Tuesday, September 29, 2015

Contoh Tafsir Tahrir wa Tanwir Karya Ibnu Asyur



A.  Biografi Penulis dan Kitab
a.       Biografi Penulis
Nama Lengkap : Muhammad al-Thâhir bin Muhammad bin Muhammad al-Thâhir bin      Muhammad bin Muhammad Syâdzili bin ‘Abd al-Qadîr bin Muhammad bin ‘Âsyûr.
Nama Populer   : Ibn 'Âsyûr
TTL dan TTW  : Tunisia, 1296 H/1879 M dan Tunisia 1939 H/1973 M.
Pendidikan       : Ibn ‘Âsyûr dibesarkan dalam lingkungan kondusif bagi seorang yang cinta ilmu. Ia belajar al-Qur’an, baik hafalan, tajwid, maupun qiraatnya di sekitar tempat tinggalnya. Setelah hafal al-Qur’an, ia belajar di Mesjid Zaitunah[1] sampai ia ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Dia belajar kepada ayahnya Syaikh Muhammad bin ‘Asyur, Syaikh Ibrahim ar-Riyahi, Syaikh muhammad bin al-Khaujah, Syaikh ‘Âsyûr as-Sahili, dan Syaikh Muhammad al-Khidr. Ibn ‘Âsyûr menjadi salah satu ulama besar di Tunisia. Karirnya sebagai pengajar bermula pada tahun 1930 menjadi mudarris (pengajar) tingkat kedua bagi mazhab Maliki di Mesjid Zaitunah. Menjadi mudarris tingkat pertama pada tahun 1905. Pada tahun 1905 sampai 1913 ia mengajar di Perguruan Shadiqi. Dia terpilih menjadi wakil inspektur pengajaran di Mesjid Zaitunah pada tahun 1908. Pada tahun berikutnya ia menjadi anggota dewan pengelola perguruan Shadiqi. Ia diangkat menjadi qadli (hakim) mazhab Maliki pada tahun 1913 dan diangkat menjadi pemimpin mufti (Basy Mufti) mazhab Maliki di negara itu pada tahun 1927. ia juga seorang mufassir, ahli bahasa, ahli nahwu dan ahli sastra. Ia terpilih menjadi anggota Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah di Mesir pada tahun 1950 dan anggota majma’ ai-Ilmi al-Arabi di Damaskus pada tahun 1955.
Afiliasi Aliran   : Mâliki
Gerakan Politik : Nasionalis
Karya                : Alaisa ash-Shubh bi Qarîb, Maqâshid asy-Syari’ah al-Islamiyah, Uslul an-Nizhâm al-Ijtima‘i fi al-Islam, at-Tahrîr wat-Tanwîr min at-Tafsîr, al-Waqfu wa atsaruhu fi al-Islam, Uslul al-Insyâ’i wa al-Khithâbah, Mujiz al-Balâgah, Hâsyiyah ala al-Qathr, Syarh ’ala Burdah al-Busyiri, al-Gaits al-Ifrîqi, Hasyiyah ’ala al-Mahalli ’ala jam’ al-Jawâmi, Hasyiyah ’ala Ibn Sa’îd al-Usymuni, Hasyiyah ’ala Syarh al Ishâm li Risalati al-Bayân, Ta’lîq ‘ala ma Qara’ahu min Shahihi Muslim, al Ijtihâd al maqâsidi, al Istinsakh fi Dhou’i al Maqâsid, al Maqâsid as Syar’iyah: ta’rifuhâ, amtsilatuhâ.

b.      Identitas Kitab
Judul Lengkap : Tahrîr al-Ma'na al-Sadîd wa at-Tanwîr al-'Aqli al-Jadîd min Tafsîr   al-Kitâb al-Majîd.
Judul Populer    : Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr
Penerbit            : Dâru Suhnûn
Tempat             : Tunis
Tahun               : Tanpa Tahun
Juz                   : 6-7
Latar belakang penulisan :
 Dalam muqaddimah Tafsirnya ia menuturkan, suatu angan-angan tersebar dalam hidup beliau yang ingin dicapai adalah dengan menafsirkan kitab Allah Swt. Sebagai mu'jizat terbesar Nabi Muhammad Saw, ia ingin menjelaskan kepada masyarakat apa yang akan membawa mereka kepada kebahagian di dunia dan akhirat, dengan menjelaskan kebenaran, akhlak mulia, kandungan balaghah yang dimiliki al-Quran, ilmu-ilmu syariat, serta pendapat para mufassir terhadap makna ungkapan al-Quran. Cita-cita Ibn 'Asyur tersebut sering diungkapkannya kepada sahabat-sahabatnya, sembari meminta pendapat dari mereka. Sehingga sekian lama cita-cita itu menjadi kuat. Dengan demikian Ibn'Asyur menguatkan niatnya untuk menafsirkan al-Quran dan meminta pertolongan dari Allah semoga dalam ijithadnya ini ia terhindar dari kesalahan.
B. Teks al-Qur'an
¨bÎ) šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä šúïÏ%©!$#ur (#rߊ$yd tbqä«Î6»¢Á9$#ur 3t»|Á¨Y9$#ur ô`tB šÆtB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ÿ@ÏJtãur $[sÎ=»|¹ Ÿxsù ì$öqyz óOÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd tbqçRtøts ÇÏÒÈ  
Artinya :  Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Qs.al-mâidah : 69.

