh-tokoh sebelum Sokrates yaitu dari Thales sampai Demokritos orang telah merumuskan asas tersebut dari sudut kosmosentrisme (berorientasi pada alam), misalnya air, udara atau yang tak terbatas. Melalui asas asa tersebut berusaha untuk ditampilkan ciri-ciri paling umum atau paling mendalam dari kenyataan manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Kalaupun ketiga contoh diatas tadi seakan-akan masih berpegang pada alam, maka sekitar tahun 500an ditemukan dua gagasan yang mengatasi kenyataan alam yaitu proses menjadi (prinsip mengalir), pemikiran filusuf Heraklitus dari Efesus (Ionia), dan prinsip ada atau tidak ada (prinsip segalanya tak berubah), pemikiran Parmenides dari Elea (Italia Selatan).
Sudut pandang yang kedua beritik tolak pada apa yang sebenarnya dilakukan para pemikir, dalam bahasa Yunani mereka itu mencari dan mengembangkan philosophia, yang berarti cinta (phillein : mencintai) akan hikmat (shopia) atau kebijaksanaan[6].
Selain bertitik tolak pada usaha para pemikir untuk mencari dan merumuskan suatu asas dari segala-galanya yang dialami dan pada apa yang sebenarnya dilakukan para pemikir yaitu mencari dan mengembangkan philosophia, yang berarti cinta akan kebijaksanaan,
A.    Perjalanan Ilmiah
Selama hidupnya Plato rajin menulis, hampir semua tulisan Plato berupa dialog, dalam dialog tersebut Plato memakai Socrates untuk mengemukakan pandangan-pandangannya, karya-karyanya berjumlah lebih dari duapuluh lima buah, yang paling terkenal diantaranya adalah sepuluh buku yang memuat ajaran Plato tentang Politeia (negara)[7].
Kematian Socrates pada 399 SM menjadi awal dari pengembaraan Plato yang cukup lama, sesudah meniggalkan Athena ia berangkat ke Megara dan menetap dirumah sahabatnya Euklides.
Euklides adalah salah seorang murid Socrates yang telah menjadi guru filsafat di Megara, kemudian Plato melanjutkan perjalanannya ke Kyerene, disana ia belajar ilmu pasti dari Theodoros. Dari Kyerene Plato berangkat ke Mesir untuk beberapa waktu mengembara di Afrika Utara, kemudian ke Italia Selatan.[8]
Setelah Plato pulang dari Italia, ia mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama “Akademia” yang berdekatan dengan kuil yang didedikasikan kepada pahlawan yang bernama Akademos[9], sekolah itu dirancang untuk merealisasikan cita-citanya untuk memberikan pendidikan intensif dalam bidang ilmu pengetahuan dan fisafat kepada generasi-generasi yang akan menjadi pemimpin politik di masa mendatang.
B.     Sumber Filsafat
Plato banyak mengambil pelajaran dari berbagai guru dan ilmuan-ilmuan sebelumnya, yaitu sebagai berikut :
1.      Socrates,
ia adalah guru yang amat dikagumi, dihormati, dan dicintainya, bukan hanya sekedar guru tapi sekaligus sebagai sahabatnya. “the noblest and the wisest and most just”[10]. Ungkapan itu menunjukkan bahwa Socrates memiliki tempat yang khusus dalam kehidupan Plato dan hal tersebut nampak jelas lewat karya-karyanya yang menggunakan metode “Sokratik” yaitu metode yang dikembangkan Socrates atau yang sering dikenal dengan “Elenkhus”.
Metode tersebut terwujud kedalam suatu bentuk tanya jawab atau dialog sebagai suatu upaya untuk meraih kebenaran dan pengetahuan. Plato berhasil menyempurnakan metode sokratik dengan menuliskan dialog-dialognya kedalam suatu bentuk kesusasteraan yang mampu mempesona begitu banyak orang dari abad ke abad[11].
