Tuesday, September 29, 2015

Islam Tidak Melarang Bersikap Baik Terhadap Orang-orang Kafir



PENDAHULUAN
Saat ini, Islam merupakan agama yang termasuk banyak penganutnya yang tersebar di seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia, baik itu di negara kafir maupun di negara Islam itu sendiri. Hal ini menyebabkan kaum muslimin mau tidak mau pasti berdampingan hidup dengan pemeluk agama lain, sehingga terjadilah banyak hal-hal yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan seperti perbedaan pendapat, kecemburuan sosial dan hal lainya yang pada akhirnya menyebabkan permusuhan dan kebencian antar pemeluk agama.
Namun, dengan adanya hal itu tidak menutup kesempatan untuk kita berbuat baik kepada orang yang berbeda keyakinan, dengan syarat tidak memerangi Islam, dsb.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas penafsiran Surah al-Mumtahanah ayat 8-9 yang berkaitan dengan " Islam tidak melarang berbuat baik terhadap orang kafir"  yang kemudian akan dijelaskan dengan beberapa penafsiran yang dilengkapi dengan asbabun nuzulnya serta dengan penyebutan kriteria-kriterianya.









                                       
PEMBAHASAN
A.  Tafsir Qs al-Mumtahanah : 8-9.
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ. (الممتحنة: 8-9).
Artinya : Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
a.    Tafsîr Muyassar
Allah tidak melarang kalian untuk menghormati orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian karena kalian beragama Islam, juga orang-orang kafir yang tidak mengusir kalian dari negeri kalian. Bahkan bergaulah dengan mereka secara adil dan baik karena Allah menyukai orang yang adil dalam pergaulan dan hukum.
Ayat ini menjelaskan adanya sikap pembedaan sikap dalam bergaul dengan orang-orang kafir, antara yang memerangi Islam dan tidak.[1]
b.    Tafsîr Ibnu Katsîr
Allah swt berfirman kepada hamba-hambaNya yang beriman setelah sebelumnya dia memerintahkan kepada mereka untuk melancarkan permusuhan terhadap orang-orang kafir.  عسى الله ان يجعل بينكم وبين الّذين عاديتم منهم مودّة)) "Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih saying antara kamu dengan orang-orang yang kamu musuhi diantara mereka". Maksudnya adalah kasih sayang setelah kebencian, kasih saying setelah permusuhan, dan kerukunan setelah pertikaian.   والله قدير)) "dan adalah Allah Mahakuasa". Maksudnya, atas segala sesuatu yang dikehendaki-Nya, diantaranya menyatukan beberapa hal yang saling bertentangan, berjauhan dan berbeda. Dia menyatukan hati-hati manusia setelah sebelumnya penuh dengan permusuhan dan kebencian, sehingga menjadi hati yang bersatu dan penuh kerukunan. Seorang penyair mengungkapkan :
وقد يجمع الله الشتيتين بعد ما يظنّان كلّ الظنّ أن لا تلاقيا
Dan Allah pernah menyatukan dua orang yang sudah tercerai-berai, setelah sebelumnya keduanya mengira bahwa keduanya tidak akan pernah bersatu.
Firman Allah ta'ala :  والله غفور رحيم) ). " Dan Allah Maha Pengampun dan Penyayang". Maksudnya, Dia akan memberikan ampunan kepada orang-orang kafir akibat kekufuran yang telah mereka perbuat, jika memang mereka benar-benar bertaubat kepada Rabb-nya dan menyerahkan diri kepada Nya, karena Dia Maha Pengampun lagi Penyayang bagi setiap orang yang bertaubat kepadaNya dari segala macam dosa.