C. Teks dan Tafsîr Sûrah al-Mâidah ayat 69.

موقع هذه الآية دقيق ، ومعناها أدقّ ، وإعرابها تابع لدقّة الأمرين . فموقعها أدقّ من موقع نظيرتها المتقدّمة في سورة البقرة، فلم يكن ما تقدّم من البيان في نظيرتها بمغن عن بيان ما يختصّ بموقع هذه . ومعناها يزيد دقّة على معنى نظيرتها تبعاً لدقّة موقع هذه . وإعرابها يتعقّد إشكاله بوقوع قوله : والصابون  بحالة رفع بالواو في حين أنّه معطوف على اسم  إنّ  في ظاهر الكلام. فحقّ علينا أن نخصّها من البيان بما لم يسبق لنا مثله في نظيرتها ولنبدأ بموقعها فإنّه مَعْقَد معناها.

Kandungan dan makna ayat ini sangat dalam dan i'rabnya mengikuti  dalam dua aspek. Aspek yang pertama mengenai kandungan ayat yang lebih dalam dari pembahasan sebelumnya pada surah al-Baqarah, jadi pembahasan sebelumnya tidak mencukupi penjelasan yang khusus mengenai kandungan ayat ini, makna ayat yang lebih dalam dari pembahasannya karena mengikuti dalamnya kedudukan kandungan (nahwu) ayat ini. Aspek kedua, yaitu i'rabnya menjadi lebih kuat bentuknya karena ungkapan    (الصّابون)  dalam bentuk rafa' dengan واو dihubungkan (athofkan) dengan isim inna (padahal nashob) pada dzahir kalimat. Oleh karena itu kita harus mengkhususkan pembahasan ayat ini karena sebelumnya tidak ada contoh pembahasan/ penjelasannya. Untuk itu kita mulai dengan membahas kedudukan kandungannya (nahwu) karena sangat dalam maknanya.
                                                                                          
فاعلم أنّ هذه الجملة يجوز أن تكون استئنافاً بيانياً ناشئاً على تقدير سؤال يخطر في نفس السامع لِقوله : ( قل يأهل الكتاب لستم على شيء حتّى تقيموا التّوراة والإنجيل المائدة : 68 ) فيسأل سائل عن حال من انقرضوا من أهل الكتاب قبل مجيء الإسلام : هل هم على شيء أو ليسوا على شيء ، وهل نفعهم اتّباع دينهم أيّامئذٍ ؛ فوقع قوله : ( إنّ الّذين آمنوا والّذين هادوا ( الآية جواباً لهذا السؤال المقدّر .
Ketahuilah bahwa jumlah ini bisa jadi menjadi pemula kalimat (isti'naf) sebagai penjelas yang muncul dari pertanyaan yang tersirat dihati orang yang mendengar firmanNya : "Hai ahlul kitâb, kamu tidak dipandang sedikitpun sehingga kamu mengamalkan Taurât dan Injîl". Maka bertanya seseorang tentang keadaan orang yang konsekuen dengan ahlul kitâb, sebelum datangnya Islam : apakah mereka dipandang atau tidak?, dan apakah ketika memeluk agama itu mereka mendapatkan manfaat? Maka turunlah ayat إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هادُوا sebagai jawaban atas pertanyaan dalam hati si pendengar.
والمراد بالّذين آمنوا المؤمنون بالله وبمحمّد صلى الله عليه وسلم  أي المسلمون . وإنّما المقصود من الإخبار الّذين هَادوا والصابون والنّصارى ، وأمّا التعرّض لذكر الّذين آمنوا فلاهْتماممٍ بهم سنبيّنه قريباً .
Adapun yang dimaksud dengan kalimat آمَنُوا yaitu orang-orang yang beriman (percaya) kepada Allah dan nabi Muhammad saw, sedangkan yang dimaksud dengan pemberitaan ayat ini yaitu orang-orang Yahudi, Shâbi'în dan Nasrani. Adapun pemuatan kalimat آمَنُوا pada ayat ini, karena menganggap penting.
ويجوز أن تكون هذه الجملة مؤكِّدة لجملة  ولو أنّ أهل الكتاب آمنوا واتّقوا (المائدة : 65 ) الخ ، فبعد أن أُتبعت تلك الجملة بما أُتبعت به من الجُمل عاد الكلام بما يفيد معنى تلك الجملة تأكيداً للوعد ، ووصلاً لربط الكلام ، وليُلحق بأهل الكتاب الصابئون ، وليظهر الاهتمام بذكر حال المسلمين في جنّات النّعيم .

