PENDAHULUAN
Ketika nama Plato disebut, spontan terbayang
seorang sosok orang yang luar biasa, orang yang berpengaruh dalam dunia
filsafat serta orang yang banyak sekali memberikan sumbangsih terhadap
pendidikan, diantaranya sumbangsihnya yang terpenting adalah gagasan mengenai
ide.
Plato pun mencetak seorang murid yang bernama
Aristoteles, beliau adalah orang yang sangat cerdas yang menguasai ilmu
filsafat, tidak itu saja ia juga banyak menguasai ilmu yang lainnya seperti
matematika, astronomi, retorika, dan ilmu lainnya. Jika dibandingkan dengan
sumbangsih nya Plato terhadap Idealisme, maka Aristoteles lebih condong kepada
hal-hal yang empirisme[1].
Tanpa disadari berkat sumbangsih seorang
filusuf tersebut, kita dapat menikmati pengetahuan yang sangat berkembang
sampai sekarang ini. Maka tidak ada salahnya kalau kita mengenal Plato secara
lebih detail sehingga kita mengetahui sosok hebat tersebut dan apa saja yang
menjadi pemikirannya sehingga menjadi dua sosok orang yang masih diakui
keilmuannya sampai sekarang ini.
PEMBAHASAN
1. Latar Belakangnya
Ia dikenal sebagai murid Socrates dan gurunya
Aristoteles, dilahirkan di kota Athena 427 SM[2],
ia dikenal sebagai sesosok orang yang sangat pintar sekaligus seorang sosok
filusuf Yunani yang sangat berpengaruh.
Nama Plato yang sebenarnya adalah Aristokles,
karena dahi dan bahunya yang amat lebar ia mempunyai julukan Plato dari seorang
pelatih senamnya[3]. Plato dalam
bahasa Yunani berasal dari kata benda “Platos” yang berarti “Kelebaran” atau
“Lebar”, Jadi nama Plato berarti si “Lebar”. Selain itu Plato juga dikenal
sebagai sastrawan.[4]
Munculnya filsafat Plato dapat dilirik dari
dua sudut pandang, yang pertama yang
paling mencolok adalah usaha para pemikir untuk mencari dan merumuskan suatu
asas dari segala-galanya yang dialami[5].
Seperti tokoh-tokoh sebelum Sokrates yaitu dari Thales sampai Demokritos orang
telah merumuskan asas tersebut dari sudut kosmosentrisme (berorientasi pada
alam), misalnya air, udara atau yang tak terbatas. Melalui asas asa tersebut
berusaha untuk ditampilkan ciri-ciri paling umum atau paling mendalam dari
kenyataan manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Kalaupun ketiga contoh diatas tadi seakan-akan
masih berpegang pada alam, maka sekitar tahun 500an ditemukan dua gagasan yang
mengatasi kenyataan alam yaitu proses menjadi (prinsip mengalir), pemikiran
filusuf Heraklitus dari Efesus (Ionia), dan prinsip ada atau tidak ada (prinsip
segalanya tak berubah), pemikiran Parmenides dari Elea (Italia Selatan).
Sudut pandang yang kedua beritik tolak pada
apa yang sebenarnya dilakukan para pemikir, dalam bahasa Yunani mereka itu
mencari dan mengembangkan philosophia, yang berarti cinta (phillein :
mencintai) akan hikmat (shopia) atau kebijaksanaan[6].
Selain bertitik tolak pada usaha para pemikir
untuk mencari dan merumuskan suatu asas dari segala-galanya yang dialami dan
pada apa yang sebenarnya dilakukan para pemikir yaitu mencari dan mengembangkan
philosophia, yang berarti cinta akan kebijaksanaan,
A. Perjalanan Ilmiah
Selama hidupnya Plato rajin menulis, hampir
semua tulisan Plato berupa dialog, dalam dialog tersebut Plato memakai Socrates
untuk mengemukakan pandangan-pandangannya, karya-karyanya berjumlah lebih dari
duapuluh lima buah, yang paling terkenal diantaranya adalah sepuluh buku yang
memuat ajaran Plato tentang Politeia (negara)[7].
