Monday, September 28, 2015

Tarekat Naqsyabandiah

PENDAHULUAN
ada pernyataan yang mungkin sudah masyhur, bahkan tidak asing lagi terdengar oleh telinga masyarakat pada umumnya, dan bagi seseorang yang pernah belajar tasawwuf secara khusus, yaitu salah satu cara atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah swt adalah dengan bertarekat.
Dalam beberapa buku tasawwuf banyak sekali peng para ilmuan mendefinisikan arti dari kata tarekat, jika dilihat dari lafadznya mungkin terlihat berbeda, namun pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu pelaksanaan atau pengamalan dari hukum atau syariat Allah, yang membuat seseorang lebih dekat dengan penciptanya.[1]
Tarekat ini bermacam-macam, ada yang namanya Qadiriyah, Samaniyah, Khalwatiyah, Badawiyah, Syadziliah dan sebagainya. Namun selain itu ada satu tarekat yang tak boleh terlupakan yaitu tarekat Naqsyabandiyah.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan mengkaji dan membahas mengenai tarekat Naqsyabandiyah baik dari segi sejarahnya, perkembangannya, amalannya dan sebagainya









PEMBAHASAN
A.  Sejarah Tarekat Naqsyabandiyah
Tarekat ini Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alfi Tsani (“Pembaru Milenium kedua”). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari. mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).[2]
Kata Naqsyabandiyah berasal dari bahasa Arab yaitu terdiri dari kalimat Naqsh dan Band yang bererti suatu ukiran yang terpateri, atau mungkin juga dari bahasa Persia, atau diambil dari nama pendirinya yaitu Baha'uddin Naqshband Bukhari. Sebagian orang menerjemahkan kata tersebut sebagai “pembuat gambar”,“pembuat hiasan”, karena ia ahli dalam memberikan lukisan kehidupan yang gaib-gaib,[3] Sebagian lagi menerjemahkannya sebagai “Jalan Rantai”, atau “Rantai Emas”. Perlu dicatat pula bahwa dalam Tarekat Naqsyabandiyah, silsilah spiritualnya kepada Nabi Muhammad adalah melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu, sementara kebanyakan tarekat-tarekat lain silsilahnya melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Ali bin Abu Thalib Karramallahu Wajhahu.[4]
Adapun pendiri tarekat ini adalah Imam Tariqat Hadhrat Khwajah Khwajahgan Sayyid Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Al-Bukhari Al-Uwaisi Rahmatullah ‘alaih, dilahirkan pada bulan Muharram tahun 717 Hijrah bersamaan 1317 Masehi yaitu pada abad ke 8 Hijrah bersamaan dengan abad ke 14 Masehi di sebuah perkampungan bernama Qasrul ‘Arifan berdekatan Bukhara.[5]
Beliau belajar dengan tarekat dan ilmu adab dari Amir Sayyid Kulal al-Bukhari, tetapi kerohaniannya dididik Abd al-Khaliq al-Gudjdawani yang mengamalkan pendidikan Uwaisy. Ada pendapat bahwa nama al-Uwaisy dicantumkan dibelakang namanya karena ada hubungan nenek dengan Uways al-Qarni.
Har Gibb menulis bahwa, dalam usia baha'uddin yang ke 18, beliau pernah dikirim ke Salmas, sebuah desa yang letaknya kira-kira tiga mil dari Bukhara untuk mempelajari ilmu tasawwuf dengan seorang guru yang bernama M. Baba al-Samassi. Tarekat ini asalnya diambil dari Abu Bakar al-Siddiq, sahabat kesayangan nabi saw dan Khalifah yang pertama, yang dipercaya telah menerima ilmu yang istimewa seperti diterangkan nabi Muhammad saw sendiir, tidak ada sesuatupun yang dicurahkan Allah ke dalam dadaku, melainkan aku mencurahkan kembali kepada Abu Bakar.[6]
Tarekat ini telah melahirkan cabang-cabang yang cukup terkenal dan mempunyai banyak pengikut, diantaranya adalah Qadiriah Naqsabandiah,  Naqsabandiah khalidiah, Naqsabandiah Mujaddidiyah, Naqsabandiah Mazhahiriyyah dan Naqsabandiah Haqqaniyyah.[7]
B.   Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah
Dalam perkembangannya Tarekat Naqsabandiyah sudah menyentuh lapisan masyarakat muslim di berbagai wilayah, dengan dampak dan pengaruhnya Tarekat ini pertama kali berdiri di Asia Tengah kemudian meluas ke Turki, Suriah, Afganistan, dan India. Di Asia Tengah bukan hanya di kota-kota penting, melainkan di kampung-kampung kecil pun tarekat ini mempunyai Zawiyah (padepokan sufi)  dan rumah peristirahatan Naqsabandi sebagai tempat berlangsungnya aktivitas keagamaan yang semarak[8], disamping itu tarekat ini juga berkembang Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural.
