Monday, September 28, 2015

Metode Muqarin dalam Penelitian Tafsir



Arif Sugian : 1101421164
Tema : Metode Muqarin dalam Penelitian Tafsir
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang terakhir diturunkan ke bumi. Sebagai kitab penutup, Al-Qur’an melengkapi dan menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an terdiri dari ribuan ayat. Akan tetapi, isinya mencangkup semua aspek-aspek kehidupan di dunia dan akhirat. Dari satu ayat dapat ditarik beberapa hukum bahkan antara seseorang dengan orang yang lain berbeda pendapat dalam menafsirkan dan menyimpulkan maksud yang terkandung dalam ayat tesebut.
 Perbedaan pendapat dalam menafsirkan dan menyimpulkan ayat sudah menjadi tradisi dan merupakan rahmat bagi umat manusia. Terjadinya perbedaan di antara para ulama ahli tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an di antaranya karena berbedanya pengetahuan dan kepandaian yang diperoleh ulama ahli tafsir tersebut.
 Para ulama ahli tafsir mempunyai berbagai cara, teknik dan metode dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Diantaranya adalah muqqarrin yaitu metode perbandingan (komparatif).
Selanjutnya, dalam makalah ini penulis akan menjelaskan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan metode muqarin dalam penelitian tafsir.
PEMBAHASAN
A.  Definisi  Metode Muqarin
Tafsir al-Muqarin adalah penafsiran sekolompok ayat al-Qur’an yang berbicara dalam suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antara ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan. Jadi yang dimaksud dengan metode komporatif ialah: (a) membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama, (b) membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan, dan  (c) membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.[1]
Tafsir  al-Qur’an  dengan menggunakan metode  ini mempunyai cakupan  yang  teramat  luas. Ruang  lingkup  kajian  dari masing-masing aspek itu berbeda-beda. Ada yang berhubungan dengan kajian redaksi dan kaitannya dengan konotasi kata atau kalimat yang dikandungnya.
B.  Ciri-ciri Metode Muqarin
Perbandingan adalah ciri utama bagi metode komparatif[2], inilah yang membedakan antara metode ini dengan metode-metode lainnya. Jika suatu penafsiran dilakukan tanpa memperbandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tak dapat disebut metode komparatif. mufasir dengan metode komparatif dituntut mampu menganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir yang ia kemukakan untuk kemudian mengambil sikap menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat diterima oleh rasionya serta menjelaskan kepada pembaca alasan dari sikap yang diambilnya.[3]
C.  Ruang Lingkup Metode Muqarin[4]
1.      Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an.
Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama.
(a) Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :
ﻗﻞﺇﻥﻫﺪﯼﺍﷲﻫﻮﺍﻟﻬﺪﯼ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk” (QS : al-Baqarah : 120)
ﻗﻞﺇﻥﺍﻟﻬﺪﯼﻫﺪﯼﺍﷲ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah” (QS : al-An’am : 71)

(b) Perbedaan dan penambahan huruf seperti :
ﺳﻮﺍﺀ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢ ﺃﻡ ﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢ ﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : al-Baqarah : 6)
ﻭﺳﻮﺍﺀ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢ ﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢ ﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : Yasin: 10)
(c) Pengawalan dan pengakhiran, seperti :
ﻳﺘﻠﻮ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺍﻳﺘﻚ ﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ ﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢ
“...yang membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah serta mensucikan mereka” (QS. Al-Baqarah :129)
ﻳﺘﻠﻮ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺍﻳﺘﻪ ﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢ ﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ
“...yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah : 2)
(d) Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definte noun), seperti :
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬ ﺑﺎﺍﷲ ﺇﻧﻪ ﻫﻮﺍﻟﺴﻤﻴﻊ ﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat : 36)