Kematian Socrates pada 399 SM menjadi awal
dari pengembaraan Plato yang cukup lama, sesudah meniggalkan Athena ia
berangkat ke Megara dan menetap dirumah sahabatnya Euklides.
Euklides adalah salah seorang murid Socrates
yang telah menjadi guru filsafat di Megara, kemudian Plato melanjutkan
perjalanannya ke Kyerene, disana ia belajar ilmu pasti dari Theodoros. Dari
Kyerene Plato berangkat ke Mesir untuk beberapa waktu mengembara di Afrika
Utara, kemudian ke Italia Selatan.[8]
Setelah Plato pulang dari Italia, ia
mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama “Akademia” yang berdekatan dengan
kuil yang didedikasikan kepada pahlawan yang bernama Akademos[9],
sekolah itu dirancang untuk merealisasikan cita-citanya untuk memberikan
pendidikan intensif dalam bidang ilmu pengetahuan dan fisafat kepada
generasi-generasi yang akan menjadi pemimpin politik di masa mendatang.
B. Sumber Filsafat
Plato banyak mengambil pelajaran dari berbagai
guru dan ilmuan-ilmuan sebelumnya, yaitu sebagai berikut :
1. Socrates,
ia adalah guru yang amat dikagumi, dihormati,
dan dicintainya, bukan hanya sekedar guru tapi sekaligus sebagai sahabatnya. “the
noblest and the wisest and most just”[10].
Ungkapan itu menunjukkan bahwa Socrates memiliki tempat yang khusus dalam
kehidupan Plato dan hal tersebut nampak jelas lewat karya-karyanya yang
menggunakan metode “Sokratik” yaitu metode yang dikembangkan Socrates atau yang
sering dikenal dengan “Elenkhus”.
Metode tersebut terwujud kedalam suatu bentuk
tanya jawab atau dialog sebagai suatu upaya untuk meraih kebenaran dan
pengetahuan. Plato berhasil menyempurnakan metode sokratik dengan menuliskan
dialog-dialognya kedalam suatu bentuk kesusasteraan yang mampu mempesona begitu
banyak orang dari abad ke abad[11].
2. Kratylos
Sebelum Plato menjadi murid Socrates, Plato
pernah belajar filsafat dari Kratylos. Kratylos adalah murid dari Herakleitos
si gelap (ho skoteinos) diberi gelar si gelap karena filsafatnya yang sulit
untuk dipahami. Heraklitos mengajarkan bahwa segala sesuatu senantiasa bergerak
dan berubah seperti api yang selalu bergerak dan bagaikan alir yang mengalir.
Plato membenarkan pemikiran Herakleitos dan Kratylos, namun kebenaran pemikiran
mereka itu hanya berlaku dalam hal yang inderawi semata-mata. Secara inderawi
segala sesuatu selalu bergerak dan berubah, meniada tetapi juga senantiasa
menjadi.[12]
3. Parmenides
Plato juga mengenal ajaran Parmenides yang
bertolak belakang dengan pemikiran Herakleitos, bagi Parmenides yang ada itu
ada dan yang tidak ada itu tidak ada. Parmenides mengatakan tidak ada yang
bergerak, berubah, mengalir, berlalu dan meniada serta tidak ada yang menjadi. Plato
pun mengakui kebenaran ajaran Parmenides, namun tidak berlaku didunia inderawi.[13]
4. Orphisme atau Mysteri Orphik
Plato juga mengetahui dengan ajaran baik Orphisme
atau Mysteri Orphik, yakni suatu gerakan agamis dan filsafat yang tersebar di
Yunani. Orphisme mengajarkan dualisme tubuh dan jiwa manusia.