Dr. Hj. Sri Mulyati dalam bukunya  Mengenal & Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia”memberikan  ciri-ciri yang menonjol dalam tarekat ini yaitu :
1.      Mengikuti syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah dan menolak musik dan tari dalam ibadah dan lebih menyukai berzikir dalam hati.
2.      Upaya yang serius dalam memengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan negara pada agama. Berbeda dengan tarekat lainnuya, tarekat naqsabandiyah tidak menganut kebijaksanan isolasi diri dalam menghadapi pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu. Sebaliknya berusaha untuk mengubah pandangan mereka melalui gerakan politiknya.
3.      membebankan tanggung jawab yang sama kepada para penguasa sebagai usaha untuk memperbaik masyarakat.[9]
Baha’ al-Din Naqsabandi sebagai pendiri tarekat ini, dalam menjalankan aktivitas dan penyebaran tarekatnya mempunyai khalifah utama, yaitu Ya’qub Carkhi, Ala’ al-Din Aththar dan Muhammad Parsa. Yang paling menonjol dalam perkembangan selanjutnya adalah ’Ubaidillah Ahrar. Ubaidillah terkenal dengan Syeikh yang memilki banyak lahan, kekayaan, dan harta. Ia mempunyai watak yang sederhana dan ramah, tidak suka kesombongan dan keangkuhan. Ia menganggap kesombongan dan keangkuhan merendahkan tingkat moral seseorang dan melemahkan tali pengikat spritual.[10] Ia juga berjasa dalam meletakkan ciri khas tarekat ini yang terkenal dalam menjalin hubungan akrab dengan para penguasa saat itu sehingga ia mendapat dukungan yang luas jangkauannya. Pada tatanan selanjutnya tarekat ini mulai menyebarkan gerakannya diluar Islam.
Tokoh lain yang berperan besar dalam penyebaran tarekat ini secara geografis adalah Said al-Din Kashghari. Ia juga telah membai’at penyair dan ulama besar ’Abd al-Rahman Jami’ ia yang kemudian mempopulerkan tarekat ini dikalangan istana. Kontribusi utama Jami’ adalah paparannya tentang pemikiran Ibnu ’Arabi dan mengomentari karya-karya Ibnu Arabi, Rumi, Parsa dan sebagainya, sehingga tersusun dalam gubahan syair yang mudah dipahami dari gagasan mereka tersebut.
Di India, Tarekat ini mulai tersebar pada tahun 1526. Baqi Billah, dilahirkan di Kabul merupakan syeikh yang menyebarkan ajaran Tarekat ini di India. Ia mengembangkan ajaran Tarekat ini kepada orang awam dan kaum bangsawan Mughal. Dakwahnya di India berlangsung selama 5 tahun. Hampir semua garis silsilah pengikut Naqsabandiyah di India mengambil garis spritual mereka melalui Baqi Biillah dan Khalifahnya Ahmad Sirhindi.[11]
Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani (“Pembaru Milenium kedua”). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Orientasi Baru yang di bawa Sirhindi ini terlihat pada pemahamannya yang menolak paham Wahdatul Wujud yang dibawa Ibnu ’Arabi. Sirhindi sangat menuntut murid-muridnya agar berpegang secara cermat pada Al-Qur’an dan Tradisi-tradisi Nabi.[12]
C.  Pelopor dan Penyebaran Tarekat Naqsabandiyah Di Nusantara
Ajaran Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia pertama kali di perkenalkan oleh Syeikh Yusuf Al-Makassari (1626-1699)[13]. Seperti disebutkan dalam bukunya safinah al-Najah ia telah mendapat ijazah dari Syeikh Naqsabandiyah yaitu Muhammad ’Abd al Baqi di Yaman dan mempelajari tarekat ini ketika berada di Madinah dibawah bimbingan Syaikh Ibrahim al-Kurani. Syeikh Yusuf berasal dari Kerajaan Gowa Sulawesi. Pada tahun 1644 ia pergi ke Yaman kemudian diteruskan lagi ke makkah, madinah untuk menuntut ilmu dan naik haji. Karena kondisi politik saat itu, ia mengrungkan niatnya untuk pulang ke tanah kelahirannya di Makassar sehingga membawanya menetap di Jawa Barat Banten hingga ia menikah dengan putri Sultan Banten. Kehadirannya di Banten membawa sumbangan besar dalam mengangkat nama Banten sebagai pusat pendidikan Islam. Ia terkenal sebagai ulama Indonesia pertama yang menulis tentang tarekat ini.