firmanNya : ( ولا ينهاكم الله عن الّذين لم يقاتلوكم في الدّين ولم يخرجكم من دياركم ) " Allah tidak melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusirmu dari negerimu".maksudnya mereka yang telah membantu mengusir kalian. Artinya, Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian karena agama, seperti kaum wanita dan orang-orang yang lemah diantara mereka.  أن تبرّوهم)) " untuk berbuat baik kepada mereka". وتقسطوا اليهم ان الله يحب المقسطين) ) " serta berbuat adil terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berbuat adil.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Asma binti Abû Bakar ra, ia bercerita : ibuku pernah datang kepadaku, sedang ia dalam keadaan musyrik. Pada waktu kaum Quraisy melakuka perdamaina Hudaibiyyah. Lalu ku katakan : ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku datang kepadaku dan berharap ia dapat bertemu denganku, apakah aku boleh menyambung hubungan dengannya? Beliau menjawab : ya, sambunglah hubungan dengan ibumu. Hr Bukhari dan Muslim.
Imam Ahmad juga meriwayatkan, Arim memberitahu kami, 'Abdullah bin Mubârak memberitahukan kami, Mush'ab bin Tsâbit memberitahukan kami, 'Amir bin Abdullah memberitahukan kami, dari ayahnya, ia bercerita. Qutailah pernah datang menemui putrinya Asma binti 'Abû Bakar dengan membawa daging biawak dan miyak samin sebagai hadiah, sedang ia seorang wanita yang musyrik. Maka Asma pun menolak pemberiannya itu dan memasukkan ibunya ke rumahnya. Kemudian 'Aisyah bertanya kepada nabi lalu Allah menurunkan ayat : (ولا ينهاكم الله عن الّذين لم يقاتلوكم في الدّين ولم يخرجكم من دياركم ) . Allah tidak melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusirmu dari negerimu". Kemudian Asma menerima pemberian ibunya itu dan mempersilahkanya masuk ke dalam rumah.
Firman Allah ta'ala : ان الله يحب المقسطين) ) sesungguhnya Allah menyukai orang yang berlaku adil. Rasulullah saw bersabda المقسطون على منابر من نور عن يمين العرش، الذين يعدلون في حكمهم وأهاليهم وما ولوأ, orang-orang yang berbuat adil di sisi Allah pada hari kiamat kelak berada diatas mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya disebelah kanan Arsy', yaitu orang-orang yang berbuat adil dalam hukum, keluarga, dan semua yang berada di kekuasaan mereka.[2]
c.    Tafsîr al-Qurthubi
Al-Qurtubi membagi penafsiran surat al-Mumtahanah ayat 8 ke dalam tiga pembahasan. Pertama, pembahasan fikih terkait hukum menjalin hubungan baik dengan non muslim. Dalam pembahasan ini pertama-tama ia menyampaikan pendapatnya bahwa ayat ini merupakan dalil diperbolehkannya menjalin hubungan baik dengan non muslim yang tidak memusuhi dan memerangi umat Islam.
Selanjutnya ia mengutip pendapat para ulama. Menurut Ibnu Zaid hukum ini berlaku pada masa awal-awal Islam kemudian dihapus (nasakh). Pendapat yang sama juga disampaikan Qatadah yang mengatakan bahwa ayat ini dihapus dengan ayat:
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ (التوبة: 5)
Pendapat lain mengatakan bahwa hukum ini bertalian dengan sebab, yaitu adanya perjanjian damai. Ketika perjanjian damai itu hilang dengan dibukanya kota Makkah, maka hukum ini dihapus. Ada yang berpendapat, termasuk diantaranya al-Hasan, bahwa hukum ini hanya berlaku untuk para sekutu dari kalangan non muslim yang terikat perjanjian damai dengan Nabi saw dan mereka tidak melanggar perjanjian tersebut. Sementara al-Kalbi dan Abû Shâlih berpendapat bahwa yang dimaksud ayat ini adalah Khuzâ’ah dan Bani al-Hârits bin 'Abdi Manâf. Pendapat 'Abû Shâlih yang lain, yang dimaksud dengan ayat ini adalah hanya Khuzâ’ah saja. Menurut Mujâhid, hukum ini hanya berlaku bagi orang-orang mu’min yang tidak turut berhijrah ke Madinah. Ada pula yang berpendapat bahwa hukum ini hanya berlaku bagi perempuan dan anak-anak. Sebab, merekalah orang-orang yang tidak turut serta memerangi kaum muslimin, dan karenanya kaum muslimin diperbolehkan berbuat baik kepada mereka.
