Friday, October 2, 2015

Emosi



PENDAHULUAN
Pertumbuhan dan perkembangan manusia pada umumnya dan pada tingkah laku pada khususnya, ditentukan oleh proses pematangan dan proses belajar. Seorang bayi yang baru lahir sudah dapat menangis, tetapi ia hampir mencapai tingkat kematangan tertentu sebelum ia dapat tertawa. Kalau anak itu sudah lebih besar, maka ia akan belajar bahwa menangis dan tertawa dapat digunakan untuk maksud-maksud tertentu pada situasi-situasi tertentu. Pada umumnya perbuatan kita sehari- hari disertai oleh perasaan-perasaan tertentu, yaitu perasaan senang atau perasaan tidak senang. Perasaan senang atau tidak senang yang selalu menyertai  perbuatan-perbuatan kita sehari-hari itu disebut warna efektif. Warna efektif ini kadang-kadang kuat, kadang-kadang lemah atau samar-samar saja. Perbedaan antara perasaan dan emosi tidak dapat dinyatakan dengan tegas, karena keduanya merupakan suatu kelangsungan kualitatif yang tidak jelas batasnya. Pada suatu saat tertentu, suatu warna efektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi.
Sehubungan dengan pernyataan diatas penulis mencoba memaparkan lebih lanjut tentang, Pengertian, Teori, Pertumbuhan, Penggolongan, dan Pengaturan Emosi.









                                                          PEMBAHASAN
A.    Pengertian  Emosi
Secara Etimologi, emosi berasal dari kata Prancis, yaitu Emotion, yang berdasarkan kata Latin Emover, yang terdiri dari kata-kata e ( variant atau ex), yang berarti keluar dan mover yang artinya bergerak, dengan demikian, secara etimologi emosi berarti “ bergerak keluar”.[1]
sedangkan secara istilah emosi ialah reaksi penilaian ( positif atau negatif ) yang komplek dari system saraf seseorang terhadap rangsangan dari luar atau dari dalam dirinya sendiri.[2] Definisi itu menggambarkan bahwa  emosi diawali dengan adanya rangsangan dari luar ( benda, manusia, situasi, cuaca ), maupun dari dalam diri kita (tekanan darah, lapar, haus, ngantuk, dan sebagainya ) pada indra-indra kita. Selanjutnya, orang menafsirkan persepsi atas rangsangan itu sebagai suatu hal yang positif seperti hal yang menyenangkan dan  menarik atau yang negatif seperti yang menakutkan dan rasa ingin menghindar yang selanjutnya diterjemahkan dalam respons-respons fisiologik dan motorik seperti jantung berdebar, mulut menganga, bulu roma berdiri, mata merah dan sebagainya dan pada saat itulah terjadi emosi.
B.     Teori-Teori Tentang Emosi
Pendapat-pendapat mengenai eksistensi emosi awalnya berkaitan dengan pandangan para filosof tentang emosi jiwa. Rene Descartes mengatakan bahwa emosi manusia merupakan gejala alamiah yang sudah ada sejak manusia dilahirkan. Rene Descartes dengan teori nativismenya, ia menegaskan bahwa secara alamiah, manusia sejak lahir, telah melirik emosi dasar yaitu cinta, kegembiraan, keinginan, benci, sedih, dan kagum.
Wiliam James dan Carl Lange dengan teori emosi, James Lange mengatakan bahwa emosi adalah hasil persepsi seseorang terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh sebagai respons terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari luar. Jadi emosi berkembang didasarkan pada pengalaman.[3]