Penganut orphisme meyakini akan adanya
kehidupan sesudah kematian. Elemen utama ajaran orphisme juga tampak pada
konsep ajaran Plato tentang manusia, dualisme antropologik Plato sedikit
banyaknya menunjukkan pengaruh ajaran Orphisme itu dalam pemikiran-pemikiran
Plato.[14]
C. Dunia Ide dan Dunia Pengalaman
Sebagai penyelesaian persoalan yang dihadapi
Plato menerangkan bahwa manusia itu sesungguhnya berada dalam dua dunia, yaitu
dunia pengalaman yang bersifat tidak tetap, bermacam-macam dan berubah, serta
dunia ide yang bersifat tetap, hanya satu macam dan tidak berubah.
Dunia pengalaman merupakan bayang-bayang dari
dunia ide, sedangkan dunia ide merupakan dunia yang sesungguhnya, yaitu dunia
realitas[15]. Dunia inilah
yang menjadi model dunia pengalaman. Dengan demikian, dunia yang sesungguhnya
atau dunia realitas itu adalah dunia ide.
Jadi, Plato dengan ajarannya tentang ide
berhasil menjembatani pertentangan pendapat antara Herakleitos dan Parmenides.
Plato mengemukakan ajaran Herakleitos adalah benar tetapi hanya berlaku pada
dunia pengalaman, sebaliknya pendapat Parmenides juga benar, tetapi hanya
berlaku pada dunia ide yang hanya dapat dipikirkan oleh akal.
Bagi Plato, ide bukanlah gagasan yang hanya
terdapat dalam pikiran saja yang bersifat subyektif. Ide ini bukan gagasan yang
dibuat manusia yang ditemukan manusia, sebab ide ini bersifat objektif. Artinya
berdiri sendiri lepas dari subyek yang berpikir, tidak tergantung pada
pemikiran manusia, akan tetapi justru sebaliknya idelah yang memimpin pikiran
manusia[16].
Dibandingkan dengan gurunya Socrates, Plato
telah maju selangkah dalam pemikirannya, Socrates baru sampai pada pemikiran
tentang sesuatu yang umum dan merupakan hakikat suatu realitas, tetapi Plato
telah mengembangkannya dengan pemikiran bahwa hakikat sesuatu realitas itu
bukan yang umum tetapi yang mempunyai kenyataan yang terpisah dari sesuatu yang
berada secara konkret, yaitu ide. Dunia ide inilah yang hanya dapat dipikirkan
dan diketahui oleh akal.[17]
D. Perumpamaan Gua
Alegori gua merupakan usaha Plato untuk
menjelaskan perjalanan dialektik akal (jiwa manusiawi), hubungan antara
pengetahuan dan opini. Kendati ada banyak kesulitan dalam interpretasi, ada
suatu kesepakatan bahwa alegori gua sungguh diterima sebagai dasar epistimologi
Plato.
Plato mengantarkan melalui suatu bayangan
tentang sekelompok orang yang terkurung dalam gua dengan kepala dalam posisi
tegak, sementara kaki mereka dirantai supaya jangan menoleh dan melihat ke kiri
dan ke kanan, dibalik gua yang kelam itu agak jauh kepermukaan, terlihat api
yang memancarkan cahaya remang-remang, cukup untuk bisa melihat bayangan
benda-benda didalam gua. Bayangan merupakan satu-satunya yang dapat mereka
lihat dalam gua, namun karena sudah terbiasa hidup dalam kegelapan, mereka
tidak mampu membayangkan bahwa ada benda-benda atau tempat-tempat lain. Karena
sudah begitu terbiasa dengan kehidupan dalam gua, mereka sudah tidak ingin
pindah dari sana, namun apabila dipaksa keluar dari gua itu, mereka akan
merasakan lebih sebagai sesuatu yang merugikan daripada menolong. Mata mereka
pasti terbakar jika melihat api untuk pertama kali. Jelaslah dari gambaran ini
bahwa terang juga dapat membutakan mata dan juga dapat membawa kedalam
kegelapan.