Syeikh Yusuf telah menulis berbagai risalah mengenai Tasawuf dan menulis surah-surah tentang nasihat kerohanian untuk orang-orang penting. Kebanyakan risalah dan surah-surahnya ditulis dalam bahasa Arab dan Bugis. Didalam tulisan-tulisannya, Syeikh Yusuf tetap konsisten pada paham Wahdatul Wujud dan menekankan akan pentingnya meditasi melalui seorang Syeikh (Tawassul) dan kewajiban sang murid untuk patuh tanpa banyak tanya kepada gurunya. Ia mengemukakan bahwa kepatuhan paripurna[14] kepada syeikh merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi demi pencapaian spiritual.
Tarekat Naqsyabandiyah menyebar di nusantara berasal dari pusatnya di Makkah, yang dibawa oleh para pelajar Indonesia yang belajar disana dan oleh para jemaah haji Indonesia. Mereka ini kemudian memperluas dan menyebarkan tarekat ini keseluruh pelosok nusantara.
Penyebaran Tarekat Naqsabandiyah di Nusantara dapat dilihat dari para tokoh-tokoh tarekat ini yang mengambangkan ajaran Tareqat Naqsabandiyah di bebarapa pelosok nusantara diantaranya adalah :
1.      Muhammad Yusuf adalah yang dipertuan muda di kepulauan Riau, beliau menjadi sultan di pulau tempat dia tinggal. Dan mempunyai istana di penyengat dan di Lingga.
2.      Di Pontianak, sebelum perkembangannya telah ada Tarekat Naqsabandiyah Mazhariyah. Tarekat Naqsabandiyah mulai dikembangkan oleh Ismail Jabal yang merupakan teman dari Usman al-Puntani (ulama yang terkenal di Pontianak sebagai penganut Tasawuf dan penerjemah tak sufi)
3.      Di Madura, Tarekat Naqsabandiyah sudah hadir pada abad ke 11 hijriyah. Tarekat Naqsabandiyah Mazhariyah merupakan Tarekat yang paling berpengaruh di Madura dan juga di beberapa tempat lain yang banyak penduduknya bersal dari madura, seperti surabaya, Jakarta, dan Kalimantan Barat.
4.      Di Dataran Tinggi Minangkabau tarekat Naqsabandiyah adalah yang paling padat. Tokohnya adalah jalaludin dari Cangking, ’Abd al Wahab, Tuanku Syaikh Labuan di Padang. Perkembangannya di Minangkabau sangat pesat hingga sampai ke silungkang, cangking, Singkarak dan Bonjol.
5.      Di Jawa Tengah berasal dari Muhammad Ilyas dari Sukaraja dan Muhammad Hadi dari Giri Kusumo. Popongan menjadi salah satu pusat utama Naqsabandiyah di Jawa Tengah.
Perkembangan selanjutnya di Jawa antara lain di Rembang, Blora, Banyumas-Purwokerto, Cirebon, Jawa Timur bagian Utara, Kediri, dan Blitar.[15]
Tarekat ini merupakan satu-satunya tarekat yang terwakili di semua provinsi yang berpenduduk mayoritas muslim. Tarekat ini sudah tersebar hampir keseluruh provinsi yang ada di tanah air yakni sampai ke Jawa, Sulawesi Selatan, Lombok, Madura, Kalimantan Selatan, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan Barat, dan daerah-daerah lainnya. Pengikutnya terdiri dari berbagai lapisan masyarakat dari yang berstatus sosial rendah sampai lapisan menengah dan lapisan yang lebih tinggi.[16]
D.  Rukun Tarekat Naqsyabandiyah
1.      Ilmu, maksudnya berilmu pengetahuan tentang segala hal yang berhubungan dengan agama.
2.      Hilm, yaitu penyantun, lapang hati, tidak mudah marah yang bukan Karena Allah.
3.      Sabar atas segala cobaan dan musibah yang menimpa ketika dalam melaksanakan ibadah, ketika taat kepada Allah swt, maupun ketika menjauhi larangannya.
4.      Ridha atau rela terhadap segala sesuatu yang ditakdirkan Allah swt.
5.      Ikhlas dalam setiap amal dan perbuatan yang dilakukan, artinya segala amaliah semata-mata karena Allah.
6.      Berakhlak yang baik.[17]
E.  Ritual dan Teknik Spiritual Naqsyabandiyah
1.    Dzikir dan wirid
Seperti kebanyakan tarekat yang lain, teknik dasar Naqsabandiyyah adalah dzikir, yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan atau mngucapkan kalimat la ilaha illallah. Bisa dilakukan secara berjamaah maupun sendirian.