Walter Canon dan Philip Bard membuktikan dalam penelitiannya dengan hewan, bahwa reaksi motorik timbul setelah takut, bukan reaksi motorik menimbulkan takut. Jadi orang menjerit dan lari karena takut, bukan menjerit dulu baru takut.[4]
Teori Canon Bard ini pun masih belum dianggap baik, karena penelitian-penelitian berikutnya oleh para penganut aliran psikologi kognitif menemukan bahwa reaksi orang terhadap suatu rangsangan tertentu bisa berbeda-beda. Seorang ibu rumah tangga yang belum pernah melihat beruang, memang bisa menjerit ketakutan, jika ia menemukan beruang dihalaman rumahnya. Tetapi, seorang pelatih beruang akan beraksi tenang saja, sama sekali tidak takut karena sudah terbiasa dengan binatang itu, jadi disini ada factor interpretasi terhadap rangsangan ( bukan terhadap reaksi motorik) yang menyebabkan akan timbul emosi atau tidak.
Jelaslahlah bahwa menurut psikologi kognitif, emosi sangat tergantung pada pengalaman, dipelajari, dan empiric. Dalam praktik banyak kita temui suami yang tidak bergairah lagi dengan istrinya sendiri walau sangat cantik, karena sudah beberapa tahun ia bergaul dengan istrinya terus jadi sudah terbiasa, sementara emosinya lebih terpacu ketika melihat pembantu rumahnya yang baru datang dari desa ( suatu yang baru lebih memacu adrenalin).[5]
William Wundt (1832-1920) membagi tiga macam emosi manusia, yaitu :
1.      Lust Unlust ( senang-tak senang )
2.      Spanming-Losung ( tegang- tak tegang )
3.      Erregung-Berubigung ( semangat-tenang )[6].
Gejala emosi bersumber dari dalam jiwa manusia, tetapi gejala itu dapat memunculkan aktifitas fisik manusia, sebagaimana orang yang kesakitan menangis. Reaksi tubuh kita merespons emosi yang dicirikan oleh hal-hal berikut.
1.         Reaksi elektris pada kulit, meningkat bila terpesona.
2.         Peredaran darah, bertambah cepat bila marah.
3.         Denyut jantung, bertambah cepat bila terkejut.
4.         Pernapasan, bernapas panjang kalau kecewa.
5.         Pupil mata, membesar bila sakit atau marah.
6.         Liur, mongering kalau takut atau tegang.
7.         Bulu Roma, berdiri kalau takut.
8.         Pencernaan, mencret-mencret kalau tegang.
9.        Otot, ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau bergetar (tremor).
10.     Komposisi darah, komposisi darah akan ikut berubah dalam keadaan emosional karena kelenjar-kelenjar lebih aktif.[7]
Gejala psikis manusia normal sepanjang hidupnya bergantung pada dukungan internal dalam dirinya dan dorongan atau dukungan eksternal dari lingkungannya. Perasaan yang diharapkan diantaranya adalah :
a.         Rasa aman ( safety )
Rasa aman merupakan kebutuhan psikologis manusia. Jika manusia menikmati rasa aman, aktifitas jiwanya memberikan dampak positif bagi kehidupannya.
b.         Rasa percaya
Rasa percaya diri merupakan gejala jiwa yang sangat berharga untuk menunjukan penampilan diri secara visual. Percaya diri membangkitkan kecerdasan dan pergaulan yang luas.
c.         kontrol ( control )
sikap mawas diri merupakan gejala kepribadian yang tumbuh lebih kuat dalam upaya melindungi maupun menghindarkan  diri dari segala sesuatu yang akan merugikan diri sendiri.
d.        Harga diri
Citra diri berkaitan dengan harga diri. Aktualitas kepribadian yang berhubungan dengan perasaan ingin dihargai, ingin dicintai, marah, dan kecewa berkaitan dengan perasaan harga diri. Setiap manusia memiliki perasaan harga diri, namun batasan harga dirinya berbeda-beda. Hal itu akan berkaitan dengan status pribadi, keluarga, lingkungan, dan karakteristiknya.[8]


