Arif Sugian : 1101421164
Tema : Metode Muqarin dalam
Penelitian Tafsir
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang terakhir diturunkan ke bumi.
Sebagai kitab penutup, Al-Qur’an melengkapi dan menyempurnakan kitab-kitab
sebelumnya. Al-Qur’an terdiri dari ribuan ayat. Akan tetapi, isinya
mencangkup semua aspek-aspek kehidupan di dunia dan akhirat. Dari satu ayat
dapat ditarik beberapa hukum bahkan antara seseorang dengan orang yang lain
berbeda pendapat dalam menafsirkan dan menyimpulkan maksud yang terkandung
dalam ayat tesebut.
Perbedaan pendapat dalam
menafsirkan dan menyimpulkan ayat sudah menjadi tradisi dan merupakan rahmat
bagi umat manusia. Terjadinya perbedaan di antara para ulama ahli tafsir dalam
menafsirkan Al-Qur’an di antaranya karena berbedanya pengetahuan dan kepandaian
yang diperoleh ulama ahli tafsir tersebut.
Para ulama ahli tafsir mempunyai
berbagai cara, teknik dan metode dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Diantaranya
adalah muqqarrin yaitu metode perbandingan (komparatif).
Selanjutnya, dalam makalah ini penulis akan menjelaskan mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan metode muqarin dalam penelitian tafsir.
PEMBAHASAN
A. Definisi Metode
Muqarin
Tafsir al-Muqarin adalah penafsiran sekolompok
ayat al-Qur’an yang berbicara dalam suatu masalah dengan cara membandingkan antara
ayat dengan ayat atau antara ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun
redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan
segi-segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan. Jadi yang dimaksud dengan
metode komporatif ialah: (a) membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Qur’an yang
memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau
memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama, (b) membandingkan ayat
al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan, dan (c) membandingkan berbagai pendapat ulama
tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.[1]
Tafsir
al-Qur’an dengan menggunakan
metode ini mempunyai cakupan yang
teramat luas. Ruang lingkup
kajian dari masing-masing aspek
itu berbeda-beda. Ada yang berhubungan dengan kajian redaksi dan kaitannya
dengan konotasi kata atau kalimat yang dikandungnya.
B. Ciri-ciri Metode Muqarin
Perbandingan
adalah ciri utama bagi metode komparatif[2], inilah yang
membedakan antara metode ini dengan metode-metode lainnya. Jika suatu
penafsiran dilakukan tanpa memperbandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan
oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tak dapat disebut metode
komparatif. mufasir dengan metode komparatif dituntut mampu menganalisis
pendapat-pendapat para ulama tafsir yang ia kemukakan untuk kemudian mengambil
sikap menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak
dapat diterima oleh rasionya serta menjelaskan kepada pembaca alasan dari sikap
yang diambilnya.[3]
C. Ruang Lingkup Metode
Muqarin[4]
1. Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat
Al-Qur’an.
Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat
lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah
atau kasus yang berbeda atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam
masalah atau kasus yang (diduga) sama.
(a) Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :
ﻗﻞﺇﻥﻫﺪﯼﺍﷲﻫﻮﺍﻟﻬﺪﯼ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah
itulah (yang sebenarnya) petunjuk” (QS : al-Baqarah : 120)
ﻗﻞﺇﻥﺍﻟﻬﺪﯼﻫﺪﯼﺍﷲ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang
harus diikuti) ialah petunjuk Allah” (QS : al-An’am : 71)
(b) Perbedaan dan penambahan huruf
seperti :
ﺳﻮﺍﺀ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢ ﺃﻡ
ﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢ ﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu
memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada
mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : al-Baqarah : 6)
ﻭﺳﻮﺍﺀ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢ
ﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢ ﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu
memberi peringatan kepada mereka ataukah tidak memberi peringatan kepada
mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : Yasin: 10)
(c) Pengawalan dan pengakhiran, seperti :
ﻳﺘﻠﻮ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺍﻳﺘﻚ ﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢ
ﺍﻟﻜﺘﺐ ﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ ﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢ
“...yang membaca kepada mereka ayat-ayat
Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah serta
mensucikan mereka” (QS. Al-Baqarah :129)
ﻳﺘﻠﻮ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺍﻳﺘﻪ ﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢ
ﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ
“...yang membaca ayat-ayatNya kepada
mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an)
dan al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah : 2)