Kiasan yang syarat makna itu mengingatkan pada
metafor “terang dan gelap”. Dengan kata lain, jika ingin melihat bagaimana
opini dan pengetahuan berfungsi dalam epistemologi Plato, apabila hanya melihat
sepintas lalu pada bentuknya, tata susunan alegori ini serupa dengan apa yang
dijelaskan Parmenides dan Heraklitos. Drama dalam gua secara jelas
menggambarkan dunia inderawi (the way of seeming) yang banyak didiskusikan
dalam kalangan filusuf pra-Socrates. Perjalanan naik sang tahanan dari
kegelapan menuju terang dan lain sebagainya mengantarkan seseorang menuju salah
satu isu pokok epistemologi Plato. Yaitu bagaimana opini dihubungkan atau
dipertentangkan dengan pengetahuan.[18]
E. Pembagian Filsafat
Mulai dari dulu ilmu filsafat diklasifikasikan
ke beberapa cabang, pembagiannya pun sering berlainan dan selalu menemui perubahan-perubahan.
Dulu juga, ilmu filsafat tidak dibedakan dengan ilmu-ilmu lainnya yang
dikarenakan kurang atau belum berkembang dan belum juga ada pengkhususan.
Filsafat adalah induk segala ilmu pengetahuan
(matter scientiarum) yang dulu merupakan suatu keseluruhan.
Plato membedakan filsafat atas tiga bagian,
yaitu sebagai berikut :
1. Dialektika : tentang ide-ide atau pengertian
umum
2. Fisika : tentang dunia materil
3. Etika : tentang kebaikan.[19]
F. Filsafat Negara
Filsafat Plato memuncak dalam uraian-uraiannya
mengenai negara, pemikirannya tentang filsafat negara malah menjadi acuan atau
motivasi untuk mengembangkan epistimologi.
Teori-teori Plato dalam filsafat negara yaitu
sebagai berikut :
1. Politeia
Politeia yang berarti tata negara, politeia
terdiri dari sepuluh buku atau bagian. Pokok yang diselidiki didalamnya adalah
keadilan. Dalam buku I pokok penyelidikan diperkenalkan. Agar menjadi lebih
jelas arti dari sebuah keadilan. Socrates mengusulkan supaya keutamaan ini
bukan hanya diperiksa pada perorangan melainkan dalam perspektif yang lebih
luas, yaitu negara. Oleh karena itu di buku II dialog selanjutnya membicarakan
tentang negara, bukan hanya satu negara yang konkret saja, melainkan mengenai
negara yang ideal.
Yang menjadi negara ideal harus ada :
1) Dasar ekonomis
Maksudnya manusia tidak bisa hidup seorang
diri tanpa membutuhkan bantuan orang lain, misalnya jika petani membuat bajak
dan cangkul sendiri, pakaian sendiri dan lain sebagainya, maka ia hampir tidak
mempunyai waktu lagi untuk mengolah tanah, apalagi tidak semua manusia yang
mempunyai keahlian yang sama. Oleh karena itu diperlukan adanya pengkhususan
dalam keahlian masing-masing.[20]
2) Para Penjaga
Karena pendapatnya mengenai spesialisasi dalam
bidang pekerjaan, maka secara konsekuen Plato berpendirian juga bahwa hanya
segolongan orang saja harus ditugaskan untuk melakukan perang yang kerap
disebut penjaga-penjaga (phylakes).
Seluruh buku III membicarakan tentang
pendidikan yang harus diberikan kepada penjaga-penjaga itu. Pria dan wanita
akan menerima pendidikan yang sama, sehingga para wanita juga dapat menjadi
penjaga dan mengambil bagian dalam peperangan.
Diantara para penjaga akan dipilih beberapa orang yang
akan menjadi pemimpin negara, hanya yang paling baik serta yang paling
terampilah yang dipilih, itupun masih harus memenuhi beberapa syarat yaitu
melanjutkan pendidikan yang akan membentuk mereka menjadi seorang filusuf,
setelah itu diadakan seleksi lagi untuk memilih siapa yang akan mempelajari
dialektika.[21]
3). Tiga golongan
a) Golongan yang pertama adalah golongan yang
tertinggi yang terdiri dari orang-orang yang memerintah seperti para
intelektual, cendikiawan dan filusuf.
b) Golongn kedua adalah golongan pembantu yang
terdiri dari prajurit yang bertugas untuk menjaga keamanan negara dan menjaga
ketaatan pada warganya.
