PENDAHULUAN
Pertumbuhan dan perkembangan manusia
pada umumnya dan pada tingkah laku pada khususnya, ditentukan oleh proses
pematangan dan proses belajar. Seorang bayi yang baru lahir sudah dapat
menangis, tetapi ia hampir mencapai tingkat kematangan tertentu sebelum ia
dapat tertawa. Kalau anak itu sudah lebih besar, maka ia akan belajar bahwa
menangis dan tertawa dapat digunakan untuk maksud-maksud tertentu pada
situasi-situasi tertentu. Pada umumnya perbuatan kita sehari- hari disertai
oleh perasaan-perasaan tertentu, yaitu perasaan senang atau perasaan tidak
senang. Perasaan senang atau tidak senang yang selalu menyertai perbuatan-perbuatan kita sehari-hari itu
disebut warna efektif. Warna efektif ini kadang-kadang kuat, kadang-kadang
lemah atau samar-samar saja. Perbedaan antara perasaan dan emosi tidak dapat
dinyatakan dengan tegas, karena keduanya merupakan suatu kelangsungan
kualitatif yang tidak jelas batasnya. Pada suatu saat tertentu, suatu warna
efektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai
emosi.
Sehubungan dengan pernyataan diatas
penulis mencoba memaparkan lebih lanjut tentang, Pengertian, Teori,
Pertumbuhan, Penggolongan, dan Pengaturan Emosi.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Emosi
Secara Etimologi, emosi berasal dari kata Prancis, yaitu Emotion,
yang berdasarkan kata Latin Emover, yang terdiri dari kata-kata e ( variant
atau ex), yang berarti keluar dan mover yang artinya bergerak, dengan demikian,
secara etimologi emosi berarti “ bergerak keluar”.[1]
sedangkan secara istilah emosi ialah
reaksi penilaian ( positif atau
negatif ) yang komplek dari system saraf seseorang
terhadap rangsangan dari luar atau dari dalam dirinya sendiri.[2]
Definisi itu menggambarkan bahwa emosi
diawali dengan adanya rangsangan dari luar ( benda, manusia, situasi, cuaca ),
maupun dari dalam diri kita (tekanan darah, lapar, haus, ngantuk, dan
sebagainya ) pada indra-indra kita. Selanjutnya, orang menafsirkan persepsi
atas rangsangan itu sebagai suatu hal yang positif seperti hal yang menyenangkan
dan menarik atau yang negatif seperti
yang menakutkan dan rasa ingin menghindar yang selanjutnya diterjemahkan dalam
respons-respons fisiologik dan motorik seperti jantung berdebar, mulut
menganga, bulu roma berdiri, mata merah dan sebagainya dan pada saat itulah
terjadi emosi.
B.
Teori-Teori Tentang Emosi
Pendapat-pendapat mengenai eksistensi emosi awalnya berkaitan
dengan pandangan para filosof tentang emosi jiwa. Rene Descartes mengatakan
bahwa emosi manusia merupakan gejala alamiah yang sudah ada sejak manusia
dilahirkan. Rene Descartes dengan teori nativismenya, ia menegaskan bahwa
secara alamiah, manusia sejak lahir, telah melirik emosi dasar yaitu cinta,
kegembiraan, keinginan, benci, sedih, dan kagum.
Wiliam James dan Carl Lange dengan teori emosi, James Lange
mengatakan bahwa emosi adalah hasil persepsi seseorang terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh sebagai respons terhadap
rangsangan-rangsangan yang datang dari luar. Jadi emosi berkembang didasarkan
pada pengalaman.[3]
Walter Canon dan Philip Bard membuktikan dalam penelitiannya dengan
hewan, bahwa reaksi motorik timbul setelah takut, bukan reaksi motorik
menimbulkan takut. Jadi orang menjerit dan lari karena takut, bukan menjerit
dulu baru takut.[4]
Teori Canon Bard ini pun masih belum dianggap baik, karena
penelitian-penelitian berikutnya oleh para penganut aliran psikologi kognitif
menemukan bahwa reaksi orang terhadap suatu rangsangan tertentu bisa
berbeda-beda. Seorang ibu rumah tangga yang belum pernah melihat beruang,
memang bisa menjerit ketakutan, jika ia menemukan beruang dihalaman rumahnya.