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬ ﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪ ﺳﻤﻴﻊ ﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 200)
(e) Perbedaan bentuk jamak dan tunggal, seperti :
ﻟﻦ ﺗﻤﺴﻨﺎ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﺇﻻ ﺃﻳﺎﻣﺎ ﻣﻌﺪﺩﺓ
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah : 80)
ﻟﻦ ﺗﻤﺴﻨﺎ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﺇﻻ ﺃﻳﺎﻣﺎ ﻣﻌﺪﺩﺍﺕ
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari yang dapat dihitung.” (QS. Ali-Imran : 24).[5]
(f) Perbedaan penggunaan huruf kata depan, seperti :
ﻭﺇﺫﻗﻠﻨﺎ ﺍﺩﺧﻠﻮﺍ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻘﺮﻳﺔ ﻓﻜﻠﻮ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-Baqarah : 58)
ﻭﺇﺫﻗﻴﻞﻟﻬﻢ ﺍﺳﻜﻨﻮﺍ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻘﺮﻳﺔ ﻭﻛﻠﻮ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-A’raf : 161)
(g) Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti :
ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞ ﻧﺘﺒﻊ ﻣﺎ ﺃﻟﻔﻴﻨﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﺑﺈﻧ
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Al-Baqarah : 170)
ﻗﺎﻟﻮﺍ ﺑﻞ ﻧﺘﺒﻊ ﻣﺎ ﻭﺟﺪﻧﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Luqman : 21)
(h) Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf lain), seperti
ﺫﻟﻚ ﺑﺄﻧﻬﻢ ﺷﺎﻗﻮﺍ ﺍﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕ ﺍﷲ ﻓﺈﻥ ﺍﷲ ﺷﺪﻳﺪ ﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya, barang siapa menentang (yusyaqq) Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)
ﺫﻟﻚ ﺑﺄﻧﻬﻢ ﺷﺎﻗﻮﺍ ﺍﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻭﻣﻦ ﻳﺸﺎﻕ ﺍﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻓﺈﻥ ﺍﷲ ﺷﺪﻳﺪ ﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya. Barang siapa menentang (yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)
Dalam mengadakan perbandingan antara ayat-ayat yang berbeda redaksi tersebut di atas, ditempuh beberapa langkah : (1) menginventarisasi ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda, (2) Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksinya, (3) Meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan kasus-kasus yang dibicarakan ayat bersangkutan, dan (4) Melakukan perbandingan.[6]
2.      Membandingkan ayat dengan hadis
القُرأن : فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ  إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ.النمل22-23
الحديث : ماَأفْلَحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَ أةٌ رواه البخاري
Artinya:
Al-Qur’an : Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya dan ku bawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini, Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.” (Qs. an-Naml: 22-23)
Al-Hadis: Tak pernah sukses (beruntung) suatu bangsa yang menyerahkan semua urusan mereka kepada wanita (Hr. Bukhâri).
Sepintas, kedua teks itu tampak kontradiktif, karena al-Qur’an menginformasikan tentang seorang wanita yang berhasil yakni Ratu Bilqis dalam memimpin negerinya, sehingga menjadi aman dan makmur serta seluruh rakyat tunduk dan patuh di bawah pemerintahannya. Sebaliknya, di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari itu dinyatakan, bahwa tidak kan sukses suatu bangsa jika yang memimpin mereka seorang wanita.[7]
Jelas sekali, pemahaman serupa itu merupakan suatu konotasi yang kontradiktif yang menjurus kepada pendiskreditan kaum wanita yang tak punya hak sama sekali untuk mengatur Negara. Kecuali Ratu Bilqis yang diinformasikan oleh al-Qur’an, sejarah dunia dan juga sejarah peradaban Islam mencatat tokoh-tokoh wanita yang sukses memimpin Negara. Syajarat al-Durr, misalnya, tercatat sebagai pendiri kerajaan Mamlûk yang memerintah wilayah Afrika Utara sampai Asia Barat (1250-1257 M). Demikian pula Ratu Elizabeth II dari Inggris, telah lebih dari empat dasawarsa memerintah negeri ini.[8]
3.      Membandingkan pendapat para mufasir
Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang bersifat manqul (al-tafsir al-ma’tsur) maupun yang bersifat ra’yu (al-tafsir bi al-ra’yi).
Manfaat yang dapat diambil dari metode tafsir ini adalah : 1) membuktikan ketelitian al-Qur’an 2) membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang kontradiktif 3) memperjelas makna ayat dan 4) tidak menggugurkan suatu hadits yang berkualitas sahih.
Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang lain, mufasir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode muqarrin”.[9]
D.  Kelebihan dan Kelemahan Metode Muqarin
Kelebihan:
1.      Memberikan wawasan penafsiran yang  relatif  lebih  luas  kepada  pada  pembaca  bila  dibandingkan  dengan metode-metode lain. Di dalam penafsiran ayat al-Qur’an dapat ditinjau dari berbagai disiplin  ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufassirnya.
2.      Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif. Dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu mazhab atau aliran tertentu.
3.      Tafsir dengan metode ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat.
4.      Dengan menggunakan metode  ini, mufassir  didorong  untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis-hadis serta pendapat para mufassir yang lain.
Kelemahan:
1.      Penafsiran dengan memakai metode ini tidak dapat diberikan kepada pemula yang baru mempelajari tafsir, karena pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang ekstrim.
2.      Metode  ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang  tumbuh di  tengah masyarakat, karena metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan masalah.
3.      Metode  ini  terkesan  lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah dilakukan oleh para ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru yang lebih kreatif dan orisinal. Jadi ini hanya kumpulan kitab tafsir dari berbagai sumber terus disusun menjadi satu kitab.[10]
E.   Urgensi Metode Muqarin
Tafsir dengan metode komparatif sangatlah penting terutama bagi mereka yang ingin melakukan studi lanjut untuk mendapatkan pemahaman yang lebih luas dengan penafsiran suatu ayat. Dalam era sekarang metode ini sangat dibutuhkan masyarakat, dikarenakan timbulnya berbagai aliran – aliran yang kadang jauh keluar dari pemahaman Islam. Dengan demikan metode ini amat penting posisinya, terutama untuk mengembangkan pemikiran tafsir, yang rasional dan objektif sehinga mengetahui lahirnya suatu penafsiran dan dapat dijadikan perbandingan dan pelajaran untuk pengembangan tafsir periode selanjutnya.
Seperti penafsiran يدا أبي لهب  di dalam ayat pertama dari surah al-Lahab ditafsirkan dengan Abû Bakar dan 'Umar dan penafsiran al-Baqarah dengan Aisyah di dalam ayat 67 dari surah al-Baqarah.[11]Dengan metode ini dapat dikaji kecendrungan-kecendrungan para mufasir dan latar belakang yang mempengaruhi mereka.
Dengan menggunakan metode ini dapat diketahui bahwa penyimpangan penafsiran pada ayat pertama al-Lahab dan 67 al-Baqarah itu berasal dari kaum Rafidhah yakni salah satu kelompok Syiah yang ekstrim. Mereka disebut Rafidhah karena menolak dan tidak menggakui kekhalifahan Abû Bakar dan 'Umar seperti telah dinukilkan.
Setelah mengetahui latar belakang penafsiran tersebut, maka kita tidak kaget bila mereka menafsirkan يدا أبي لهب itu dengan Abû Bakar dan 'Umar, sebab dari semula mereka sudah apriori menolak kepemimpinan kedua tokoh sahabat itu, karena keduanya dianggap merampas hak 'Ali untuk menjadi khalifah. Demikian pula mereka menganggap 'Âisyah sebagai sapi betina yang diperintahkan Allah untuk menyembelihnya di dalam ayat 7 surah al-Baqarah itu karena 'Âisyah mengangkat senjata dan memimpin perang terhadap 'Ali, khalifah yang sah dalam pristiwa perang Jamal.[12]
F.    Kitab-kitab Tafsir Yang Menggunakan Metode Muqarin
Diantara kitab-kitab yang menggunakan metode ini adalah: Durrah at-Tanzîl wa Ghurrah at-Tanwîl, karya al-Iskafi yang terbatas pada perbandingan antara ayat dengan ayat,  al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, karya al-Qurthubiy yang membandingkan penafsiran para mufassir. Rawâ’i al-Bayân fî Tafsîr Âyât al-Ahkâm, karya ‘Ali ash-Shabuniy’, Qur’an and its Interpreters adalah satu karya tafsir yang lahir di zaman modern ini, buah karya Profesor Mahmud Ayyoub.[13]
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, tampak dengan jelas bahwa metode komparatif (muqarin) amat penting posisinya terutama dalam rangka mengembangkan pemikiran tafsir yang rasional dan objektif, sehingga kita mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif berkenaan dengan latar belakang lahirnya suatu penafsiran dan sekaligus dapat dijadikan perbandingan dan pelajaran dalam mengembangkan penafsiran al-Qur'an pada periode-periode selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
al-Aridh, 'Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta : Rajawali Press, 1994.