c)
Golongan ketiga adalah golongan rakyat biasa terdiri dari
petani, pedagang, tukang yang bertugas untuk memikul ekonomi rakyat.[22]
2. Politikos
Merupakan suatu dialog yang tidak begitu
panjang, kalau dibandingkan dengan nomoi dan politeia. Pada akhir dialog
diberikan kesimpulan tentang keahlian seseorang politikos. Tugas seorang
negarawan dibandingkan dengan tugas seorang tukang tenun, sebagaiman tugas
tukang tenun menenun wol atau bahan
lainya, begitu juga dengan negarawan yang bertugas untuk menciptakan
keselarasan antara semua keahlian, sehingga keseluruhan yang harmonis terjamin.
Tentang bentuk negara yang paling baik menurut
politikos, bahwa sebaik baik undang-undang dibuat sejauh dirasakan perlu
menurut keadaan yang konkret, kira-kira seperti seorang dokter selalu mengganti
obat menurut keadaan pasiennya.[23]
3. Nomoi
Inilah dialog terakhir dan terpanjang yang
ditulis Plato, Nomoi sebetulnya meneruskan apa yang dibicarakan oleh Politikos.
Karena susunan negara dimana filusuf memegang kekuasaan dianggap tidak praktis.
Maka Politikos telah mengusulkan supaya uundang-undang menjadi instansi
tertinggi dalam negara. Lalu pertanyaan yang menyusul ialah undang-undang mana
yang harus dianggap cocok untuk suatu negara. Nomoi menjawab tiga pelaku
memainkan peranan dalam dialog ini. Pertama ada seorang Kreta yang ditugaskan
mendirikan polis baru dipulau Kreta, ia ditemani seorang sahabat yang bernama
Sparta, akhirnya mereka bertemu dengan orang asing dari Athena, karena
terpesona oleh kepandaiaannya, mereka mengundang ia untuk mengambil bagian
dalam percakapan mereka sebagai penasihat ahli. Dialog selanjutnya menghasilkan
undang-undang untuk polis baru itu.
Bentuk negara yang diusulkan dalam Nomoi
merupakan semacam campuran demokrasi dengan monarki, karena terlalu banyak
kelalaian dan terlalu banyak kebebasan yang keduanya merupakan dua ekstrim yang
sama buruknya.[24]
G. Karya-Karyanya
1.Otentisitas
Menurut dua sarjana Alexandria, yaitu
Thrasylos dan Derkylides. Daftar ini menyebutkan 36 karya Plato (surat-surat
dihitung sebagai satu karya) yang terbagi atas 9 “tetralogies” (grup yang
meliputi empat karya). Kini kebanyakan ahli sepakat dalam mengatakan bahwa dari
36 karya itu enam dialog berikut ini tidak bisa diaggap otentik: Alkibiades
II, Hipparkhos, Erastai, Theages, Klitophon, Minos. Dan ada eanam lagi
karya lain yang otentitasnya dipersoalkan; Alkibiades I, Ion, Menexinos,
Hippias Maior, Epinomis , Surt-surat.[25]
Semua karya itu tidak panjang dan dari sudut filsafat tidak penting juga.
Kalau sendainya semua akan dibuktikan tidak otentik, maka pandangan kita
terhadap Plato sebagai sastrawan dan filsuf tidak berubah banyak. Selain dari Alkibiades
II, yang diperkirakan berasal dari
masa Stoa, semua karya yang disebut tadi ditulis dalam abad ke-4, sepertinya
dalam lingkungan Akademia. Tentang karya-karya yang otentitasnya masih
merupakan obyek diskusi, Taylor cenderong berfikir bahwa beberapa diantaranya
dan barangkali semua betul-betul adalah buah pena Plato. Tentang Hippias dan Menexenos misalnya kita mempunyai data-data yang
menyatakan bahwa Aristoteles sudah mengandaikan kedua dialog ini ditulis oleh
Plato. Diskusi mengenai otentitas ketiga belas surat yang dianggap berasal dari
plato, tidak boleh diremehkan, karena surat-surat ini merupakan dokumen-dokumen
utama yang kita miliki mengenai riwayat hidup Plato.