Bisa jadi, jumlah ayat ini sebagai penguat (ta'kîd) jumlah ayat وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْكِتابِ آمَنُوا وَاتَّقَوْا إِلَخْ, setelah diungkapkannya jumlah ayat ini dari pengulangan perkataan yang semakna sebagai penguat janji, penyambung kalam, dan menghubungkan ahlul kitâb dan shâbiûn, serta menampakkan kepentingan menyebut orang yang muslim dalam surga yang penuh kenikmatan.

فالتّصدير بذكر الّذين آمنوا في طالعة المعدودين إدماج للتنويه بالمسلمين في هذه المناسبة ، لأنّ المسلمين هم المثال الصّالح في كمال الإيمان والتحرّز عن الغرور وعن تسرّب مسارب الشرك إلى عقائدهم كما بشّر بذلك النّبيء  صلى الله عليه وسلم  في خطبة حجّة الوداع بقوله : إنّ الشيطان قد يَئس أن يُعبد من دون الله في أرضكم هذه فكان المسلمون ، لأنّهم الأوحدون في الإيمان بالله واليوم الآخر والعمل الصّالح ، أوّلين في هذا الفضل .

Pemuatan kalimat الَّذِينَ آمَنُوا pada golongan orang yang dijanjikan yang sebagai penegasan perhatian bagi orang-orang muslim pada korelasi ayat ini, karena orang muslim dapat menjadi contoh yang baik pada kesempurnaan iman, memelihara dari tipuan setan, dan terperangkap dalam kesyirikan akidah-akidah mereka. Sebagaimana yang telah dijelaskan nabi saw pada khutbah haji wada' dalam sabdanya : sesungguhnya setan telah berputus asa untuk disembah selain Allah, dimuka bumi ini, karena orang-orang muslim merupakan orang-orang yang sangat mengesakan iman kepada Allah dan hari kiamat serta beramal shalih. Yang terkemuka dalam kelebihan ini.
وأمّا معنى الآية فافتتاحها بحرف إنّ  هنا للاهتمام بالخبر لعروّ المقام عن إرادة ردّ إنكار أو تردّد في الحكم أو تنزيل غير المتردّد منزلة المتردّد . وقد تحيّر النّاظرون في الإخبار عن جميع المذكورين بقوله : من آمن بالله واليوم الآخر إذ من جملة المذكورين المؤمنون ، وهل الإيمان إلاّ بالله واليوم الآخر ؟ وذهب النّاظرون في تأويله مذاهب : فقيل : أريد بالّذين آمنوا من آمنوا بألسنتهم دون قلوبهم، وهم المنافقون ، وقيل : أريد بمن آمن من دام على إيمانه ولم يرتد . وقيل : غير ذلك .

Adapun maksud dimulainya ayat ini dengan huruf inna karena pentingya berita yang disampaikan yang menunjukkan penolakan terhadap kemungkaran, hukum atau kedudukan orang yang tidak tertolak pada posisi tertolak. para peneliti bingung dengan kalimat berita yang memasukkan semuanya yang telah disebutkan dalam firmanya مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ, termasuk penyebutan  kalimat الْمُؤْمِنُونَ. Adakah iman lain, kecuali beriman kepada Allah dan hari akhir. peneliti terbagi menjadi beberapa pendapat dalam penakwilan ayat ini. Pendapat pertama, yang dimaksud   الَّذِينَ  آمَنُوا yaitu orang-orang yang beriman dengan lisannya saja, tidak dengan hatinya mereka itulah orang-orang munafik, pendapat kedua, yang dimaksud  الَّذِينَ آمَنُواyaitu orang yang selalu dalam keimanannya dan tidak murtad, dan selainnya.