Tetapi, seorang pelatih beruang akan beraksi tenang saja, sama sekali tidak
takut karena sudah terbiasa dengan binatang itu, jadi disini ada factor
interpretasi terhadap rangsangan ( bukan terhadap reaksi motorik) yang
menyebabkan akan timbul emosi atau tidak.
Jelaslahlah bahwa menurut psikologi kognitif, emosi sangat
tergantung pada pengalaman, dipelajari, dan empiric. Dalam praktik banyak kita
temui suami yang tidak bergairah lagi dengan istrinya sendiri walau sangat
cantik, karena sudah beberapa tahun ia bergaul dengan istrinya terus jadi sudah
terbiasa, sementara emosinya lebih terpacu ketika melihat pembantu rumahnya
yang baru datang dari desa ( suatu yang baru lebih memacu adrenalin).[5]
William Wundt (1832-1920) membagi tiga macam emosi manusia, yaitu :
1.
Lust Unlust ( senang-tak senang )
2.
Spanming-Losung ( tegang- tak tegang )
3.
Erregung-Berubigung ( semangat-tenang )[6].
Gejala emosi bersumber dari dalam jiwa manusia, tetapi gejala itu
dapat memunculkan aktifitas fisik manusia, sebagaimana orang yang kesakitan
menangis. Reaksi tubuh kita merespons emosi yang dicirikan oleh hal-hal
berikut.
1.
Reaksi elektris pada kulit, meningkat bila terpesona.
2.
Peredaran darah, bertambah cepat bila marah.
3.
Denyut jantung, bertambah cepat bila terkejut.
4.
Pernapasan, bernapas panjang kalau kecewa.
5.
Pupil mata, membesar bila sakit atau marah.
6.
Liur, mongering kalau takut atau tegang.
7.
Bulu Roma, berdiri kalau takut.
8.
Pencernaan, mencret-mencret kalau tegang.
9.
Otot, ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau
bergetar (tremor).
10.
Komposisi darah, komposisi darah akan ikut berubah dalam keadaan
emosional karena kelenjar-kelenjar lebih aktif.[7]
Gejala psikis manusia normal sepanjang hidupnya bergantung pada
dukungan internal dalam dirinya dan dorongan atau dukungan eksternal dari
lingkungannya. Perasaan yang diharapkan diantaranya adalah :
a.
Rasa aman ( safety )
Rasa aman merupakan kebutuhan psikologis manusia. Jika manusia
menikmati rasa aman, aktifitas jiwanya memberikan dampak positif bagi
kehidupannya.
b.
Rasa percaya
Rasa percaya diri merupakan gejala jiwa yang sangat berharga untuk
menunjukan penampilan diri secara visual. Percaya diri membangkitkan kecerdasan
dan pergaulan yang luas.
c.
kontrol ( control )
sikap mawas diri merupakan gejala kepribadian yang tumbuh
lebih kuat dalam upaya melindungi maupun menghindarkan diri dari segala sesuatu yang akan merugikan
diri sendiri.
d.
Harga diri
Citra diri berkaitan dengan harga diri. Aktualitas kepribadian
yang berhubungan dengan perasaan ingin dihargai, ingin dicintai, marah, dan
kecewa berkaitan dengan perasaan harga diri. Setiap manusia memiliki perasaan
harga diri, namun batasan harga dirinya berbeda-beda. Hal itu akan berkaitan
dengan status pribadi, keluarga, lingkungan, dan karakteristiknya.[8]
C.
Pertumbuhan Emosi Jiwa
Emosi merupakan salah satu gejala jiwa yang tumbuh dan berkembang
mengikuti perkembangan fisik dan pola pikir manusia. Seorang bayi memiliki kepekaan
emosional yang kuat menurut ukuran usianya. Perkembangannya didasarkan pada
sentuhan-sentuhan lembut ibunya, rasa air susu yang diminum, penglihatan
terhadap cahaya, pendengaran, dan pengalaman-pengalaman sensorisnya.
Bayi bisa menangis ketika lapar, buang air
kecil, dan mengantuk. Ketika bayi baru saja dimandikan lalu dijemur sambil
menyusui, emosinya berperan untuk mengendorkan urat sarafnya sehingga iapun
tertidur lelap. Bayi refleks dengan jiwanya yang sederhana, misalnya
menggenggam tidak ada yang mengajarkan bayi menggenggam, tetapi muncul secara
refleks, keinginan untuk menggenggam muncul begitu saja. Bayi secara refleks
menyusu tanpa mencari-cari payudara ibunya, genggaman bayi semakin lama semakin
berubah, yang menunjukan bahwa tingkat emosinya ikut berkembang.
