PENDAHULUAN
ada pernyataan yang mungkin sudah
masyhur, bahkan tidak asing lagi terdengar oleh telinga masyarakat pada
umumnya, dan bagi seseorang yang pernah belajar tasawwuf secara khusus, yaitu
salah satu cara atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah swt adalah
dengan bertarekat.
Dalam beberapa buku tasawwuf banyak
sekali peng para ilmuan mendefinisikan arti dari kata tarekat, jika dilihat
dari lafadznya mungkin terlihat berbeda, namun pada dasarnya memiliki tujuan
yang sama yaitu pelaksanaan atau pengamalan dari hukum atau syariat Allah, yang
membuat seseorang lebih dekat dengan penciptanya.[1]
Tarekat ini bermacam-macam, ada yang
namanya Qadiriyah, Samaniyah, Khalwatiyah, Badawiyah, Syadziliah dan
sebagainya. Namun selain itu ada satu tarekat yang tak boleh terlupakan yaitu
tarekat Naqsyabandiyah.
Oleh karena itu, dalam makalah ini
penulis akan mengkaji dan membahas mengenai tarekat Naqsyabandiyah baik dari
segi sejarahnya, perkembangannya, amalannya dan sebagainya
PEMBAHASAN
A. Sejarah Tarekat
Naqsyabandiyah
Tarekat ini Bermula di Bukhara pada
akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke
daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun.
Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang
Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi
Alfi Tsani (“Pembaru Milenium kedua”). Pada akhir abad
ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat
tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah
Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang
menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari’at
secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap
musik dan tari. mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya
semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun
tidak konsisten).[2]
Kata Naqsyabandiyah berasal dari bahasa Arab yaitu terdiri dari kalimat Naqsh dan
Band yang bererti suatu ukiran yang terpateri, atau mungkin juga dari bahasa
Persia, atau diambil dari nama pendirinya yaitu Baha'uddin Naqshband Bukhari. Sebagian
orang menerjemahkan kata tersebut sebagai “pembuat gambar”,“pembuat hiasan”,
karena ia ahli dalam memberikan lukisan kehidupan yang gaib-gaib,[3] Sebagian lagi
menerjemahkannya sebagai “Jalan Rantai”, atau “Rantai Emas”. Perlu dicatat pula
bahwa dalam Tarekat Naqsyabandiyah, silsilah spiritualnya kepada Nabi Muhammad
adalah melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu,
sementara kebanyakan tarekat-tarekat lain silsilahnya melalui khalifah Hadhrat
Sayyidina Ali bin Abu Thalib Karramallahu Wajhahu.[4]
Adapun pendiri tarekat ini adalah Imam Tariqat
Hadhrat Khwajah Khwajahgan Sayyid Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Al-Bukhari
Al-Uwaisi Rahmatullah ‘alaih, dilahirkan pada bulan Muharram tahun 717 Hijrah
bersamaan 1317 Masehi yaitu pada abad ke 8 Hijrah bersamaan dengan abad ke 14
Masehi di sebuah perkampungan bernama Qasrul ‘Arifan berdekatan Bukhara.[5]
Beliau belajar dengan tarekat dan ilmu adab
dari Amir Sayyid Kulal al-Bukhari, tetapi kerohaniannya dididik Abd al-Khaliq
al-Gudjdawani yang mengamalkan pendidikan Uwaisy. Ada pendapat bahwa nama al-Uwaisy dicantumkan dibelakang namanya
karena ada hubungan nenek dengan Uways al-Qarni.
Har Gibb menulis bahwa, dalam usia baha'uddin
yang ke 18, beliau pernah dikirim ke Salmas, sebuah desa yang letaknya
kira-kira tiga mil dari Bukhara untuk mempelajari ilmu tasawwuf dengan seorang
guru yang bernama M. Baba al-Samassi. Tarekat ini asalnya diambil dari Abu
Bakar al-Siddiq, sahabat kesayangan nabi saw dan Khalifah yang pertama, yang
dipercaya telah menerima ilmu yang istimewa seperti diterangkan nabi Muhammad
saw sendiir, tidak ada sesuatupun yang dicurahkan Allah ke dalam dadaku,
melainkan aku mencurahkan kembali kepada Abu Bakar.[6]
Tarekat ini telah melahirkan
cabang-cabang yang cukup terkenal dan mempunyai banyak pengikut, diantaranya
adalah Qadiriah Naqsabandiah,
Naqsabandiah khalidiah, Naqsabandiah Mujaddidiyah, Naqsabandiah
Mazhahiriyyah dan Naqsabandiah Haqqaniyyah.[7]
B.
Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah
Dalam perkembangannya Tarekat Naqsabandiyah sudah menyentuh lapisan
masyarakat muslim di berbagai wilayah, dengan dampak dan pengaruhnya Tarekat
ini pertama kali berdiri di Asia Tengah kemudian meluas ke Turki, Suriah,
Afganistan, dan India. Di Asia Tengah bukan hanya di kota-kota penting,
melainkan di kampung-kampung kecil pun tarekat ini mempunyai Zawiyah (padepokan
sufi) dan rumah peristirahatan Naqsabandi sebagai tempat berlangsungnya
aktivitas keagamaan yang semarak[8], disamping
itu tarekat ini juga berkembang Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural.
Dr. Hj. Sri Mulyati dalam bukunya ” Mengenal & Memahami Tarekat-tarekat
Muktabarah di Indonesia”memberikan ciri-ciri
yang menonjol dalam tarekat ini yaitu :
1.
Mengikuti syari’at
secara ketat, keseriusan dalam beribadah dan menolak musik dan tari dalam
ibadah dan lebih menyukai berzikir dalam hati.
2.
Upaya yang
serius dalam memengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta
mendekatkan negara pada agama. Berbeda dengan tarekat lainnuya, tarekat
naqsabandiyah tidak menganut kebijaksanan isolasi diri dalam menghadapi
pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu. Sebaliknya berusaha untuk mengubah
pandangan mereka melalui gerakan politiknya.
3.
membebankan
tanggung jawab yang sama kepada para penguasa sebagai usaha untuk memperbaik
masyarakat.[9]
Baha’ al-Din Naqsabandi sebagai pendiri tarekat ini, dalam menjalankan
aktivitas dan penyebaran tarekatnya mempunyai khalifah utama, yaitu Ya’qub
Carkhi, Ala’ al-Din Aththar dan Muhammad Parsa. Yang paling menonjol dalam
perkembangan selanjutnya adalah ’Ubaidillah Ahrar. Ubaidillah terkenal dengan
Syeikh yang memilki banyak lahan, kekayaan, dan harta. Ia mempunyai watak yang
sederhana dan ramah, tidak suka kesombongan dan keangkuhan. Ia menganggap
kesombongan dan keangkuhan merendahkan tingkat moral seseorang dan melemahkan
tali pengikat spritual.[10] Ia
juga berjasa dalam meletakkan ciri khas tarekat ini yang terkenal dalam
menjalin hubungan akrab dengan para penguasa saat itu sehingga ia mendapat
dukungan yang luas jangkauannya. Pada tatanan selanjutnya tarekat ini mulai
menyebarkan gerakannya diluar Islam.
Tokoh lain yang berperan besar dalam penyebaran tarekat ini secara
geografis adalah Said al-Din Kashghari. Ia juga telah membai’at penyair dan
ulama besar ’Abd al-Rahman Jami’ ia yang kemudian mempopulerkan tarekat ini
dikalangan istana. Kontribusi utama Jami’ adalah paparannya tentang pemikiran
Ibnu ’Arabi dan mengomentari karya-karya Ibnu Arabi, Rumi, Parsa dan
sebagainya, sehingga tersusun dalam gubahan syair yang mudah dipahami dari
gagasan mereka tersebut.