والوجه عندي أنّ المراد بالَّذين آمنوا أصحاب الوصف المعروف بالإيمان واشتهر به المسلمون، ولا يكون إلاّ بالقلب واللّسان لأنّ هذا الكلام وعد بجزاء الله تعالى ، فهو راجع إلى علم الله ، والله يعلم المؤمن الحقّ والمتظاهر بالإيمان نِفاقاً .
menurutku bahwa yang dimaksud الَّذِينَ آمَنُوا yaitu orang yang memiliki ciri-ciri orang beriman dan telah dikenal dengan keislamanya, tidaklah iman itu kecuali dihati dan lisan, karena perkataan ini berisi janji balasan dari Allah swt. maka kembali kepada ilmunya Allah, Allah mengetahui orang yang benar-benar beriman, dan orang yang berpura-pura beriman padahal munafik.

فالّذي أراه أن يجعل خبر  إنّ  محذوفاً . وحذفُ خبر  إنّ  وارد في الكلام الفصيح غير قليل، كما ذكر سيبويه في  كتابه. وقد دلّ على الخبر ما ذكر بعده من قوله : فلا خوف عليهم[2]  إلخ . ويكون قوله : والّذين هادوا  عطفَ جملة على جملة ، فيجعل  الّذين هادوا  مبتدأ ، ولذلك حقّ رفع ما عُطف عليه، وهو  والصابُون.  وهذا أولى من جعل والصابون  مَبْدأ الجملة وتقدير خبر له، أي والصابون كذلك، كما ذهب إليه الأكثرون لأنّ ذلك يفضي إلى اختلاف المتعاطفات في الحكم وتشتيتها مع إمكان التفصّي عن ذلك، ويكون قوله : من آمن بالله مبتدأ ثانياً، وتكون  من موصولة، والرّابط للجملة بالّتي قبلها محذوفاً، أي من آمن منهم، وجملة فلا خوف عليهم خبراً عن  مَن  الموصولة ، واقترانها بالفاء لأنّ الموصول شبيه بالشرط . وذلك كثير في الكلام ، كقوله تعالى : إنّ الّذين فتنوا المؤمنين والمؤمنات ثمّ لم يتوبوا فلهم عذاب جهنّم، البروج : 10  الآية ، ووجود الفاء فيه يعيّن كونه خبراً عن ( مَن ) الموصولة وليس خبر إنّ على عكس قول ضابي بن الحارث :ومن يَك أمسى بالمدينة رحلُه فإنّي وقبّار بها لغريب
فإنّ وجود لام الابتداء في قوله : ( لغريب ) عيَّن أنّه خبر ( إنّ ) وتقديرَ خبر عن قبّار ، فلا ينظّر به قوله تعالى : ( والصابون  ).

Saya berpendapat, bahwa khabar inna dibuang, Banyak juga terdapat khabar inna yang terbuang pada kalimat yang fasih, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Imam Sibawaihi dalam kitabnya. Sungguh menunjukkan atas khabar kalimat yang diungkapkan sesudah firman Allah فلهم اجرهم عند ربهم, dan kalimat وَالَّذِينَ هادُوا menjadi penghubung (athof) jumlah terhadap jumlah, maka jadilah kalimat الَّذِينَ هادُوا menjadi mubtada', oleh karena itu wajib rafa' apa yang dihubungkan (athofkan) kepadanya, yaitu الصّابون pendapat inilah yang lebih utama dari pada menjadikan الصّابون mubtada' jumlah dan khabarnya ditakdirkan, maksudnya الصّابون mubtada' kalimat َ كَذَلِكmenjadi khabar yang ditakdirkan. Seperti itulah mayoritas pendapat ulama (nahwu), karena mubtada' jumlah menimbulkan perbedaan penghubungan (pengathofan) dalam hukum dan memisahkan pengathofan dapat menghilangkan yang demikian. Jadilah kalimat مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ menjadi mubtada' kedua (tsâni), مَنْ penghubung (maushul), dan rabithahnya berupa jumlah yang letaknya sebelum khabar dibuang yakni مَنْ آمَنَ مِنْهُم, dan jumlah فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ menjadi khabar dari مَنْ penghubung (maushul). Menyertakan khabar dengan fa karena isim maushul mirip dengan syarat, hal itu banyak terdapat dalam perkataan orang Arab, sebagaimana firman Allah ta'ala : إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِناتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذابُ جَهَنَّمَ. Adanya fa dalam firman Allah menunjukkan kedudukannya sebagai khabar dari man maushul bukan menjadi khabar inna bertolak belakang dengan ungkapan harits bin dhabit :   وَمَنْ يَكُ أَمْسَى بِالْمَدِينَةِ رَحْلُهُ ... فَإِنِّيَ وَقَبَّارٌ بِهَا لَغَرِيبُ
adanya lam ibtida' pada kalimat لَغَرِيبُ menunjukkan khabar inna dan khabarnya قَبَّار di takdirkan. Oleh karena itu janganlah berspekulasi pada firmanNya  الصّابون menjadi khabar.
  