C.    Pertumbuhan Emosi Jiwa
Emosi merupakan salah satu  gejala jiwa yang tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan fisik dan pola pikir manusia. Seorang bayi memiliki kepekaan emosional yang kuat menurut ukuran usianya. Perkembangannya didasarkan pada sentuhan-sentuhan lembut ibunya, rasa air susu yang diminum, penglihatan terhadap cahaya, pendengaran, dan pengalaman-pengalaman sensorisnya.
Bayi bisa menangis ketika lapar, buang air kecil, dan mengantuk. Ketika bayi baru saja dimandikan lalu dijemur sambil menyusui, emosinya berperan untuk mengendorkan urat sarafnya sehingga iapun tertidur lelap. Bayi refleks dengan jiwanya yang sederhana, misalnya menggenggam tidak ada yang mengajarkan bayi menggenggam, tetapi muncul secara refleks, keinginan untuk menggenggam muncul begitu saja. Bayi secara refleks menyusu tanpa mencari-cari payudara ibunya, genggaman bayi semakin lama semakin berubah, yang menunjukan bahwa tingkat emosinya ikut berkembang.
Pertumbuhan emosi berjalan melalui proses belajar secara langsung maupun tidak langsung. Dimulai dar perhatiannya terhadap  kebiasaan orangtuanya, nasehat-nasehat, dan pengalaman-pengalaman barunya. Emosi-emosi yang muncul misalnya senang bermain sebagai pelaku tokoh tertentu, misalnya menjadi superman, senang dengan cerita-cerita kepahlawanan dalam bentuk binatang misalnya kancil yang cerdas dan sebagainya.
Ketika orang tuanya mulai melarang salah satu perbuatannya, anak pun tumbuh emosinya, muncul perasaan takut kepada orangtua. Perkembangan itu terus terjadi sampai manusia beranjak dewasa dan otaknya berkembang dengan pola pikir yang problematik. Perkembangan emosinya disertai dengan pemahaman dan keadaan harga dirinya, seperti mengerti tentang sakit hati, senang, sedih, cinta, putus asa dan sebagainya.[9]
Masa remaja adalah suatu perubahan. Pada masa remaja terjadi perubahan yang cepat baik secara fisik, maupun psikologis. Ada beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja yaitu :
1.                  Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal sebagai masa storm dan stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik, terutama hormon yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi social, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda  dari masa sebelumnya. Pada masa ini, banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, lebih mandiri dan bertanggung jawab.
2.                  Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual. Terkadang, perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuan diri mereka sendiri. Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik perubahan internal seperti pencernaan, dan system respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.
3.                  Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain. Selama masa remaja, banyak hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak-kanak digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Hal itu juga dikarenakan adanya tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja, maka remaja diharapkan untuk mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.
4.                  Perubahan nilai, apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.
5.                  Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi[10]
D. Penggolongan Emosi
Membedakan satu dari emosi lainnya dan menggolongkan emosi-emosi yang sejenis kedalam suatu golongan atau satu tipe yang sangat sukar dilakukan karena hal-hal berikut ini:


1)        Emosi yang sangat mendalam
Misalnya, sangat marah atau sangat takut menyebabkan aktiftas badan sangat tinggi, sehingga seluruh tubuh aktif. Dalam keadaan seperti ini sukar menentukan apakah seseorang itu sedang takut atau sedang marah.
2)        Pengahayatan
Satu orang yang dapat mengahayati satu macam emosi dengan berbagai cara. Misalnya, kalau marah seorang akan germetar di tempat, tetapi lain kali ia memaki-memaki, atau mungkin lari.
3)        Nama emosi
Nama yang umumnya diberikan kepada berbagai jenis emosi biasanya didasarkan oleh sifat rangsangannya, bukan pada keadaan emosinya sendiri. Jadi, “takut” adalah emosi yang timbul terhadap suatu bahaya yang menjengkelkan.
4)        Pengenalan emosi
Pengenalan emosi secara subjektif dan introspektif, sukar dilakukan karena selalu saja ada pengaruh dari lingkungan.[11]
E. Pengaturan Emosi
Setiap masyarakat memiliki serangkain aturan bagaimana emosi ditampilkan (emotional display rule). Aturan ini mengatur pada situasi mana emosi tertentu harus atau jangan diekspresikan. Misalnya, anak-anak belajar bahwa jika mereka mendapatkan hadiah, mereka memperlihatkan kegembiraan dan terima kasih, dan menekan kekecewaan jika hadiah tersebut sebenarnya tidak mereka sukai. Islam juga memberikan petunjuk agar setiap orang memiliki kendali terhadap berbagai emosi yang ditampilkannya. Dalam hadis diajarkan bahwa seseorang harus mampu mengendalikan amarahnya, sebagaimana berikut ini:
“Barang siapa mampu menahan amarah padahal dia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah swt akan menyeru dihari kiamat nanti, hingga dia bebas untuk memilih bidadari yang dia sukai”. (Hr. Abu Dawud dan Turmuji).
Untuk pengendalian emosi ini seseorang harus memiliki kemampuan dan strategi untuk mengatur emosinya. Orang-orang yang memiliki kemampuan ini adalah orang yang memiliki kekuatan kepribadian. Berkaitan dengan hal ini, Nabi Muhammad saw bersabda :
“Dari Abdullah bin Mas’ud r.a.bahwa Rasulullah Saw. Bertanya kepada para sahabatnya: “siapa yang kalian anggap sebagai orang yang perkasa di antara kalian?” Para sahabat berkata: “orang yang tidak pernah dibanting oleh orang-orang. “Rasulullah Saw bersabda: “Tidak, akan tetapi yang disebut orang perkasa adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika sedang marah”. (HR Muslim dan Abu Dawud)
Berbagai strategi dapat digunakan untuk mengendalikan emosi. Dalam manajemen kemarahan, Nabi Muhammad Saw mengajarkan:
“Apabila salah seorang dari kalian marah sambil berdiri, maka hendakalah dia duduk. Jika rasa marah itu menghilang dari dirinya (maka hal itu sudahlah cukup). Namun bila masih belum hilang juga hendaknya dia berbaring. Sesungguhnya rasa marah itu termasuk godaan setan dan sesungguhnya setan itu diciptakan dari api. Sesungguhnya api hanya bisa dipadamkan dengan air. Oleh karena itu, jika salah satu di antara kalian marah, hendaknya dia berwudhu.” (HR Abu Dawud)
Selain itu, Islam juga mengajarkan agar manusia tidak berlebih-lebihan dalam melupakan emosinya. Intensitas emosi yang terlalu tinggi dapat membuat seseorang kehilangan control, baik emosi negatif maupun emosi positif.
“supaya kamu jangan terlalu berduka cita terhadap apa yang luput darimu , dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu, dan Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (Qs.al-Hadid : 23).
Pengaturan emosi ( emotional regulation ) ini sebenarnya telah dipelajari mulai dari bayi. Ketika berinteraksi dengan ibunya, ibu menjadi model bagi bayi dalam mempelajari emosi. Bayi meniru tanggapan emosional ibu terhadap berbagai situasi. Ibu juga memberikan tanggapan selektif terhadap emosi bayi, misalnya ibu sering kali lebih banyak menanggapi ekspresi  ketertarikan atau keterkejutan bayi dibandingkan emosi negative. Namun emosi yang dapat diterima secara social berbeda dari satu tempat ketempat lain dan dari satu waktu kewaktu lain.
Pada usia 3 tahun anak masih memiliki kemampuan terbatas untuk menyembunyikan emosi yang dimilikinya untuk memenuhi aturan penampilan emosi yang dapat diterima oleh budaya setempat. Misalnya seseorang anak yang berbohong tentang mainan yang dirusaknya pada usia ini, masih memperlihatkan rasa tidak sukanya terhadap mainan tersebut. Namun, mereka cukup dapat menyembunyikan informasi yang sesungguhnya yang ingin diketahui orang lain dengan pertambahan usia, anak prasekolah menjadi lebih baik untuk mengeluarkan emosi yang berbeda dengan emosi yang dimilikinya, namun masih berbeda, jika mereka mengeluarkan emosi mereka yang sebenarnya. Pada usia sekolah anak menjadi lebih mampu menyesuaikan dirinya dengan tuntutan tampilan emosi dari lingkungannya. Anak perempuan lebih didorong mengetahui aturan ini, sehingga mereka lebih manis dari segi tata karma. Ibu sering kali menanggapi emosi yang positif dari pada emosi yang negative. Namun meskipun seseorang terus mengalami pertambahan usia, mereka juga masih memperlihatkan kegagalan dalam menguasai keterampilan ini. Keterampilan ini memang sulit untuk dikuasai, membutuhkan pemahaman bagaimana mengubah tampilan emosi, memahami persfektif orang lain, mengetahui bahwa keadaan eksternal tidak harus sesuai dengan keadaan internal, memiliki kontrol otot untut menghasilkan ekspresi emosi, sensitive terhadap isyarat kontektual sosial yang memerhatikan mereka dalam mengubah ekspresi, dan memiliki motivasi untuk menunjukkannya dengan cara yang sesuai dengan tata krama.
Terdapat dua jenis aturan tampilan emosional : prososial (prosocial) dan protektif diri (self protective). Prososial menampilkan aturan, emosi untuk melindungi emosi orang lain, sementara protektif diri merupakan pengaturan untuk menyembunyikan emosi dalam rangka menyelamatkan muka atau melindungi dirinya dari konsekuensi negatif. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan untuk melindungi diri lebih dulu muncul, namun penelitian lain menunjukkan sebaliknya. Anak lebih berusaha untuk mengontrol ucapannya daripada mimik mukanya dalam menampilkan emosi. Lebih mudah untuk mengontrol ucapan dari pada otot wajah.
Kemampuan untuk mengatur emosi juga terkadang disalah gunakan untuk memanipulasi emosi orang lain. Alquran menceritakan bagaimana saudara-saudara Nabi Yusuf a.s., berbohong kepada ayah mereka Nabi Ya’qub a.s. dengan cara menangis dihadapan ayah mereka.
Maka takala mereka membawanya dan sepakat memasukannya kedasar sumur (lalu masukan dia kemudian mereka datang kepada ayah mereka disore hari sambil menangis. Mereka berkata: “Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala, dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar.” (QS Yusuf 16).
Hal ini dilakukan untuk menyusuaikan diri antara keinginan mereka dan harapan social terhadap perilaku mereka.[12]