al-Farmâwî, Abd al-Hayy, al-Bidâyah fi Tafsîr al-Maudhû'i, Ttp : al-Hadarat al-'Arabiyyah, 1997.
al-Munawar, Saîd Agil Husin, al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta : Ciputat Press, 2002.
Anwar, Rosihan, Pengantar Ulumul Qur'an, Bandung : Pustaka Setia, 2009.
as-Shibâ'i, Musthafa, Wanita di antara Hukum Islam dan Perundang-undangan, terj Chadijah Nasution, Jakarta : Bulan Bintang, 1997.
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998.
Djalal, Abdul, Urgensi Tafsir Maudhû'i, Jakarta : Kalam Mulia, 1990.
Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, Kuwait : Dar al-Qur'an al-Karîm, 1971.
Kholis, Nur, Pengantar Studi al-Qur'an dan al-Hadits, Yogyakarta : Teras, 2008.
Muhlisin, Metode Tafsir al-Qur'an : Tahlili, Ijmali, Muqarin, Maudhu'i, Surabaya : IAIN Sunan Ampel, 2010.
Nasir, M.Ridwan, Teknik Pengembangan Metode Tafsir Muqarin : Dalam Perepektif Pemahaman Al Qur’an, Surabaya :  IAIN Sunan Ampel, 2004.
Salim, Abd Muin, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta : Teras, 2010.
Sanaky, Hujair A.H, Metode Tafsir : Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin, al-Mawârid Edisi 18, 2008.



[1] Abd al-Hayy al-Farmâwî, al-Bidayah fi Tafsîr al-Maudhû'i, (Ttp : al-Hadarat al-'Arabiyyah, 1997), cet ke-2, hlm 45. Lihat juga Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudhû'i, (Jakarta : Kalam Mulia, 1990), hlm 69.
[2] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), cet ke-1, hlm 67.
[3] 'Ali Hasan al-Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta : Rajawali Press, 1994), hlm 76.
[4] Rosihan Anwar, Pengantar Ulûmul Qur'an, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), cet ke-1, hlm 156. Lihat juga Nur Kholis, Pengantar Studi al-Qur'an dan al-Hadits, (Yogyakarta : Teras, 2008), cet ke-1, hlm 156. Lihat pula Saîd Agil Husin al-Munawar, al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta : Ciputat Press, 2002), hlm 72-73.
[5] Muhlisin, Metode Tafsir al-Qur'an : Tahlili, Ijmali, Muqarin, Maudhû'i, (Surabaya : IAIN Sunan Ampel, 2010), hlm 15-16.
[6] Muhlisin, Metode Tafsîr al-Qur'an : Tahlili, Ijmali, Muqarin, Maudhû'i, hlm 16.
[7] Musthafa as-Shibâ'i, Wanita di antara Hukum Islam dan Perundang-undangan, terj Chadijah Nasution, (Jakarta : Bulan Bintang, 1997), cet ke-1, hlm 61.
[8] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, hlm 96.
[9] M.Ridwan Nasir, Teknik Pengembangan Metode Tafsir Muqarin : Dalam Perepektif Pemahaman al Qur’an, (Surabaya :  IAIN Sunan Ampel, 2004), hlm 19.
[10] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, hlm 142-144. Lihat juga Hujair A.H Sanaky, Metode Tafsîr : Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin, (al-Mawarid Edisi 18, 2008), hlm 18-19.
[11] Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, (Kuwait : Dar al-Qur'an al-Karîm, 1971), cet ke-1, hlm 87-88.
[12] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, hlm 145.
[13] Abd Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsîr, (Yogyakarta : Teras, 2010), cet ke-3, hlm 46.

No comments:

Post a Comment