ومعنى من آمن بالله واليوم الآخر من آمن ودَام ، وهم الّذين لم يغيّروا أديانهم بالإشراك وإنكارِ البعث ؛ فإنّ كثيراً من اليهود خلطوا أمور الشرك بأديانهم وعبدوا الآلهة كما تقول التّوراة. ومنهم من جعل عُزيراً ابناً لله، وإنّ النّصارى ألَّهوا عيسى وعبدوه، والصابئة عبدوا الكواكب بعد أن كانوا على دين له كتاب. وقد مضى بيان دينهم في تفسير نظير هذه الآية من سورة البقرة.

Makna kalimat مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ yaitu orang yang beriman lagi istiqamah dan mereka yang tidak merubah agama mereka dengan kesyirikan dan mengingkari hari kebangkitan, sedangkan mayoritas orang Yahudi mencampur perkara kesyirikan dalam agama mereka dan menyembah banyak Tuhan seperti yang telah dijelaskan dalam Taurat, mereka itulah orang-orang yang menjadikan 'Uzairan sebagai anak Allah, adapun Nasrani, mereka menuhankan 'Îsa dan menyembahnya, sedangkan ash-Shâbiûn yaitu mereka yang menyembah bintang-bintang padahal mereka sebelumnya mempunyai kitab dan agama. Penjelasan mengenai agama mereka mengenai ayat ini telah dijelaskan pada tafsîr sûrah al-baqârah.

ثمّ إنّ اليهود والنّصارى قد أحْدثوا في عقيدتهم من الغرور في نجاتهم من عذاب الآخرة بقولهم : نحن أبناء الله وأحِبَّاؤه  ( المائدة : 18 ) وقولِهم : لن تمسّنا النّار إلاّ أيَّاماً معدودة  ( البقرة : 80 ) ، وقول النّصارى : إنّ عيسى قد كفَّر خطايا البشر بما تحمّله من عذاب الطّعن والإهانة والصّلب والقتل، فصاروا بمنزلة من لا يؤمن باليوم الآخر، لأنّهم عطّلوا الجزاء وهو الحكمة الّتي قُدّر البعث لتحقيقها.
Kemudian bahwa Yahudi dan Nasrani sungguh mengada-ada pada akidah mereka dari tipuan mendapatkan keselamatan dari azab hari akhir dengan perkataan mereka : kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasinhya, dan perkataanya : neraka tidak akan menyentuh kami, kecuali beberapa hari saja, dan perkataan kaum Nasrani : sesungguhnya Isa telah menghapus kesalahan-kesalahan manusia dan menyandang cobaan berupa celaan, penghinaan, penyaliban, dan pembunuhan. maka jadilah mereka berada pada golongan orang yang tidak mengimani hari akhir. Karena mereka tidak mendapatkan balasan berupa hikmah yang telah ditentukan pada hari kebangkitan untuk mendapatkannya.                                                                   

وجمهور المفسّرين جعلوا قوله  والصابون  مبتدأ وجعلوه مقدّماً من وتأخير وقدّروا له خبراً محذوفاً لدلالة خبر ( إنّ ) عليه ، وأنّ أصل النظم : أنّ الّذين آمنوا والّذين هادوا والنّصارى لهم أجْرهم إلخ ، والصابون كذلك ، جعلوه كقول ضابي بن الحارث : فإنّي وقبّار بها لغريب
Mayoritas mufassir menjadikan kalimat الصّابون sebagai mubtada' yang letaknya mendahului "man" (maushul) dan mentakdirkan khabar mubtada yang dibuang dari kalimat الصّابون untuk menunjukkan khabar inna. Asal susunan ayat yang sebenarnya yaitu إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى لَهُمْ أَجْرُهُمْ إِلَخْ، وَالصَّابُونَ كَذَلِكَ. Mereka menjadikan الصَّابُونَ  seperti perkataan Dhôbi bin Harîts : فإنّي وقبّار بِهَا لَغَرِيبُ