2.      Kratylos
Sebelum Plato menjadi murid Socrates, Plato pernah belajar filsafat dari Kratylos. Kratylos adalah murid dari Herakleitos si gelap (ho skoteinos) diberi gelar si gelap karena filsafatnya yang sulit untuk dipahami. Heraklitos mengajarkan bahwa segala sesuatu senantiasa bergerak dan berubah seperti api yang selalu bergerak dan bagaikan alir yang mengalir. Plato membenarkan pemikiran Herakleitos dan Kratylos, namun kebenaran pemikiran mereka itu hanya berlaku dalam hal yang inderawi semata-mata. Secara inderawi segala sesuatu selalu bergerak dan berubah, meniada tetapi juga senantiasa menjadi.[12]
3.      Parmenides
Plato juga mengenal ajaran Parmenides yang bertolak belakang dengan pemikiran Herakleitos, bagi Parmenides yang ada itu ada dan yang tidak ada itu tidak ada. Parmenides mengatakan tidak ada yang bergerak, berubah, mengalir, berlalu dan meniada serta tidak ada yang menjadi. Plato pun mengakui kebenaran ajaran Parmenides, namun tidak berlaku didunia inderawi.[13]
4.      Orphisme atau Mysteri Orphik
Plato juga mengetahui dengan ajaran baik Orphisme atau Mysteri Orphik, yakni suatu gerakan agamis dan filsafat yang tersebar di Yunani. Orphisme mengajarkan dualisme tubuh dan jiwa manusia.
Penganut orphisme meyakini akan adanya kehidupan sesudah kematian. Elemen utama ajaran orphisme juga tampak pada konsep ajaran Plato tentang manusia, dualisme antropologik Plato sedikit banyaknya menunjukkan pengaruh ajaran Orphisme itu dalam pemikiran-pemikiran Plato.[14]
C.     Dunia Ide dan Dunia Pengalaman
Sebagai penyelesaian persoalan yang dihadapi Plato menerangkan bahwa manusia itu sesungguhnya berada dalam dua dunia, yaitu dunia pengalaman yang bersifat tidak tetap, bermacam-macam dan berubah, serta dunia ide yang bersifat tetap, hanya satu macam dan tidak berubah.
Dunia pengalaman merupakan bayang-bayang dari dunia ide, sedangkan dunia ide merupakan dunia yang sesungguhnya, yaitu dunia realitas[15]. Dunia inilah yang menjadi model dunia pengalaman. Dengan demikian, dunia yang sesungguhnya atau dunia realitas itu adalah dunia ide.
Jadi, Plato dengan ajarannya tentang ide berhasil menjembatani pertentangan pendapat antara Herakleitos dan Parmenides. Plato mengemukakan ajaran Herakleitos adalah benar tetapi hanya berlaku pada dunia pengalaman, sebaliknya pendapat Parmenides juga benar, tetapi hanya berlaku pada dunia ide yang hanya dapat dipikirkan oleh akal.
Bagi Plato, ide bukanlah gagasan yang hanya terdapat dalam pikiran saja yang bersifat subyektif. Ide ini bukan gagasan yang dibuat manusia yang ditemukan manusia, sebab ide ini bersifat objektif. Artinya berdiri sendiri lepas dari subyek yang berpikir, tidak tergantung pada pemikiran manusia, akan tetapi justru sebaliknya idelah yang memimpin pikiran manusia[16].
Dibandingkan dengan gurunya Socrates, Plato telah maju selangkah dalam pemikirannya, Socrates baru sampai pada pemikiran tentang sesuatu yang umum dan merupakan hakikat suatu realitas, tetapi Plato telah mengembangkannya dengan pemikiran bahwa hakikat sesuatu realitas itu bukan yang umum tetapi yang mempunyai kenyataan yang terpisah dari sesuatu yang berada secara konkret, yaitu ide. Dunia ide inilah yang hanya dapat dipikirkan dan diketahui oleh akal.[17]
D.    Perumpamaan Gua
Alegori gua merupakan usaha Plato untuk menjelaskan perjalanan dialektik akal (jiwa manusiawi), hubungan antara pengetahuan dan opini. Kendati ada banyak kesulitan dalam interpretasi, ada suatu kesepakatan bahwa alegori gua sungguh diterima sebagai dasar epistimologi Plato.
Plato mengantarkan melalui suatu bayangan tentang sekelompok orang yang terkurung dalam gua dengan kepala dalam posisi tegak, sementara kaki mereka dirantai supaya jangan menoleh dan melihat ke kiri dan ke kanan, dibalik gua yang kelam itu agak jauh kepermukaan, terlihat api yang memancarkan cahaya remang-remang, cukup untuk bisa melihat bayangan benda-benda didalam gua. Bayangan merupakan satu-satunya yang dapat mereka lihat dalam gua, namun karena sudah terbiasa hidup dalam kegelapan, mereka tidak mampu membayangkan bahwa ada benda-benda atau tempat-tempat lain. Karena sudah begitu terbiasa dengan kehidupan dalam gua, mereka sudah tidak ingin pindah dari sana, namun apabila dipaksa keluar dari gua itu, mereka akan merasakan lebih sebagai sesuatu yang merugikan daripada menolong. Mata mereka pasti terbakar jika melihat api untuk pertama kali. Jelaslah dari gambaran ini bahwa terang juga dapat membutakan mata dan juga dapat membawa kedalam kegelapan.