Setelah menyampaikan perbedaan pendapat dengan berbagai variannya, al-Qurtubi menyebutkan pendapat mainstream ulama tafsir. Menurut mayoritas ulama tafsir, ayat ini tidak dihapus. Mereka mendasarkan pendapatnya pada kisah Asma` binti 'Abû Bakar. Ia bertanya kepada Rasulullah saw, apakah boleh ia menjalin hubungan baik dengan ibunya yang saat itu musyrik. Rasulullah saw menjawab, “iya”. Kisah ini diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
Bahkan ada yang berpendapat bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kisah Asma` binti 'Abû Bakar tersebut. Amir bin Abdullah bin Zubair menceritakan dari bapaknya bahwa Abû Bakar mecerai istrinya, Qutailah, pada masa jahiliyah. Dan ia adalah ibu dari Asma` binti Abû Bakar. Semasa terjadi gencatan senjata antara Rasulullah saw dan orang-orang kafir Quraisy, Qutailah datang dengan membawa hadiah anting-anting dan hadiah lain untuk Asma’ putrinya. Asma’ tidak ingin menerima hadiah itu dari ibunya, hingga kemudian ia datang kepada Rasulullah saw dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Lalu turunlah al-Mumtahanah ayat 8. Kisah ini dituturkan al-Mâwardi dan lain-lain dalam tafsirnya serta diriwayatkan oleh Abû Daud al-Tayâlisi dalam kitab Musnad-nya.
Pembahasan kedua terkait bahasa. Ada dua frasa yang menjadi obyek tafsir bahasa al-Qurthubi pada ayat ini. Pertama frasa {أَنْ تَبَرُّوهُمْ}. Menurutnya frasa ini berkedudukan jar sebagai badal dari {الَّذِينَ}. Dengan demikian ayat tersebut bermakna demikian:
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنْ أَنْ تَبَرُّوا الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ
Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik kepada orang-orang yang tidak memerangimu
Yang dimaksud, “orang-orang yang tidak memerangimu” adalah orang-orang Khuzâ’ah yang saat itu terikat perjanjian damai untuk tidak memerangi atau membantu orang lain memerangi Rasulullah saw. Karena itu diperbolehkan berbuat baik kepada mereka hingga batas waktu perjanjian. Pendapat ini diceritakan al-Farra`.
Sub pembahasan kedua adalah makna {وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِم}. Makna frasa ini adalah, “memberikan sebagian harta kepada mereka dalam konteks menjalin hubungan baik”, bukan “berbuat adil”. Sebab berbuat adil adalah kewajiban, baik terhadap orang-orang yang memerangi maupun yang tidak. Pendapat ini disampaikan Ibnu al-Arabi.