وبعض المفسّرين قدّروا تقادير أخرى أنهاها الألوسي إلى خمسة . والّذي سلكناه أوضح وأجرى على أسلوب النّظم وأليق بمعنى هذه الآية . وبعدُ فممّا يجب أن يُوقن به أنّ هذا اللّفظ كذلك نزل ، وكذلك نطق به النّبيء صلى الله عليه وسلم  وكذلك تلقّاه المسلمون منه وقرؤوه ، وكُتب في المصاحف ، وهم عَرب خلّص ، فكان لنا أصلاً نتعرّف منه أسلوباً من أساليب استعمال العرب في العطف وإن كان استعمالاً غير شائع لكنّه من الفصاحة والإيجاز بمكان ، وذلك أنّ من الشائع في الكلام أنّه إذا أتي بكلام موكّد بحرف ( إنّ ) وأتي باسم إنّ وخبرها وأريد أن يعطفوا على اسمها معطوفاً هو غريب عن ذلك الحكم جيء بالمعطوف الغريب مرفوعاً ليدلّوا بذلك على أنّهم أرادوا عطف الجمل لا عطف المفردات ، فيقدّرَ السامع خبراً يقدّره بحسب سياق الكلام . ومن ذلك قوله تعالى : ( أنّ الله بريء من المشركين ورسولُه  ( التوبة : 3 ) ، أي ورسوله كذلك ، فإنّ براءته منهم في حال كونه من ذي نسبهم وصهرهم أمر كالغريب ليظهر منه أنّ آصرة الدّين أعظم من جميع تلك الأواصر ، وكذلك هذا المعطوف هنا لمّا كان الصابون أبعد عن الهدى من اليهود والنّصارى في حال الجاهلية قبل مجيء الإسلام ، لأنّهم التزموا عبادة الكواكب ، وكانوا مع ذلك تحقّ لهم النّجاة إن آمنوا بالله واليوم الآخر وعملوا صالحاً ، كان الإتيان بلفظهم مرفوعاً تنبيهاً على ذلك . لكن كان الجري على الغالب يقتضي أن لا يؤتى بهذا المعطوف مرفوعاً إلاّ بعد أن تستوفي ( إنّ ) خبرها ، إنَّما كان الغالب في كلام العرب أن يؤتى بالاسم المقصود به هذا الحكم مؤخّراً، فأمّا تقديمه كما في هذه الآية فقد يتراءى للنّاصر أنّه ينافي المقصد الّذي لأجله خولف حكم إعرابه، ولكن هذا أيضاً استعمال عزيز ، وهو أن يجمع بين مقتضيي حالين ، وهما للدّلالة على غرابة المُخبر عنه في هذا الحكم . والتّنبيه على تعجيل الإعلام بهذا الخبر فإنّ الصابئين يكادون ييأسون من هذا الحكم أو ييأس منهم من يسمع الحكم على المسلمين واليهود. فنبّه الكلّ على أنّ عفو الله عظيم لا يضيق عن شمولهم، فهذا موجب التّقديم مع الرّفع ، ولو لم يقدّم ما حصل ذلك الاعتبار ، كما أنّه لو لم يرفع لصار معطوفاً على اسم ( إنّ ) فلم يكن عطفه عطف جملة .
Sebagian mufassir mentakdirkan dengan takdir yang berbeda-beda, imam al-alusi membagi menjadi 5 bagian. Yang kita ikuti yang lebih jelas dan berlaku dalam redaksi susunan ayat serta lebih layak dengan makna ayat ini. Sesudah penjelasan diatas. Maka kita wajib meyakini lafadz ini seperti yang telah diturunkan. Seperti itu juga apa yang dituturkan oleh nabi saw, yang dipelajari serta dibaca oleh orang Islam, yang ditulis pada lembaran-lembaran (mushaf) yang diedarkan oleh orang Arab. Hendaklah kita mengetahui redaksi asli dari beberapa redaksi yang digunakan orang Arab dalam pengathopan, sekalipun yang digunakan tidak lazim tetapi masih dapat digunakan sebagai kefashihan kalam dan keindahan dalam kedudukan, karena yang demikian itu kelaziman dalam suatu kalimat jika diberikan penguat dengan huruf inna, diberikan pula khabar dan isim inna dan dikehendaki isim inna itu dijadikan athof maka hal itu asing dalam penetapan hukum yang athofnya berbentuk rafa' untuk menujukkan bahwa yang dimaksud yaitu athof jumlah bukan athof perkata. Pendengar memahami khabar yang ditakdirkan dengan melihat konteks kalimat. Seperti firman Allah ta'ala : أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ [التَّوْبَة: 3] ، أَيْ وَرَسُولُهُ كَذَلِكَ , pada waktu itu berlepasnya  rasul dari orang-orang musyrik yang senasab atau satu keturunan merupakan perintah seperti orang asing yang menampakkan kebebasanya, sesungguhnya orang yang fanatik dengan agama yaitu lebih mulia dari segala kefanatikan. Seperti itu pula ma'thuf yang dijadikan disini manakala kalimat  الصَّابُونُ sangat jauh dari petunjuk dibandingkan orang Yahudi dan Nasrani di masa jahiliyah sebelum datangnya Islam, karena mereka selalu menyembah bintang-bintang, oleh karena itu mereka berhak mendapatkan keselamatan jika beriman kepada Allah dan hari akhir dan beramal baik (saleh). Pengungkapan hukum rafa' dari pendapat mereka sebagai penjelas yang demikian, akan tetapi yang berlaku pada umumnya tidak diberikan hukum rafa' lafadz yang diathofinya kecuali setelah sempurna (disebut dengan lengkap) khabar inna. Biasanya pada perkataan orang Arab dimuat dengan isim yang bertujuan mengakhirkan hukumnya, adapun mendahulukan hukum seperti pada ayat ini yang kadang menjadikan pemahaman bagi peneliti dalam menghilangkan tujuan perafaan yang terbalik dalam hukum I'rabnya, tetapi ini merupakan penggunaan yang bagus yang mengumpulkan diantara dua tujuan dan keadaan, keduanya menjadi petunjuk terhadap orang yang diberitakan  pada ini hukum. Pemberitahuan dengan cepat mengenai khabar ini  karena as-shâbiûn hampir berputus asa dari keputusan ini, atau mereka berputus asa karena mendengar keputusan terhadap orang muslim dan Yahudi. Maka perhatikanlah, karena ampunan Allah sangat luas dan tidak sempit. Maka baguslah menggunakan rafa', seandainya tidak didahulukan hukum rafa' maka tidak ada penjelasan, sebagaimana yang mereka sebutkan, jika tidak dirafa'kan maka  athofnya kepada isim inna, kemudian tidak ada pula pengathofan terhadap jumlah.
                                                                                           