Kiasan yang syarat makna itu mengingatkan pada metafor “terang dan gelap”. Dengan kata lain, jika ingin melihat bagaimana opini dan pengetahuan berfungsi dalam epistemologi Plato, apabila hanya melihat sepintas lalu pada bentuknya, tata susunan alegori ini serupa dengan apa yang dijelaskan Parmenides dan Heraklitos. Drama dalam gua secara jelas menggambarkan dunia inderawi (the way of seeming) yang banyak didiskusikan dalam kalangan filusuf pra-Socrates. Perjalanan naik sang tahanan dari kegelapan menuju terang dan lain sebagainya mengantarkan seseorang menuju salah satu isu pokok epistemologi Plato. Yaitu bagaimana opini dihubungkan atau dipertentangkan dengan pengetahuan.[18]
E.     Pembagian Filsafat
Mulai dari dulu ilmu filsafat diklasifikasikan ke beberapa cabang, pembagiannya pun sering berlainan dan selalu menemui perubahan-perubahan. Dulu juga, ilmu filsafat tidak dibedakan dengan ilmu-ilmu lainnya yang dikarenakan kurang atau belum berkembang dan belum juga ada pengkhususan.
Filsafat adalah induk segala ilmu pengetahuan (matter scientiarum) yang dulu merupakan suatu keseluruhan.
Plato membedakan filsafat atas tiga bagian, yaitu sebagai berikut :
1.      Dialektika : tentang ide-ide atau pengertian umum
2.      Fisika : tentang dunia materil
3.      Etika : tentang kebaikan.[19]
F.      Filsafat Negara
Filsafat Plato memuncak dalam uraian-uraiannya mengenai negara, pemikirannya tentang filsafat negara malah menjadi acuan atau motivasi untuk mengembangkan epistimologi.
Teori-teori Plato dalam filsafat negara yaitu sebagai berikut :
1.      Politeia
Politeia yang berarti tata negara, politeia terdiri dari sepuluh buku atau bagian. Pokok yang diselidiki didalamnya adalah keadilan. Dalam buku I pokok penyelidikan diperkenalkan. Agar menjadi lebih jelas arti dari sebuah keadilan. Socrates mengusulkan supaya keutamaan ini bukan hanya diperiksa pada perorangan melainkan dalam perspektif yang lebih luas, yaitu negara. Oleh karena itu di buku II dialog selanjutnya membicarakan tentang negara, bukan hanya satu negara yang konkret saja, melainkan mengenai negara yang ideal.
Yang menjadi negara ideal harus ada :
1)      Dasar ekonomis
Maksudnya manusia tidak bisa hidup seorang diri tanpa membutuhkan bantuan orang lain, misalnya jika petani membuat bajak dan cangkul sendiri, pakaian sendiri dan lain sebagainya, maka ia hampir tidak mempunyai waktu lagi untuk mengolah tanah, apalagi tidak semua manusia yang mempunyai keahlian yang sama. Oleh karena itu diperlukan adanya pengkhususan dalam keahlian masing-masing.[20]
2)      Para Penjaga
Karena pendapatnya mengenai spesialisasi dalam bidang pekerjaan, maka secara konsekuen Plato berpendirian juga bahwa hanya segolongan orang saja harus ditugaskan untuk melakukan perang yang kerap disebut penjaga-penjaga (phylakes).
Seluruh buku III membicarakan tentang pendidikan yang harus diberikan kepada penjaga-penjaga itu. Pria dan wanita akan menerima pendidikan yang sama, sehingga para wanita juga dapat menjadi penjaga dan mengambil bagian dalam peperangan.
Diantara para penjaga akan dipilih beberapa orang yang akan menjadi pemimpin negara, hanya yang paling baik serta yang paling terampilah yang dipilih, itupun masih harus memenuhi beberapa syarat yaitu melanjutkan pendidikan yang akan membentuk mereka menjadi seorang filusuf, setelah itu diadakan seleksi lagi untuk memilih siapa yang akan mempelajari dialektika.[21]
3). Tiga golongan
a)      Golongan yang pertama adalah golongan yang tertinggi yang terdiri dari orang-orang yang memerintah seperti para intelektual, cendikiawan dan filusuf.
b)      Golongn kedua adalah golongan pembantu yang terdiri dari prajurit yang bertugas untuk menjaga keamanan negara dan menjaga ketaatan pada warganya.
c)         Golongan ketiga adalah golongan rakyat biasa terdiri dari petani, pedagang, tukang yang bertugas untuk memikul ekonomi rakyat.[22]


2.      Politikos
Merupakan suatu dialog yang tidak begitu panjang, kalau dibandingkan dengan nomoi dan politeia. Pada akhir dialog diberikan kesimpulan tentang keahlian seseorang politikos. Tugas seorang negarawan dibandingkan dengan tugas seorang tukang tenun, sebagaiman tugas tukang tenun menenun  wol atau bahan lainya, begitu juga dengan negarawan yang bertugas untuk menciptakan keselarasan antara semua keahlian, sehingga keseluruhan yang harmonis terjamin.