Dua dzikir dasar Naqsabandiyyah yaitu :
a.        Dzikir ism al-Dzat, yaitu mengucapkan nama Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali dihitung dengan tasybih, sembari memusatkan perhatian kepada Allah swt.
b.      Dzikir tauhid, yaitu terdiri atas bacaan perlahan yang disertai dengan pengaturan nafas kalimat la ilaha illallah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari daerah pusar terus keatas sampai ke ubun-ubun. Bunyi ilaha turun ke kanan dan berhenti diujung baru kanan, disitu kata berikut illa ddimulai dan turun melewati bidang dada sampai kearah jantung inilah kata terakhir Allah  dihunjamkan secara kuat. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.[18]
Kemudian, wirid, meskipun tidak wajib namun sangatlah dianjurkan, karena mengandung doa-doa pendek  untuk memuja Tuhan dan memuji nabi, dan membacanya pada hitungan sekian kali pada jam –jam yang sudah ditentukan  dan dipercayai akan memperoleh keajaiban atau paling tidak secara psikologisnakan mendatangkan manfaat.[19]
2.      Muraqabah
Latihan mistik yang satu ini, hanya diajarkan kepada murid yang tingkatannya lebih tinggi, biasanya hanya kepada yang menguasai dzikr latha'if. Muraqabah artinya perasaan dan keyakinan bahwa Allah  itu selalu mengintai hambanya setiap detik, dan dimana saja.
3.      Rabithah
Yang dimaksud rabithah adalah bergantungnya hati seorang murid dengan kasih sayang kepada syeikhnya. Rabithah terbagi dua, Pertama, rabithah kubur, bergantungnya hati seorang murid untuk mengingatkan kematian. Kedua, rabithah mursyid, yaitu membayangkan wajah syekhnya ketika sedang berdzikir maupun sebeum berdzikir.
4.      Khalwat (suluk)
hal ini tidak diwajibkan namun sangat dianjurkan dikerjakan oleh setiap penganut atau anggotanya, karena khalwat ini merupakan cara untuk menetapkan hati, melatih jiwa, menyepi untuk sementara waktu dari kesibukan duniawi agar dapat selalu mengingat Allah.
5.      Khatmi Khawajakan
Merupakan serangkain wirid, ayat, shalawat dan doa yang menutup setiap dzikir berjamaah. Sebelum hal itu dilakukan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu :
a.       Membaca niat
b.      Melakukan rabithah mursyid
c.       Membaca istighfar 15 kali
d.      Membaca al-Fatihah 1 kali dan surah al-Ikhlas 3 kali
e.       Melakukan rabithah kubur
f.       Munajat.
Setelah itu barulah dilakukan Khatmi Khawajakan, tata caranya adalah :
1.      Membaca salam seikhlas-ikhlasnya kepada syeikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani.
2.      Membaca istigfar 15 kali.
3.      Membaca al-Fatihah 7 kali
4.      Membaca surah al-Insyirah 79 kali.
5.      Membaca surah al-Ikhlas 1001 kali
6.      Membaca shalawat 100 kali
7.      Berdoa kepada Allah.[20]
F.   Ajaran Dasar
Ada delapan ajaran dasar yang dijelaskan oleh abd al-Khaliq alGhujdawani yaitu :
1.      Hus dar dam, kesadaran dalam bernafas
2.      Nazar bar qadam,  memperhatikan tiap langkah diri.
3.      Safar dar watam, perjalanan mistik .
4.      Khalwat dar anjuman, kesendirian dalam keimanan
5.      Yad kard, pengingatan kembali
6.      Baz gard, menjaga pemikiran sendiri
7.      Nigah dasht, memperhatikan pemikiran sendiri
8.      Yad dasht, pemusatan perhatian kepada Allah.[21]
Kemudian pendiri tarekat ini menambahkan sehingga menjadi sebelas, yaitu :
9. yukuf zamani, memeriksa penggunaan waktu seseorang, artinya mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. Al-Kurdimenyarankan agar tiap dua atau tiga jam seorang salik memperhatikan kembali keadaan jiwanya, jika waktu itu ia teringat kepada Allah, hendaklah ia bersyukur kepadanya, sedangkan jika ia lupa ia harus meminta ampun kepadA Allah dengan beristigfar.
10. wuquf adadi, artinya memeriksa hitungan zikir seseorang. Dengan hati-hati seseorang mengulangi kalimah dzikir (tanpa pemikirannya mengembara) kemana-mana. Dzikir itu diucapkan dengan memelihara bilangan ganjil.