وقد جاء ذكر الصابين في سورة الحجّ مقدّماً على النّصارى ومنصوباً ، فحصل هناك مقتضى حال واحدة وهو المبادرة بتعجيل الإعلام بشمول فصل القضاء بينهم وأنّهم أمام عدل الله يساوون غيرهم .
Kalimat as-shâbiin dalam ayat lain disebutkan pada sûrah al-Hajj letaknya didepan dari kalimat لنَّصَارَى dengan hukum nashob, maka hasilnya kondisi kalimat ini menuntut satu keadaan untuk segeranya pemberitaan karena mengandung pemisah keputusan antara mereka, dan mereka mendapat keadilan yang sama dari Allah.
 
ثثمّ عقّب ذلك كلّه بقوله : ( وعمل صالحاً ، وهو المقصود بالذّات من ربط السلامة من الخوف والحزن ، به ، فهو قيد في المذكورين كلّهم من المسلمين وغيرهم ، وأوّل الأعمال الصّالحة تصديق الرّسول والإيمان بالقرآن ، ثم يأتي امتثال الأوامر واجتناب المنهيات كما قال تعالى : ( وما أدراك ما العقبة إلى قوله ثم كان من الّذين آمنوا ( ( البلد : 12 17 ) .

Kemudian ayat ini disudahi dengan kalimat  وعمل صالحاً, adapun yang dimaksud  وعمل صالحاً yaitu sesuatu (dzat) yang menghubungkan dengan keselamatan dari ketakutan dan kesedihaan. Penghubung keselamatan tadi, tidak hanya dikhususkan untuk orang muslim, tetapi juga berlaku bagi yang lainya. Adapun yang paling utama dalam hal beramal salih yaitu membenarkan nabi Muhammad saw dan beriman kepada al-Qur'an, kemudian baru mengerjakan apa saja yang diperintahkan dan menjauhi apa saja yang dilarang, sebagaimana firman Allah ta'ala : tahukah kamu jalan yang mendaki dan sukar itu sampai mereka itu termasuk orang-orang yang beriman. Qs. al-balad 12-17.