Tentang bentuk negara yang paling baik menurut politikos, bahwa sebaik baik undang-undang dibuat sejauh dirasakan perlu menurut keadaan yang konkret, kira-kira seperti seorang dokter selalu mengganti obat menurut keadaan pasiennya.[23]
3.      Nomoi
Inilah dialog terakhir dan terpanjang yang ditulis Plato, Nomoi sebetulnya meneruskan apa yang dibicarakan oleh Politikos. Karena susunan negara dimana filusuf memegang kekuasaan dianggap tidak praktis. Maka Politikos telah mengusulkan supaya uundang-undang menjadi instansi tertinggi dalam negara. Lalu pertanyaan yang menyusul ialah undang-undang mana yang harus dianggap cocok untuk suatu negara. Nomoi menjawab tiga pelaku memainkan peranan dalam dialog ini. Pertama ada seorang Kreta yang ditugaskan mendirikan polis baru dipulau Kreta, ia ditemani seorang sahabat yang bernama Sparta, akhirnya mereka bertemu dengan orang asing dari Athena, karena terpesona oleh kepandaiaannya, mereka mengundang ia untuk mengambil bagian dalam percakapan mereka sebagai penasihat ahli. Dialog selanjutnya menghasilkan undang-undang untuk polis baru itu.
Bentuk negara yang diusulkan dalam Nomoi merupakan semacam campuran demokrasi dengan monarki, karena terlalu banyak kelalaian dan terlalu banyak kebebasan yang keduanya merupakan dua ekstrim yang sama buruknya.[24]
G.    Karya-Karyanya
1.Otentisitas
Menurut dua sarjana Alexandria, yaitu Thrasylos dan Derkylides. Daftar ini menyebutkan 36 karya Plato (surat-surat dihitung sebagai satu karya) yang terbagi atas 9 “tetralogies” (grup yang meliputi empat karya). Kini kebanyakan ahli sepakat dalam mengatakan bahwa dari 36 karya itu enam dialog berikut ini tidak bisa diaggap otentik: Alkibiades II, Hipparkhos, Erastai, Theages, Klitophon, Minos. Dan ada eanam lagi karya lain yang otentitasnya dipersoalkan; Alkibiades I, Ion, Menexinos, Hippias Maior, Epinomis , Surt-surat.[25]
Semua karya itu tidak panjang dan dari sudut filsafat tidak penting juga. Kalau sendainya semua akan dibuktikan tidak otentik, maka pandangan kita terhadap Plato sebagai sastrawan dan filsuf tidak berubah banyak. Selain dari Alkibiades II,  yang diperkirakan berasal dari masa Stoa, semua karya yang disebut tadi ditulis dalam abad ke-4, sepertinya dalam lingkungan Akademia. Tentang karya-karya yang otentitasnya masih merupakan obyek diskusi, Taylor cenderong berfikir bahwa beberapa diantaranya dan barangkali semua betul-betul adalah buah pena Plato. Tentang Hippias  dan Menexenos  misalnya kita mempunyai data-data yang menyatakan bahwa Aristoteles sudah mengandaikan kedua dialog ini ditulis oleh Plato. Diskusi mengenai otentitas ketiga belas surat yang dianggap berasal dari plato, tidak boleh diremehkan, karena surat-surat ini merupakan dokumen-dokumen utama yang kita miliki mengenai riwayat hidup Plato.
2.      Kronologi
 Jika urutan kronologis itu tidak dapat dipastikan, maka penyelidikan mengenai perkembangan dalam pemikiran Plato tidak mempunyai dasar yang teguh dan tidak dapat melebihi taraf dugaan saja. Diketahui bahwa aktivitas Plato sebagai sastrawan meliputi kira-kira 50 tahun. Harus diandaikan bahwa Apologia ditulis tidak lama sesudah kematian Socrates (tahun 399), ketika ingatan akan sidang pengadilan yang telah menjatuhkan hukuman atas diri Socrates masih segar dalam hati para warga negara Athena.