KESIMPULAN
Emosi ialah reaksi penilaian ( positif atau negatif ) yang komplek dari system saraf seseorang terhadap rangsangan dari luar atau dari dalam dirinya sendiri. Definisi itu menggambarkan bahwa  emosi diawali dengan adanya rangsangan dari luar ( benda, manusia, situasi, cuaca ), maupun dari dalam diri kita (tekanan darah, lapar, haus, ngantuk, dan sebagainya ) pada indra-indra kita.
 Rene Descartes mengatakan bahwa emosi manusia merupakan gejala alamiah yang sudah ada sejak manusia dilahirkan. Rene Descartes dengan teori nativismenya, ia menegaskan bahwa secara alamiah, manusia sejak lahir, telah melirik emosi dasar yaitu cinta, kegembiraan, keinginan, benci, sedih, dan kagum.
Ada empat yang menyebabkan emosi sukar dilakukan yaitu : emosi yang sangat mendalam, penghayatan, nama, dan perkenalan emosi. Dan yang dapat mengatur emosi adalah kekuatan kepribadian.












DAFTAR PUSTAKA


Aliah B. Purwakania dan Hasan, Psikologi dan Perkembangan Islam, PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Mursidin, Psikologi Umum, Bandung CV Pustaka Setia, 2010.
Netty, Hartati, dkk, Islam dan Psikologi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005.
W. Sarwono, Sarlito, Pegantar Psikologi Umum, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2010.


[1] Sarlito W. Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2010), Cet ke-2, hlm 125.
[2] Ibid, hlm 124.
[3] Mursidin, Psikologi Umum, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2010), hlm 225.
[4] Sarlito W Sarwono, Log,. Cit, hlm 130.
[5] Ibid, hlm 131.
[6] Mursidin, Log, Cit, hlm 225.
[7] Ibid, hlm 226.
[8] Ibid, hlm 226-t227.
[9] Ibid, hlm 227-228.
[10] Ibid, hlm 228-229.
[11] Hartati, Netty, dkk, Islam dan Psikologi, ( Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005 ), hlm 99.
[12] Hasan dan Aliah B. Purwakania, Psikologi Perkembangan Islam, ( Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2008 ), 172-175.

No comments:

Post a Comment