(d) Perbedaan nakirah (indefinite noun)
dan ma’rifah (definte noun), seperti :
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬ ﺑﺎﺍﷲ ﺇﻧﻪ ﻫﻮﺍﻟﺴﻤﻴﻊ
ﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah perlindungan kepada
Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat
: 36)
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬ ﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪ ﺳﻤﻴﻊ ﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah perlindungan kepada
Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf :
200)
(e) Perbedaan bentuk jamak dan tunggal,
seperti :
ﻟﻦ ﺗﻤﺴﻨﺎ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﺇﻻ ﺃﻳﺎﻣﺎ
ﻣﻌﺪﺩﺓ
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh
oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah : 80)
ﻟﻦ ﺗﻤﺴﻨﺎ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﺇﻻ ﺃﻳﺎﻣﺎ
ﻣﻌﺪﺩﺍﺕ
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh
oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari yang dapat dihitung.” (QS. Ali-Imran
: 24).[5]
(f) Perbedaan penggunaan huruf kata
depan, seperti :
ﻭﺇﺫﻗﻠﻨﺎ ﺍﺩﺧﻠﻮﺍ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻘﺮﻳﺔ
ﻓﻜﻠﻮﺍ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman :
Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-Baqarah : 58)
ﻭﺇﺫﻗﻴﻞﻟﻬﻢ ﺍﺳﻜﻨﻮﺍ ﻫﺬﻩ
ﺍﻟﻘﺮﻳﺔ ﻭﻛﻠﻮﺍ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman :
Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-A’raf : 161)
(g) Perbedaan penggunaan kosa kata,
seperti :
ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞ ﻧﺘﺒﻊ ﻣﺎ ﺃﻟﻔﻴﻨﺎ
ﻋﻠﻴﻪ ﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami
hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek
moyang kami.” (QS. Al-Baqarah : 170)
ﻗﺎﻟﻮﺍ ﺑﻞ ﻧﺘﺒﻊ ﻣﺎ ﻭﺟﺪﻧﺎ
ﻋﻠﻴﻪ ﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami
hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek
moyang kami.” (QS. Luqman : 21)
(h) Perbedaan penggunaan idgham
(memasukkan satu huruf ke huruf lain), seperti
ﺫﻟﻚ ﺑﺄﻧﻬﻢ ﺷﺎﻗﻮﺍ ﺍﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ
ﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕ ﺍﷲ ﻓﺈﻥ ﺍﷲ ﺷﺪﻳﺪ ﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah karena
sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya, barang siapa menentang
(yusyaqq) Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS.
Al-Hasyr : 4)
ﺫﻟﻚ ﺑﺄﻧﻬﻢ ﺷﺎﻗﻮﺍ ﺍﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ
ﻭﻣﻦ ﻳﺸﺎﻕ ﺍﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻓﺈﻥ ﺍﷲ ﺷﺪﻳﺪ ﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah karena
sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya. Barang siapa menentang (yusyaqiq)
Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS.
Al-Hasyr : 4)
Dalam mengadakan perbandingan antara
ayat-ayat yang berbeda redaksi tersebut di atas, ditempuh beberapa langkah :
(1) menginventarisasi ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki redaksi yang berbeda
dalam kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda, (2) Mengelompokkan
ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksinya, (3) Meneliti
setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan kasus-kasus yang
dibicarakan ayat bersangkutan, dan (4) Melakukan perbandingan.[6]
2. Membandingkan ayat dengan hadis
القُرأن : فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ
تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ إِنِّي وَجَدْتُ
امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ.النمل22-23
الحديث : ماَأفْلَحَ
قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَ أةٌ رواه البخاري
Artinya:
Al-Qur’an : Maka tidak
lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui
sesuatu yang kamu belum mengetahuinya dan ku bawa kepadamu dari negeri Saba
suatu berita penting yang diyakini, Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita
yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai
singgasana yang besar.” (Qs. an-Naml: 22-23)
Al-Hadis: Tak pernah
sukses (beruntung) suatu bangsa yang menyerahkan semua urusan mereka kepada
wanita (Hr. Bukhâri).
Sepintas, kedua teks
itu tampak kontradiktif, karena al-Qur’an menginformasikan tentang seorang
wanita yang berhasil yakni Ratu Bilqis dalam memimpin negerinya, sehingga
menjadi aman dan makmur serta seluruh rakyat tunduk dan patuh di bawah
pemerintahannya. Sebaliknya, di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari itu
dinyatakan, bahwa tidak kan sukses suatu bangsa jika yang memimpin mereka
seorang wanita.[7]
Jelas sekali, pemahaman
serupa itu merupakan suatu konotasi yang kontradiktif yang menjurus kepada
pendiskreditan kaum wanita yang tak punya hak sama sekali untuk mengatur
Negara. Kecuali Ratu Bilqis yang diinformasikan oleh al-Qur’an, sejarah dunia
dan juga sejarah peradaban Islam mencatat tokoh-tokoh wanita yang sukses
memimpin Negara. Syajarat al-Durr, misalnya, tercatat sebagai pendiri kerajaan
Mamlûk yang memerintah wilayah Afrika Utara sampai Asia Barat (1250-1257 M).