Mulai dengan Friedrich Schleiermacher (1768-1834), banyak sarjana telah mengupayakan suatu pemecahan mengenai masalah kronologi ini, sampai L.Campbell, C.Ritter, mengatakan bahwa dialog Shopietes, Politikos, Philebos, Timaios, Kritias, dan Nomoi telah dikarang dalam periode lain dari dialog-dialog lain. Karena Nomoi telah diketahui adalah hasil pena Plato yang terakhir menjelang kematiannya.
Jadi para sarjana-sarjana tersebut mengambil kesimpulan bahwa dialog-dialog Plato di klasifikasikan menjadi tiga periode, yaitu sebagai berikut :
                               I.            Apologia, Kriton, Euytipron, Lakhes, Kharmides, Lysis, Hippias Minor, Menun, Gorgias, Protagoras, Euthydemos, Kratylos, Phaidon, Symposion.
                            II.            Politeia, Phaidros, Parmenides, Theaitetos.
                         III.            Sophistes, Politikos, Philebos, Timaios, Kritias, Nomoi.[26]















KESIMPULAN
Banyak sekali yang dapat diambil dari seorang filusuf yang sangat hebat tesebut baik berupa teori-teorinya, metode pemikirannya, sampai hasil-hasil karyanya yang bisa dijadikan sumber referensi pada sekarang ini.
Pemikirannya tentang ide pun masih ramai diperbincangkan di ranah pendidikan, walaupun ia telah tiada tetapi buah pemikiran serta sumbangsihnya terhadap pendidikan masih terasa ada.
Bahkan yang penulis kagumi dari Plato adalah bisa menjembatani perbedaan yang begitu mencolok antara Herakleitos dan Parmenides. Plato mengemukakan ajaran Herakleitos adalah benar tetapi hanya berlaku pada dunia pengalaman, sebaliknya pendapat Parmenides juga benar, tetapi hanya berlaku pada dunia ide yang hanya dapat dipikirkan oleh akal.












DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta, Rajawali Pers, 2011.
Beoang, Konrad Kebung, Plato Menuju Pengetahuan yang Benar, Yogyakarta, Kanisius, 1997.
Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta, Kanisius, 1975.
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Yogyakarta, Kanisius, 1980.
Hardiman, Budi, dan Mudji, dkk, Para Filusuf Penrntu Gerak Jalan, Yogyakarta, Kanisius, 1992.
Maksum, Ali, Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodernisme, Yogyakarta, ar-Ruzz Media, 2011.
Rajasa, Sutan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya, Karya Utama, 2002.
Rapar, Filsafat Politik Plato, Jakarta, Rajawali Pers, 1996.
Salam, Burhanuddin, Pengantar Filsafat, Jakarta, PT Bumi Aksara, 2000.


[1] Empirisme adalah sebuah anggapan bahwa pengetahuan di dapat dari pengalaman atau dari indera.
[2] Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodernisme, (Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2011), hlm 66.
[3] J.H Rapar, Filsafat Politik Plato, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996), Cet ke-3, hlm 1996.
[4] Ali Maksum, Log., Cit, hlm 66.
[5] FX Mudji dan F Budi Hardiman, dkk, Para Filusuf Penentu Gerak Jalan, (Yogyakarta, Kanisius, 1992), hlm 10.
[6] Ibid.
[7] Ali Maksum, Log, Cit., hlm 67.
[8] J.H Rapar, Log., Cit, hlm 44.
[9]K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta, Kanisius, 1975), hlm 96.
[10] J.H Rapar, Log., Cit, hlm 47.
[11] Ibid.
[12]Ibid, hlm 48.
[13] Ibid , hlm 49.

[14] Ibid, hlm 50.
[15] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta, Rajawali Pers, 2011), hlm 52.
[16] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta, Kanisius, 1980), hlm 40.
[17] Asmoro Achmadi, Log.,Cit, hlm 52.
[18] Konrad Kebung Beoang, Plato Menuju Pengetahuan yang Benar, (Yogyakarta, Kanisius, 1997), hlm  27-28.
[19] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta, PT Bumi Aksara, 2000), hlm 125.
[20] K. Bertens, Log., Cit, hlm 117.
[21] Ibid, hlm 118.
[22] Ali Maksum, Log., Cit, hlm 68.
[23] K. Bertens, Log.,Cit, hlm 122.
[24] Ibid, hlm 124..
[25] Ibid, hlm 98-99.
[26] Ibid, hlm 100.

No comments:

Post a Comment