Pertumbuhan emosi berjalan melalui proses
belajar secara langsung maupun tidak langsung. Dimulai dar perhatiannya
terhadap kebiasaan orangtuanya,
nasehat-nasehat, dan pengalaman-pengalaman barunya. Emosi-emosi yang muncul
misalnya senang bermain sebagai pelaku tokoh tertentu, misalnya menjadi
superman, senang dengan cerita-cerita kepahlawanan dalam bentuk binatang
misalnya kancil yang cerdas dan sebagainya.
Ketika orang tuanya mulai melarang salah satu
perbuatannya, anak pun tumbuh emosinya, muncul perasaan takut kepada orangtua.
Perkembangan itu terus terjadi sampai manusia beranjak dewasa dan otaknya
berkembang dengan pola pikir yang problematik. Perkembangan emosinya disertai
dengan pemahaman dan keadaan harga dirinya, seperti mengerti tentang sakit
hati, senang, sedih, cinta, putus asa dan sebagainya.[9]
Masa remaja adalah suatu perubahan. Pada masa remaja terjadi
perubahan yang cepat baik secara fisik, maupun psikologis. Ada beberapa
perubahan yang terjadi selama masa remaja yaitu :
1.
Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja
awal yang dikenal sebagai masa storm dan stress. Peningkatan emosional ini
merupakan hasil dari perubahan fisik, terutama hormon yang terjadi pada masa
remaja. Dari segi kondisi social, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa
remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda
dari masa sebelumnya. Pada masa ini, banyak tuntutan dan tekanan yang
ditujukan pada remaja, misalnya tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, lebih
mandiri dan bertanggung jawab.
2.
Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan
seksual. Terkadang, perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri
dan kemampuan diri mereka sendiri. Perubahan fisik yang terjadi secara cepat,
baik perubahan internal seperti pencernaan, dan system respirasi maupun
perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh
sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.
3.
Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan
orang lain. Selama masa remaja, banyak hal yang menarik bagi dirinya dibawa
dari masa kanak-kanak digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang.
Hal itu juga dikarenakan adanya tanggung jawab yang lebih besar pada masa
remaja, maka remaja diharapkan untuk mengarahkan ketertarikan mereka pada
hal-hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang
lain. Remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin
yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.
4.
Perubahan nilai, apa yang mereka anggap penting pada masa
kanak-kanak menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.
5.
Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan
yang terjadi[10]
D. Penggolongan Emosi
Membedakan satu dari emosi lainnya
dan menggolongkan emosi-emosi yang sejenis kedalam suatu golongan atau satu
tipe yang sangat sukar dilakukan karena hal-hal berikut ini:
1)
Emosi yang sangat mendalam
Misalnya,
sangat marah atau sangat takut menyebabkan aktiftas badan sangat tinggi,
sehingga seluruh tubuh aktif. Dalam keadaan seperti ini sukar menentukan apakah
seseorang itu sedang takut atau sedang marah.
2)
Pengahayatan
Satu orang yang dapat mengahayati satu macam emosi dengan berbagai
cara. Misalnya, kalau marah seorang akan germetar di tempat, tetapi lain kali
ia memaki-memaki, atau mungkin lari.
3)
Nama emosi
Nama yang umumnya diberikan kepada berbagai jenis emosi biasanya
didasarkan oleh sifat rangsangannya, bukan pada keadaan emosinya sendiri. Jadi,
“takut” adalah emosi yang timbul terhadap suatu bahaya yang menjengkelkan.
4)
Pengenalan emosi
Pengenalan emosi secara subjektif dan introspektif, sukar dilakukan
karena selalu saja ada pengaruh dari lingkungan.[11]
E. Pengaturan
Emosi
Setiap masyarakat memiliki
serangkain aturan bagaimana emosi ditampilkan (emotional display rule).