Di India, Tarekat ini mulai tersebar pada tahun 1526. Baqi Billah,
dilahirkan di Kabul merupakan syeikh yang menyebarkan ajaran Tarekat ini di
India. Ia mengembangkan ajaran Tarekat ini kepada orang awam dan kaum bangsawan
Mughal. Dakwahnya di India berlangsung selama 5 tahun. Hampir semua garis silsilah
pengikut Naqsabandiyah di India mengambil garis spritual mereka melalui Baqi
Biillah dan Khalifahnya Ahmad Sirhindi.[11]
Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang
Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani
(“Pembaru Milenium kedua”). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim
dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan
sebagian besar Asia Tengah. Orientasi Baru yang di bawa Sirhindi ini terlihat
pada pemahamannya yang menolak paham Wahdatul Wujud yang dibawa Ibnu ’Arabi.
Sirhindi sangat menuntut murid-muridnya agar berpegang secara cermat pada
Al-Qur’an dan Tradisi-tradisi Nabi.[12]
C.
Pelopor dan
Penyebaran Tarekat Naqsabandiyah Di Nusantara
Ajaran Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia pertama kali di perkenalkan
oleh Syeikh Yusuf Al-Makassari (1626-1699)[13].
Seperti disebutkan dalam bukunya safinah al-Najah ia telah
mendapat ijazah dari Syeikh Naqsabandiyah yaitu Muhammad ’Abd al Baqi di Yaman
dan mempelajari tarekat ini ketika berada di Madinah dibawah bimbingan Syaikh
Ibrahim al-Kurani. Syeikh Yusuf berasal dari Kerajaan Gowa Sulawesi. Pada tahun
1644 ia pergi ke Yaman kemudian diteruskan lagi ke makkah, madinah untuk
menuntut ilmu dan naik haji. Karena kondisi politik saat itu, ia mengrungkan
niatnya untuk pulang ke tanah kelahirannya di Makassar sehingga membawanya
menetap di Jawa Barat Banten hingga ia menikah dengan putri Sultan Banten.
Kehadirannya di Banten membawa sumbangan besar dalam mengangkat nama Banten sebagai
pusat pendidikan Islam. Ia terkenal sebagai ulama Indonesia pertama yang
menulis tentang tarekat ini.
Syeikh Yusuf telah menulis berbagai risalah mengenai Tasawuf dan menulis
surah-surah tentang nasihat kerohanian untuk orang-orang penting. Kebanyakan
risalah dan surah-surahnya ditulis dalam bahasa Arab dan Bugis. Didalam
tulisan-tulisannya, Syeikh Yusuf tetap konsisten pada paham Wahdatul
Wujud dan menekankan akan pentingnya meditasi melalui seorang Syeikh
(Tawassul) dan kewajiban sang murid untuk patuh tanpa banyak tanya kepada
gurunya. Ia mengemukakan bahwa kepatuhan paripurna[14]
kepada syeikh merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi demi pencapaian
spiritual.
Tarekat Naqsyabandiyah menyebar di nusantara berasal dari pusatnya di
Makkah, yang dibawa oleh para pelajar Indonesia yang belajar disana dan oleh
para jemaah haji Indonesia. Mereka ini kemudian memperluas dan menyebarkan
tarekat ini keseluruh pelosok nusantara.
Penyebaran Tarekat Naqsabandiyah di Nusantara dapat dilihat dari para
tokoh-tokoh tarekat ini yang mengambangkan ajaran Tareqat Naqsabandiyah di
bebarapa pelosok nusantara diantaranya adalah :
1.
Muhammad Yusuf
adalah yang dipertuan muda di kepulauan Riau, beliau menjadi sultan di pulau
tempat dia tinggal. Dan mempunyai istana di penyengat dan di Lingga.
2.
Di Pontianak,
sebelum perkembangannya telah ada Tarekat Naqsabandiyah Mazhariyah. Tarekat
Naqsabandiyah mulai dikembangkan oleh Ismail Jabal yang merupakan teman dari
Usman al-Puntani (ulama yang terkenal di Pontianak sebagai penganut Tasawuf dan
penerjemah tak sufi)
3.
Di Madura,
Tarekat Naqsabandiyah sudah hadir pada abad ke 11 hijriyah. Tarekat
Naqsabandiyah Mazhariyah merupakan Tarekat yang paling berpengaruh di Madura
dan juga di beberapa tempat lain yang banyak penduduknya bersal dari madura,
seperti surabaya, Jakarta, dan Kalimantan Barat.