Demikian pula Ratu Elizabeth II dari Inggris, telah lebih dari empat dasawarsa
memerintah negeri ini.[8]
3.
Membandingkan pendapat para mufasir
Mufasir membandingkan penafsiran ulama
tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an, baik yang bersifat manqul (al-tafsir al-ma’tsur) maupun
yang bersifat ra’yu (al-tafsir bi al-ra’yi).
Manfaat yang dapat diambil dari metode
tafsir ini adalah : 1) membuktikan ketelitian al-Qur’an 2) membuktikan bahwa
tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang kontradiktif 3) memperjelas makna ayat dan
4) tidak menggugurkan suatu hadits yang berkualitas sahih.
Sedang dalam hal perbedaan penafsiran
mufasir yang satu dengan yang yang lain, mufasir berusaha mencari, menggali,
menemukan, dan mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila
mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas
argumentasi masing-masing.
Perbandingan adalah ciri utama bagi
Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara
metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan
bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah
pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu
jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang
dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode
muqarrin”.[9]
D.
Kelebihan
dan Kelemahan Metode Muqarin
Kelebihan:
1. Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih
luas kepada pada
pembaca bila dibandingkan
dengan metode-metode lain. Di dalam penafsiran ayat al-Qur’an dapat ditinjau
dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan
sesuai dengan keahlian mufassirnya.
2. Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain
yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang
kontradiktif. Dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu mazhab
atau aliran tertentu.
3. Tafsir dengan metode ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui
berbagai pendapat tentang suatu ayat.
4. Dengan menggunakan metode ini,
mufassir didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis-hadis
serta pendapat para mufassir yang lain.
Kelemahan:
1. Penafsiran dengan memakai metode ini tidak dapat diberikan kepada pemula yang baru
mempelajari tafsir, karena pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas
dan kadang-kadang ekstrim.
2. Metode ini kurang dapat diandalkan
untuk menjawab permasalahan sosial yang
tumbuh di tengah masyarakat,
karena metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan masalah.
3. Metode ini terkesan
lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah dilakukan oleh
para ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru yang lebih kreatif
dan orisinal. Jadi ini hanya kumpulan kitab tafsir dari berbagai sumber terus
disusun menjadi satu kitab.[10]
E. Urgensi Metode Muqarin
Tafsir dengan metode
komparatif sangatlah penting terutama bagi mereka yang ingin melakukan studi
lanjut untuk mendapatkan pemahaman yang lebih luas dengan penafsiran suatu
ayat. Dalam era sekarang metode ini sangat dibutuhkan masyarakat, dikarenakan
timbulnya berbagai aliran – aliran yang kadang jauh keluar dari pemahaman
Islam. Dengan demikan metode ini amat penting posisinya, terutama untuk
mengembangkan pemikiran tafsir, yang rasional dan objektif sehinga mengetahui
lahirnya suatu penafsiran dan dapat dijadikan perbandingan dan pelajaran untuk
pengembangan tafsir periode selanjutnya.
Seperti penafsiran يدا أبي لهب di dalam ayat pertama dari surah al-Lahab ditafsirkan dengan Abû Bakar
dan 'Umar dan penafsiran al-Baqarah dengan Aisyah di dalam ayat 67 dari surah
al-Baqarah.[11]Dengan
metode ini dapat dikaji kecendrungan-kecendrungan para mufasir dan latar
belakang yang mempengaruhi mereka.
Dengan menggunakan
metode ini dapat diketahui bahwa penyimpangan penafsiran pada ayat pertama
al-Lahab dan 67 al-Baqarah itu berasal dari kaum Rafidhah yakni salah satu
kelompok Syiah yang ekstrim. Mereka disebut Rafidhah karena menolak dan tidak
menggakui kekhalifahan Abû Bakar dan 'Umar seperti telah dinukilkan.
Setelah mengetahui
latar belakang penafsiran tersebut, maka kita tidak kaget bila mereka menafsirkan
يدا أبي لهب itu dengan Abû Bakar dan
'Umar, sebab dari semula mereka sudah apriori menolak kepemimpinan kedua tokoh
sahabat itu, karena keduanya dianggap merampas hak 'Ali untuk menjadi khalifah.