Aturan ini mengatur pada situasi mana emosi tertentu harus atau jangan
diekspresikan. Misalnya, anak-anak belajar bahwa jika mereka mendapatkan
hadiah, mereka memperlihatkan kegembiraan dan terima kasih, dan menekan kekecewaan
jika hadiah tersebut sebenarnya tidak mereka sukai. Islam juga memberikan
petunjuk agar setiap orang memiliki kendali terhadap berbagai emosi yang
ditampilkannya. Dalam hadis diajarkan bahwa seseorang harus mampu mengendalikan
amarahnya, sebagaimana berikut ini:
“Barang siapa mampu menahan amarah padahal dia
mampu untuk melampiaskannya, maka Allah swt akan menyeru dihari kiamat nanti,
hingga dia bebas untuk memilih bidadari yang dia sukai”. (Hr. Abu Dawud dan Turmuji).
Untuk pengendalian emosi ini
seseorang harus memiliki kemampuan dan strategi untuk mengatur emosinya.
Orang-orang yang memiliki kemampuan ini adalah orang yang memiliki kekuatan
kepribadian. Berkaitan dengan hal ini, Nabi Muhammad saw bersabda :
“Dari Abdullah bin Mas’ud r.a.bahwa Rasulullah
Saw. Bertanya kepada para sahabatnya: “siapa yang kalian anggap sebagai orang
yang perkasa di antara kalian?” Para sahabat berkata: “orang yang tidak pernah
dibanting oleh orang-orang. “Rasulullah Saw bersabda: “Tidak, akan tetapi yang
disebut orang perkasa adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika sedang
marah”. (HR Muslim dan Abu Dawud)
Berbagai strategi dapat digunakan
untuk mengendalikan emosi. Dalam manajemen kemarahan, Nabi Muhammad Saw
mengajarkan:
“Apabila salah seorang dari kalian
marah sambil berdiri, maka hendakalah dia duduk. Jika rasa marah itu menghilang
dari dirinya (maka hal itu sudahlah cukup). Namun bila masih belum hilang juga
hendaknya dia berbaring. Sesungguhnya rasa marah itu termasuk godaan setan dan
sesungguhnya setan itu diciptakan dari api. Sesungguhnya api hanya bisa
dipadamkan dengan air. Oleh karena itu, jika salah satu di antara kalian marah,
hendaknya dia berwudhu.” (HR Abu Dawud)
Selain itu, Islam juga mengajarkan
agar manusia tidak berlebih-lebihan dalam melupakan emosinya. Intensitas emosi
yang terlalu tinggi dapat membuat seseorang kehilangan control, baik emosi
negatif maupun emosi positif.
“supaya kamu jangan terlalu berduka cita
terhadap apa yang luput darimu , dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap
apa yang diberikan-Nya kepadamu, dan Allah tidak menyukai orang yang sombong
lagi membanggakan diri”. (Qs.al-Hadid
: 23).
Pengaturan emosi ( emotional
regulation ) ini sebenarnya telah dipelajari mulai dari bayi. Ketika
berinteraksi dengan ibunya, ibu menjadi model bagi bayi dalam mempelajari
emosi. Bayi meniru tanggapan emosional ibu terhadap berbagai situasi. Ibu juga
memberikan tanggapan selektif terhadap emosi bayi, misalnya ibu sering kali
lebih banyak menanggapi ekspresi
ketertarikan atau keterkejutan bayi dibandingkan emosi negative. Namun
emosi yang dapat diterima secara social berbeda dari satu tempat ketempat lain
dan dari satu waktu kewaktu lain.
Pada usia 3 tahun anak masih
memiliki kemampuan terbatas untuk menyembunyikan emosi yang dimilikinya untuk
memenuhi aturan penampilan emosi yang dapat diterima oleh budaya setempat.
Misalnya seseorang anak yang berbohong tentang mainan yang dirusaknya pada usia
ini, masih memperlihatkan rasa tidak sukanya terhadap mainan tersebut. Namun,
mereka cukup dapat menyembunyikan informasi yang sesungguhnya yang ingin
diketahui orang lain dengan pertambahan usia, anak prasekolah menjadi lebih
baik untuk mengeluarkan emosi yang berbeda dengan emosi yang dimilikinya, namun
masih berbeda, jika mereka mengeluarkan emosi mereka yang sebenarnya. Pada usia
sekolah anak menjadi lebih mampu menyesuaikan dirinya dengan tuntutan tampilan
emosi dari lingkungannya. Anak perempuan lebih didorong mengetahui aturan ini,
sehingga mereka lebih manis dari segi tata karma. Ibu sering kali menanggapi
emosi yang positif dari pada emosi yang negative. Namun meskipun seseorang
terus mengalami pertambahan usia, mereka juga masih memperlihatkan kegagalan
dalam menguasai keterampilan ini. Keterampilan ini memang sulit untuk dikuasai,
membutuhkan pemahaman bagaimana mengubah tampilan emosi, memahami persfektif
orang lain, mengetahui bahwa keadaan eksternal tidak harus sesuai dengan
keadaan internal, memiliki kontrol otot untut menghasilkan ekspresi emosi,
sensitive terhadap isyarat kontektual sosial yang memerhatikan mereka dalam mengubah ekspresi, dan
memiliki motivasi untuk menunjukkannya dengan cara yang sesuai dengan tata
krama.