4.
Di Dataran
Tinggi Minangkabau tarekat Naqsabandiyah adalah yang paling padat. Tokohnya
adalah jalaludin dari Cangking, ’Abd al Wahab, Tuanku Syaikh Labuan di Padang.
Perkembangannya di Minangkabau sangat pesat hingga sampai ke silungkang,
cangking, Singkarak dan Bonjol.
5.
Di Jawa Tengah
berasal dari Muhammad Ilyas dari Sukaraja dan Muhammad Hadi dari Giri Kusumo.
Popongan menjadi salah satu pusat utama Naqsabandiyah di Jawa Tengah.
Perkembangan selanjutnya di Jawa antara lain di Rembang, Blora,
Banyumas-Purwokerto, Cirebon, Jawa Timur bagian Utara, Kediri, dan Blitar.[15]
Tarekat ini merupakan satu-satunya tarekat yang terwakili di semua
provinsi yang berpenduduk mayoritas muslim. Tarekat ini sudah tersebar hampir
keseluruh provinsi yang ada di tanah air yakni sampai ke Jawa, Sulawesi
Selatan, Lombok, Madura, Kalimantan Selatan, Sumatra, Semenanjung Malaya,
Kalimantan Barat, dan daerah-daerah lainnya. Pengikutnya terdiri dari berbagai
lapisan masyarakat dari yang berstatus sosial rendah sampai lapisan menengah
dan lapisan yang lebih tinggi.[16]
D.
Rukun Tarekat Naqsyabandiyah
1.
Ilmu, maksudnya berilmu pengetahuan tentang segala hal yang
berhubungan dengan agama.
2.
Hilm, yaitu penyantun, lapang hati, tidak mudah marah yang bukan
Karena Allah.
3.
Sabar atas segala cobaan dan musibah yang menimpa ketika dalam
melaksanakan ibadah, ketika taat kepada Allah swt, maupun ketika menjauhi
larangannya.
4.
Ridha atau rela terhadap segala sesuatu yang ditakdirkan Allah swt.
5.
Ikhlas dalam setiap amal dan perbuatan yang dilakukan, artinya
segala amaliah semata-mata karena Allah.
6.
Berakhlak yang baik.[17]
E. Ritual dan
Teknik Spiritual Naqsyabandiyah
1.
Dzikir dan wirid
Seperti
kebanyakan tarekat yang lain, teknik dasar Naqsabandiyyah adalah dzikir, yaitu
berulang-ulang menyebut nama Tuhan atau mngucapkan kalimat la ilaha illallah.
Bisa dilakukan secara berjamaah maupun sendirian.
Dua dzikir
dasar Naqsabandiyyah yaitu :
a. Dzikir
ism al-Dzat, yaitu mengucapkan nama Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan
kali dihitung dengan tasybih, sembari memusatkan perhatian kepada Allah swt.
b. Dzikir tauhid, yaitu terdiri atas bacaan perlahan yang
disertai dengan pengaturan nafas kalimat la ilaha illallah, yang
dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi la permulaan
digambar dari daerah pusar terus keatas sampai ke ubun-ubun. Bunyi ilaha turun
ke kanan dan berhenti diujung baru kanan, disitu kata berikut illa ddimulai
dan turun melewati bidang dada sampai kearah jantung inilah kata terakhir
Allah dihunjamkan secara kuat. Orang
membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara,
memusnahkan segala kotoran.[18]
Kemudian, wirid, meskipun tidak
wajib namun sangatlah dianjurkan, karena mengandung doa-doa pendek untuk memuja Tuhan dan memuji nabi, dan
membacanya pada hitungan sekian kali pada jam –jam yang sudah ditentukan dan dipercayai akan memperoleh keajaiban atau
paling tidak secara psikologisnakan mendatangkan manfaat.[19]
2.
Muraqabah
Latihan mistik yang satu ini, hanya
diajarkan kepada murid yang tingkatannya lebih tinggi, biasanya hanya kepada
yang menguasai dzikr latha'if. Muraqabah artinya perasaan dan keyakinan bahwa
Allah itu selalu mengintai hambanya
setiap detik, dan dimana saja.