11. wuquf qalbi, menjaga hati tetap terkontrol. Hal ini dapat dilakukan dengan menjaga kalbu agar senantiasa berdzikir kepada Allah dan senantiasa dzikir kepada Allah, dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Pengertian lainya adalah menghilangkan pikiranterlebih dahulu dari segala perasaan, kemudian dikumpulkan segala tenaga dan panca indra untuk melakukan tawajjuh dengan mata hati yang hakiki untuk menyelami ma'rifah kepada Allah.[22]







PENUTUP
Tarekat yang dibawa Muhammad Bahauddin Naqshband Al-Bukhari Al-Uwaisi Rahmatullah ‘alaih  ini merupakan salah satu tarekat yang berkembang pesat di dunia, begitu juga di Nusantara. Tarekat ini dikenal banyak pengikutnya.
diantara ciri yang membedakan tarekat ini dengan yang lain adalah pelaksanaan syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari. mengutamakan berdzikir dalam hati.
Semoga bermanfaat …. Amin.
















DAFTAR PUSTAKA
Annemarie, Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, diterj Sapardi Djoko Damono, dkk., Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.
Azra, Azyumardi, Ensiklopedi Tasawwuf : jilid II, Bandung: Angkasa, 2008.
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat : Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1999.
_________, Martin Van, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan, 1996.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 2001.
Mulyati, Sri, Mengenal & Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005
_________, Sri, Tasawwuf Nusantara : Rangkain Mutiara Sufi Terkemuka, Jakarta: Kencana, 2006.
Musthofa, Akhlak Tasawwuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawwuf, Jakarta: RajaGraffindo Persada, 2008.
Nur, Asyari, Tarekat Naqsyabandiyah Sejarah dan Perkembangannya, Riau: tp, 2009.
Rajasa, Sultan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: PT Karya Utama, tth.
Sholihin, M., Melacak Pemikiran Tasawwuf di Nusantara, Jakarta: Raja Graffindo Persada, 2005.
Toriquddin, Moh., Sekularitas Tasawwuf : Membumikan Tasawwuf dalam Dunia Modern, Malang: UIN Malang press, 2008.



[1] Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawwuf : Membumikan Tasawwuf dalam Dunia Modern, (Malang: UIN Malang press, 2008), hlm 99. Lihat juga Musthofa, Akhlak Tasawwuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), cet ke-5, hlm 280-281.
[2] Asyari Nur, Tarekat Naqsyabandiyah Sejarah dan Perkembangannya, (Riau: tp, 2009), Edisi ke-3, hlm 3.
[3] Abuddin Nata, Akhlak Tasawwuf, (Jakarta: RajaGraffindo Persada, 2008), hlm 274.
[4] Asyari Nur, Tarekat Naqsyabandiyah Sejarah dan Perkembangannya, hlm  3.
[5] Asyari Nur, Tarekat Naqsyabandiyah Sejarah dan Perkembangannya. Lihat juga Abuddin Nata, Akhlak Tasawwuf, (Jakarta: Raja Graffindo Persada, 2008), hlm 274.
[6] Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawwuf : jilid II, hlm 929.
[7] Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawwuf : jilid II, (Bandung: Angkasa, 2008), cet ke-1, hlm 921.
[8] Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), cet ke-2, hlm 91. Lihat juga Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat : Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), hlm 335.
[9] Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, hlm 91-92.
[10] Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, hlm 92.
[11] Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, hlm 94.
[12] Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, hlm 95.
[13] Sri Mulyati, Tasawwuf Nusantara : Rangkain Mutiara Sufi Terkemuka, (Jakarta: Kencana, 2006), cet ke-1, hlm 128. Lihat juga M.Sholihin, Melacak Pemikiran Tasawwuf di Nusantara, (Jakarta: Raja Graffindo Persada, 2005), hlm 290.
[14] Maksudnya secara lengkap dan tuntas. Lihat Sultan Rajasa, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: PT Karya Utama, tth), hlm 457.
[15] Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, hlm 97-101.
[16] Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, hlm 101.
[17]  Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 2001), cet ke-9, hlm 8.
[18] Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996), hlm 80-81.
[19] Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia,hlm 81.
[20] Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia,hlm 82-86.
[21] Schimmel Annemarie, Dimensi Mistik dalam Islam, diterj Sapardi Djoko Damono, dkk., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), cet ke-3, hlm 462-463.
[22] Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawwuf : jilid II, hlm 931.

No comments:

Post a Comment