D. Analisis
a.       Metode yang digunakan Ibnu ‘Âsyûr dalam menafsirkan ayat ini adalah Tahlili, hal dilihat dapat dilihat ketika Ibnu ‘Âsyûr menggunakan munasabah (korelasi) antar ayat.
b.      Adapun corak yang beliau gunakan dalam penafsiran ini adalah lughawiy hal itu telihat jelas ketika beliau menafsirkan ayat ini yang banyak menggunkan kaidah-kaidah nahwu serta istilah-istilah kebahasaan yang lain seperti balaghah, dsb. Selain itu juga karena latarbelakang pendidikan beliau yang banyak belajar bahasa sampai beliau dikenal dengan ahli bahasa, ahli nahwu serta ahli sastra, bahkan beliau sempat terpilih menjadi anggota Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah di Mesir.
E. Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat ditarik beberapa point penting yaitu sebagai berikut :
1.      Ada beberapa kata dalam ayat ini yang tidak dicantumkan dan hal tersebut dikenal dan dibenarkan oleh pemakai bahasa Arab dengan kata lain, kaidah-kaidahnya yang diakui. Yaitu sebagai berikut :
a.       Predikat kata إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا pada ayat ini tidak disebut.
b.      َالَّذِينَ هادُو   yang mengikuti kalimat sebelumnya menjadi objek dan kata الصابون  yang merupakan athof jumlah yang mengikuti kedudukan الَّذِينَ هادُو karena itu dia Marfu' dibaca ash-Shâbi'ûn bukan ash-Shâbi'în.
c.       Kata من امن yang berkedudukan sebagai subjek kedua, dan disini terdapat kata yang tidak disebut yaitu منهم.
2.      Ayat ini berbeda dalam penempatan kata dengan ayat al-Baqârah 62, kalau dalam al-Baqârah kalimat an-nashora adalah yang kedua sebelum ash-shâbi'ûn, sedangkan disini adalah kalimat ketiha setelah ash-shôbi'ûn. Selain itu dalam al-baqârah ada kalimat´bagi mereka ganjaran mereka disisi Tuhan, sedang dalam ayat ini kalimat itu tidak disebut.
3.      Ayat ini maksudnya bahwa : orang-orang yang beriman, orang Yahudi, dan Nasrani hukumnya adalah siapa diantara mereka begitu juga ash-Shâbi'un. Hal itu bertujuan untuk menggaris bawahi bahwa jangankan orang-orang Yahudi dan Nasrani, bahkan ash-Shâbi'ûn pun yang dosanya lebih besar dari mereka taubatnya dapat diterima oleh Allah swt asalkan mereka benar-benar beriman dan bermal shalih.
4.      Ibnu ‘Âsyûr tidak terlalu ribet dalam menafsirkan kalimat الَّذِينَ آمَنُوا, menurutnya orang yang beriman itu ialah orang yang memiliki ciri-ciri orang beriman dan telah dikenal dengan keislamanya, tidaklah iman itu kecuali dihati dan lisan, karena perkataan ini berisi janji balasan dari Allah swt. maka kembali kepada ilmunya Allah, Allah mengetahui orang yang benar-benar beriman, dan orang yang berpura-pura beriman padahal munafik. Berbeda dengan mufassir lainnya. Seperti :
a.       Ibn ‘Abbâs mengartikan bahwa mereka adalah orang-orang yang percaya dengan 'Îsa sebelum Muhammad diutus.
b.       Menurut al-Suddy berdasarkan keterangan guru-gurunya, mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Mûsa dan mengerjakan syari’atnya sampai datang 'Îsa. (Setelah 'Îsa datang) mereka beriman kepadanya dan mengerjakan syari’atnya sampai datang Muhammad.
c.       Menurut Sufyân Tsaury mereka adalah orang-orang munafik. Mereka adalah orang-orang yang masuk ke dalam agama Islam (dari kalangan Ahli Kitab), seperti Qus ibn Sa’adah, pendeta Buhaira, Waraqah ibn Naufal, dan Salman al-Farisi. Mereka adalah orang-orang mu’min dari kalangan umat Islam sendiri.
5.      Penyebutan kalimat آمَنُوا pada ayat ini bertujuan sebagai informasi umum, serta karena umat muslim merupakan teladan yang terbaik dalam keimanan kepada Allah dan tuntunan-tuntunannya.



[1] Zaitunah adalah sebuah masjid dari sekian banyak masjid kuno yang selama berabad-abad berfungsi sebagai pusat pendidikan, informasi dan penyebaran ilmu.
[2] فِي المطبوعة [التونسية] فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ الْمُوَافقَة لـ[الْبَقَرَة: 62] والمثبت هُوَ الْمَقْصُود وَالله أعلم.
                                                   

No comments:

Post a Comment