3.
Rabithah
Yang dimaksud rabithah adalah
bergantungnya hati seorang murid dengan kasih sayang kepada syeikhnya. Rabithah
terbagi dua, Pertama, rabithah kubur, bergantungnya hati seorang murid untuk
mengingatkan kematian. Kedua, rabithah mursyid, yaitu membayangkan wajah
syekhnya ketika sedang berdzikir maupun sebeum berdzikir.
4.
Khalwat (suluk)
hal ini tidak diwajibkan namun
sangat dianjurkan dikerjakan oleh setiap penganut atau anggotanya, karena
khalwat ini merupakan cara untuk menetapkan hati, melatih jiwa, menyepi untuk
sementara waktu dari kesibukan duniawi agar dapat selalu mengingat Allah.
5.
Khatmi Khawajakan
Merupakan serangkain wirid, ayat, shalawat dan doa yang
menutup setiap dzikir berjamaah. Sebelum hal itu dilakukan ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi yaitu :
a.
Membaca niat
b.
Melakukan rabithah mursyid
c.
Membaca istighfar 15 kali
d.
Membaca al-Fatihah 1 kali dan surah al-Ikhlas 3 kali
e.
Melakukan rabithah kubur
f.
Munajat.
Setelah itu barulah dilakukan Khatmi Khawajakan, tata caranya adalah :
1.
Membaca salam seikhlas-ikhlasnya kepada syeikh Abdul Khaliq
al-Ghujdawani.
2.
Membaca istigfar 15 kali.
3.
Membaca al-Fatihah 7 kali
4.
Membaca surah al-Insyirah 79 kali.
5.
Membaca surah al-Ikhlas 1001 kali
6.
Membaca shalawat 100 kali
7.
Berdoa kepada Allah.[20]
F.
Ajaran Dasar
Ada delapan ajaran dasar yang
dijelaskan oleh abd al-Khaliq alGhujdawani yaitu :
1.
Hus dar dam, kesadaran
dalam bernafas
2.
Nazar bar qadam, memperhatikan tiap langkah diri.
3.
Safar dar watam, perjalanan
mistik .
4.
Khalwat dar anjuman, kesendirian
dalam keimanan
5.
Yad kard, pengingatan
kembali
6.
Baz gard, menjaga
pemikiran sendiri
7.
Nigah dasht, memperhatikan
pemikiran sendiri
Kemudian pendiri tarekat ini menambahkan
sehingga menjadi sebelas, yaitu :
9. yukuf zamani, memeriksa penggunaan waktu seseorang,
artinya mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya.
Al-Kurdimenyarankan agar tiap dua atau tiga jam seorang salik memperhatikan
kembali keadaan jiwanya, jika waktu itu ia teringat kepada Allah, hendaklah ia
bersyukur kepadanya, sedangkan jika ia lupa ia harus meminta ampun kepadA Allah
dengan beristigfar.
10. wuquf adadi, artinya memeriksa hitungan zikir seseorang.
Dengan hati-hati seseorang mengulangi kalimah dzikir (tanpa pemikirannya
mengembara) kemana-mana. Dzikir itu diucapkan dengan memelihara bilangan
ganjil.
11. wuquf qalbi, menjaga hati tetap terkontrol. Hal ini
dapat dilakukan dengan menjaga kalbu agar senantiasa berdzikir kepada Allah dan
senantiasa dzikir kepada Allah, dengan demikian perhatian seseorang secara
sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Pengertian lainya adalah
menghilangkan pikiranterlebih dahulu dari segala perasaan, kemudian dikumpulkan
segala tenaga dan panca indra untuk melakukan tawajjuh dengan mata hati yang hakiki
untuk menyelami ma'rifah kepada Allah.[22]
PENUTUP
Tarekat yang dibawa Muhammad
Bahauddin Naqshband Al-Bukhari Al-Uwaisi Rahmatullah ‘alaih ini merupakan salah satu tarekat yang
berkembang pesat di dunia, begitu juga di Nusantara. Tarekat ini dikenal banyak
pengikutnya.
diantara ciri yang membedakan
tarekat ini dengan yang lain adalah pelaksanaan syari’at secara ketat,
keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik
dan tari. mengutamakan berdzikir dalam hati.