Demikian pula mereka menganggap 'Âisyah sebagai sapi betina yang diperintahkan
Allah untuk menyembelihnya di dalam ayat 7 surah al-Baqarah itu karena 'Âisyah
mengangkat senjata dan memimpin perang terhadap 'Ali, khalifah yang sah dalam
pristiwa perang Jamal.[12]
F. Kitab-kitab
Tafsir Yang Menggunakan Metode Muqarin
Diantara
kitab-kitab yang menggunakan metode ini adalah: Durrah at-Tanzîl wa
Ghurrah at-Tanwîl, karya al-Iskafi yang terbatas pada perbandingan antara
ayat dengan ayat, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, karya al-Qurthubiy
yang membandingkan penafsiran para mufassir. Rawâ’i al-Bayân fî Tafsîr
Âyât al-Ahkâm, karya ‘Ali ash-Shabuniy’, Qur’an and its
Interpreters adalah satu karya tafsir yang lahir di zaman modern ini,
buah karya Profesor Mahmud Ayyoub.[13]
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di
atas, tampak dengan jelas bahwa metode komparatif (muqarin) amat penting
posisinya terutama dalam rangka mengembangkan pemikiran tafsir yang rasional
dan objektif, sehingga kita mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif
berkenaan dengan latar belakang lahirnya suatu penafsiran dan sekaligus dapat
dijadikan perbandingan dan pelajaran dalam mengembangkan penafsiran al-Qur'an
pada periode-periode selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
al-Aridh, 'Ali
Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta : Rajawali Press, 1994.
al-Farmâwî, Abd
al-Hayy, al-Bidâyah fi Tafsîr al-Maudhû'i, Ttp : al-Hadarat
al-'Arabiyyah, 1997.
al-Munawar, Saîd Agil Husin, al-Qur'an
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta : Ciputat Press, 2002.
Anwar, Rosihan, Pengantar Ulumul
Qur'an, Bandung : Pustaka Setia, 2009.
as-Shibâ'i, Musthafa,
Wanita di antara Hukum Islam dan Perundang-undangan, terj Chadijah
Nasution, Jakarta : Bulan Bintang, 1997.
Baidan, Nashruddin,
Metodologi Penafsiran al-Qur'an, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998.
Djalal, Abdul, Urgensi Tafsir Maudhû'i, Jakarta : Kalam Mulia, 1990.
Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushûl
al-Tafsîr, Kuwait : Dar al-Qur'an al-Karîm, 1971.
Kholis, Nur, Pengantar Studi
al-Qur'an dan al-Hadits, Yogyakarta : Teras, 2008.
Muhlisin, Metode
Tafsir al-Qur'an : Tahlili, Ijmali, Muqarin, Maudhu'i, Surabaya : IAIN
Sunan Ampel, 2010.
Nasir, M.Ridwan, Teknik Pengembangan Metode Tafsir
Muqarin : Dalam Perepektif Pemahaman
Al Qur’an, Surabaya : IAIN Sunan Ampel, 2004.
Salim, Abd Muin, Metodologi Ilmu Tafsir,
Yogyakarta : Teras, 2010.
Sanaky, Hujair A.H, Metode Tafsir : Perkembangan
Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin, al-Mawârid Edisi 18, 2008.
[1] Abd al-Hayy al-Farmâwî, al-Bidayah fi Tafsîr
al-Maudhû'i, (Ttp : al-Hadarat al-'Arabiyyah, 1997), cet ke-2, hlm 45.
Lihat juga Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudhû'i, (Jakarta : Kalam
Mulia, 1990), hlm 69.
[2] Nashruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1998), cet ke-1, hlm 67.
[3] 'Ali Hasan
al-Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta : Rajawali Press,
1994), hlm 76.
[4] Rosihan Anwar,
Pengantar Ulûmul Qur'an, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), cet ke-1, hlm
156. Lihat juga Nur Kholis, Pengantar Studi al-Qur'an dan al-Hadits, (Yogyakarta
: Teras, 2008), cet ke-1, hlm 156. Lihat pula Saîd Agil Husin al-Munawar, al-Qur'an
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta : Ciputat Press, 2002), hlm
72-73.
[5] Muhlisin, Metode
Tafsir al-Qur'an : Tahlili, Ijmali, Muqarin, Maudhû'i, (Surabaya : IAIN
Sunan Ampel, 2010), hlm 15-16.
[6] Muhlisin, Metode
Tafsîr al-Qur'an : Tahlili, Ijmali, Muqarin, Maudhû'i, hlm 16.
[7] Musthafa
as-Shibâ'i, Wanita di antara Hukum Islam dan Perundang-undangan, terj
Chadijah Nasution, (Jakarta : Bulan Bintang, 1997), cet ke-1, hlm 61.
[8] Nashruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, hlm 96.
[9] M.Ridwan Nasir, Teknik Pengembangan Metode Tafsir
Muqarin : Dalam Perepektif Pemahaman al Qur’an, (Surabaya : IAIN Sunan
Ampel, 2004), hlm 19.
[10] Nashruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, hlm 142-144. Lihat juga Hujair A.H Sanaky, Metode Tafsîr : Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau
Corak Mufassirin, (al-Mawarid Edisi 18, 2008), hlm 18-19.
[11] Ibnu Taimiyah,
Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, (Kuwait : Dar al-Qur'an al-Karîm,
1971), cet ke-1, hlm 87-88.
No comments:
Post a Comment