2. Kronologi
Jika
urutan kronologis itu tidak dapat dipastikan, maka penyelidikan mengenai perkembangan
dalam pemikiran Plato tidak mempunyai dasar yang teguh dan tidak dapat melebihi
taraf dugaan saja. Diketahui bahwa aktivitas Plato sebagai sastrawan meliputi
kira-kira 50 tahun. Harus diandaikan bahwa Apologia ditulis tidak lama
sesudah kematian Socrates (tahun 399), ketika ingatan akan sidang pengadilan
yang telah menjatuhkan hukuman atas diri Socrates masih segar dalam hati para
warga negara Athena.
Mulai dengan Friedrich Schleiermacher
(1768-1834), banyak sarjana telah mengupayakan suatu pemecahan mengenai masalah
kronologi ini, sampai L.Campbell, C.Ritter, mengatakan bahwa dialog Shopietes,
Politikos, Philebos, Timaios, Kritias, dan Nomoi telah dikarang dalam
periode lain dari dialog-dialog lain. Karena Nomoi telah diketahui adalah hasil
pena Plato yang terakhir menjelang kematiannya.
Jadi para sarjana-sarjana tersebut mengambil
kesimpulan bahwa dialog-dialog Plato di klasifikasikan menjadi tiga periode,
yaitu sebagai berikut :
I.
Apologia, Kriton, Euytipron, Lakhes, Kharmides, Lysis, Hippias
Minor, Menun, Gorgias, Protagoras, Euthydemos, Kratylos, Phaidon, Symposion.
II.
Politeia, Phaidros, Parmenides, Theaitetos.
III.
Sophistes, Politikos, Philebos, Timaios, Kritias, Nomoi.[26]
KESIMPULAN
Banyak sekali yang dapat diambil dari seorang
filusuf yang sangat hebat tesebut baik berupa teori-teorinya, metode
pemikirannya, sampai hasil-hasil karyanya yang bisa dijadikan sumber referensi
pada sekarang ini.
Pemikirannya tentang ide pun masih ramai
diperbincangkan di ranah pendidikan, walaupun ia telah tiada tetapi buah
pemikiran serta sumbangsihnya terhadap pendidikan masih terasa ada.
Bahkan yang penulis kagumi dari Plato adalah
bisa menjembatani perbedaan yang begitu mencolok antara Herakleitos dan
Parmenides. Plato mengemukakan ajaran Herakleitos adalah benar tetapi hanya
berlaku pada dunia pengalaman, sebaliknya pendapat Parmenides juga benar,
tetapi hanya berlaku pada dunia ide yang hanya dapat dipikirkan oleh akal.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta, Rajawali
Pers, 2011.
Beoang, Konrad Kebung, Plato Menuju Pengetahuan yang
Benar, Yogyakarta, Kanisius, 1997.
Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta,
Kanisius, 1975.
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Yogyakarta,
Kanisius, 1980.
Hardiman, Budi, dan Mudji, dkk, Para Filusuf Penrntu
Gerak Jalan, Yogyakarta, Kanisius, 1992.
Maksum, Ali, Pengantar Filsafat dari Masa Klasik
hingga Postmodernisme, Yogyakarta, ar-Ruzz Media, 2011.
Rajasa, Sutan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya,
Karya Utama, 2002.
Rapar, Filsafat Politik Plato, Jakarta, Rajawali
Pers, 1996.
Salam, Burhanuddin, Pengantar Filsafat, Jakarta,
PT Bumi Aksara, 2000.
[2] Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodernisme, (Jogjakarta,
Ar-Ruzz Media, 2011), hlm 66.
[5] FX Mudji dan F Budi Hardiman, dkk, Para Filusuf Penentu Gerak Jalan, (Yogyakarta,
Kanisius, 1992), hlm 10.
[18] Konrad Kebung Beoang, Plato Menuju Pengetahuan yang Benar, (Yogyakarta,
Kanisius, 1997), hlm 27-28.
No comments:
Post a Comment