Semoga bermanfaat …. Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Annemarie, Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, diterj
Sapardi Djoko Damono, dkk., Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.
Azra, Azyumardi,
Ensiklopedi Tasawwuf : jilid II, Bandung: Angkasa, 2008.
Bruinessen,
Martin Van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat : Tradisi-tradisi Islam di
Indonesia, Bandung: Mizan, 1999.
_________,
Martin Van, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan, 1996.
Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve,
2001.
Mulyati, Sri, Mengenal
& Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2005
_________, Sri,
Tasawwuf Nusantara : Rangkain Mutiara Sufi Terkemuka, Jakarta: Kencana,
2006.
Musthofa, Akhlak
Tasawwuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Nata, Abuddin, Akhlak
Tasawwuf, Jakarta: RajaGraffindo Persada, 2008.
Nur, Asyari, Tarekat
Naqsyabandiyah Sejarah dan Perkembangannya, Riau: tp, 2009.
Rajasa, Sultan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:
PT Karya Utama, tth.
Sholihin, M., Melacak
Pemikiran Tasawwuf di Nusantara, Jakarta: Raja Graffindo Persada, 2005.
Toriquddin, Moh.,
Sekularitas Tasawwuf : Membumikan Tasawwuf dalam Dunia Modern, Malang:
UIN Malang press, 2008.
[1] Moh.
Toriquddin, Sekularitas Tasawwuf : Membumikan Tasawwuf dalam Dunia Modern, (Malang:
UIN Malang press, 2008), hlm 99. Lihat juga Musthofa, Akhlak Tasawwuf, (Bandung:
Pustaka Setia, 2010), cet ke-5, hlm 280-281.
[2] Asyari Nur, Tarekat
Naqsyabandiyah Sejarah dan Perkembangannya, (Riau: tp, 2009), Edisi ke-3,
hlm 3.
[3] Abuddin Nata, Akhlak
Tasawwuf, (Jakarta: RajaGraffindo Persada, 2008), hlm 274.
[4] Asyari Nur, Tarekat
Naqsyabandiyah Sejarah dan Perkembangannya, hlm 3.
[5] Asyari Nur, Tarekat
Naqsyabandiyah Sejarah dan Perkembangannya. Lihat juga Abuddin Nata, Akhlak
Tasawwuf, (Jakarta: Raja Graffindo Persada, 2008), hlm 274.
[8] Sri Mulyati, Mengenal
& Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2005), cet ke-2, hlm 91. Lihat juga Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning
Pesantren dan Tarekat : Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung:
Mizan, 1999), hlm 335.
[9] Sri Mulyati, Mengenal
& Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, hlm 91-92.
[10] Sri Mulyati, Mengenal
& Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, hlm 92.
[11] Sri Mulyati, Mengenal
& Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, hlm 94.
[12] Sri Mulyati, Mengenal
& Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, hlm 95.
[13] Sri Mulyati, Tasawwuf
Nusantara : Rangkain Mutiara Sufi Terkemuka, (Jakarta: Kencana, 2006), cet
ke-1, hlm 128. Lihat juga M.Sholihin, Melacak Pemikiran Tasawwuf di
Nusantara, (Jakarta: Raja Graffindo Persada, 2005), hlm 290.
[14] Maksudnya secara lengkap dan tuntas. Lihat Sultan
Rajasa, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: PT Karya Utama, tth), hlm 457.
[15] Sri Mulyati, Mengenal
& Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, hlm 97-101.
[17]
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Houve, 2001), cet ke-9, hlm 8.
[18] Martin Van
Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996),
hlm 80-81.
[19] Martin Van
Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia,hlm 81.
[20] Martin Van
Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia,hlm 82-86.
[21] Schimmel Annemarie, Dimensi Mistik dalam Islam, diterj
Sapardi Djoko Damono, dkk., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), cet ke-3, hlm
462-463.
No comments:
Post a Comment