Terdapat dua jenis aturan tampilan emosional :
prososial (prosocial) dan protektif diri (self protective). Prososial
menampilkan aturan, emosi untuk melindungi emosi orang lain, sementara
protektif diri merupakan pengaturan untuk menyembunyikan emosi dalam rangka
menyelamatkan muka atau melindungi dirinya dari konsekuensi negatif. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan untuk melindungi diri lebih dulu
muncul, namun penelitian lain menunjukkan sebaliknya. Anak lebih berusaha
untuk mengontrol ucapannya daripada mimik mukanya dalam menampilkan emosi.
Lebih mudah untuk mengontrol ucapan dari pada otot wajah.
Kemampuan untuk mengatur emosi juga
terkadang disalah gunakan untuk memanipulasi emosi orang lain. Alquran menceritakan
bagaimana saudara-saudara Nabi Yusuf a.s., berbohong kepada ayah mereka Nabi
Ya’qub a.s. dengan cara menangis dihadapan ayah mereka.
Maka takala mereka membawanya dan
sepakat memasukannya kedasar sumur (lalu masukan dia kemudian mereka datang
kepada ayah mereka disore hari sambil menangis. Mereka berkata: “Wahai ayah
kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat
barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala, dan kamu sekali-kali tidak akan
percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar.” (QS Yusuf
16).
Hal ini dilakukan untuk menyusuaikan
diri antara keinginan mereka dan harapan social terhadap perilaku mereka.[12]
KESIMPULAN
Emosi ialah
reaksi penilaian ( positif atau
negatif ) yang komplek dari system saraf seseorang
terhadap rangsangan dari luar atau dari dalam dirinya sendiri. Definisi itu
menggambarkan bahwa emosi diawali dengan
adanya rangsangan dari luar ( benda, manusia, situasi, cuaca ), maupun dari
dalam diri kita (tekanan darah, lapar, haus, ngantuk, dan sebagainya ) pada
indra-indra kita.
Rene Descartes
mengatakan bahwa emosi manusia merupakan gejala alamiah yang sudah ada sejak
manusia dilahirkan. Rene Descartes
dengan teori nativismenya, ia menegaskan bahwa secara alamiah, manusia sejak
lahir, telah melirik emosi dasar yaitu cinta, kegembiraan, keinginan, benci,
sedih, dan kagum.
Ada empat yang menyebabkan emosi sukar dilakukan yaitu : emosi yang
sangat mendalam, penghayatan, nama, dan perkenalan emosi. Dan yang dapat
mengatur emosi adalah kekuatan kepribadian.
DAFTAR PUSTAKA
Aliah B.
Purwakania dan Hasan, Psikologi dan Perkembangan Islam, PT Raja Grafindo
Persada, 2008.
Mursidin, Psikologi
Umum, Bandung CV Pustaka Setia, 2010.
Netty, Hartati,
dkk, Islam dan Psikologi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005.
W. Sarwono,
Sarlito, Pegantar Psikologi Umum, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
2010.
[1] Sarlito W. Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada, 2010), Cet ke-2, hlm 125.
[3] Mursidin, Psikologi Umum, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2010),
hlm 225.
[4] Sarlito W Sarwono, Log,. Cit, hlm 130.
[5] Ibid, hlm 131.
[6] Mursidin, Log, Cit, hlm 225.
[7] Ibid, hlm 226.
[10] Ibid, hlm 228-229.
[11] Hartati, Netty, dkk, Islam dan Psikologi, ( Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2005 ), hlm 99.
[12] Hasan dan Aliah B.
Purwakania, Psikologi Perkembangan Islam, ( Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 2008 ), 172-175.
No comments:
Post a Comment