Pembahasan ketiga terkait bantahan al-Qurtubi terhadap pengambilan kesimpulan yang salah dari ayat ini. Ia mengutip al-Qadli Abû Bakar dalam al-Ahkām yang mengatakan bahwa berdasarkan ayat ini sebagian orang berpendapat bahwa seorang muslim wajib memberikan nafkah kepada orang tuanya yang non muslim. al-Qadli Abû Bakar menilai pendapat ini adalah kesalahan besar. Sebab mengijinkan sesuatu atau tidak melarang sesuatu bukan berarti mewajibkan. Mengijinakan atau tidak melarang hanya berimplikasi memperbolehkan. Demikian al-Qadli Abû Bakar, sebagaiman dikutip al-Qurtubi, memberikan alasan. Al-Qadli Abu Bakar menambahkan bahwa suatu hari Ismail bin Ishaq al-Qadli kedatangan seorang dhimmi lalu ia muliakan. Sikap ini mendapatkan protes dari orang-orang yang hadir. Lalu Ismail membacakan ayat ini.[3]
d.   Tafsîr al-Misbah
Perintah untuk memusuhi kaum kafir (non-muslim) yang diuraikan oleh ayat-ayat yang lalu boleh jadi menimbulkan kesan bahwa semua non-muslim harus dimusuhi. Untuk menampik kesan keliru ini, ayat di atas menggariskan prinsip dasar hubungan interaksi antara kaum muslimin dan non-muslim. Ayat di atas secara tegas menyebutkan nama Yang Mahakuasa dengan menyatakan: Allah yang memerintahkan kamu bersikap tegas terhadap orang kafir-walaupun keluarga kamu tidak melarang kamu menjalin hubungan dan berbuat baik terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negeri kamu. Allah tidak melarang kamu berbuat baik dalam bentuk apapun bagi mereka dan tidak juga melarang kamu berlaku adil kepada mereka. Kalau demikian, jika dalam interaksi sosial mereka berada di pihak yang benar, sedang salah seorang dari kamu di pihak yang salah, kamu harus membela dan memenangkan mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Allah tidak lain hanya melarang kamu menyangkut orang-orang yang memerangi kamu dalam agama dan mengusir kamu dari negeri kamu dan membantu orang lain dalam pengusiran kamu-melarang kamu-untuk menjadikan mereka teman-teman akrab tempat menyimpanan rahasia dan penolong-penolong yang kamu andalkan. Barang siapa yang mengindahkan tuntutan ini, merekalah orang-orang yang beruntung dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai teman-teman akrab tempat menyimpan rahasia maka mereka itulah yang sungguh jauh kebejatannya-­merekalah tidak selain mereka orang-orang zalim yang sungguh mantap kezalimannya.
Firman-Nya: (لم يقاتلوكم) lam yuqatilukum/tidak memerangi kamu menggunakan bentuk mudhari’/present tense. Ini dipahami sebagai bermakna “mereka secara faktual sedang memerangi kamu”, sedang kata (في) fi yang berarti dalam mengandung isyarat bahwa ketika itu mitra bicara bagaikan berada dalam wadah tersebut sehingga tidak ada dari keadaan mereka yang berada dalam wadah tersebut sehingg tidak ada dari keadaan mereka yang berada di luar wadah itu. Dengan kata (في الدّين) fi ad-din/dalam agama tidak termasuklah peperangan yang disebabkan kepentingan duniawi yang tidak ada hubungannya dengan agama, dan tidak termasuk pula siapapun yang tidak secara faktual memerangi umat Islam-antara lain pada masa Nabi, yakni suku ‘Khuza’ah demikian juga wanita-wanita, dan Ahl- adz-Dzimmah (penduduk negeri dari Ahl al-Kitab yang membayar pajak). Berbuat baik terhadap mereka adalah salah satu bentuk akhlak mulia.[4]
Kata (تبرّوهم) tabarruhum terambil dari kata (برّ) birr yang berarti kebajikan yang luas. Salah satu nama Allah swt. Adalah al-Bar. Ini karena demikian luas kebajikan-Nya. Dataran yang terhampar di persada bumi ini dinamai bar karena luasnya. Dengan penggunaan kata tersebut pad ayat di atas, tercermin izin untuk melakukan berbagai kebijakan bagi non-muslim selama tidak membawa dampak negatif untuk umat Islam. Kata tuqsithu terambil dari kata qisth yang berarti adil. Bisa juga ia dipahami dalam arti bagian. Pakar tafsir dan hukum “Ibn ‘Arabi”, memahaminya demikian dan atas dasar itu, menurutnya, ayat di atas menyatakan: “Tidak melarang kamu member (se) bagian dari harta kamu kepada mereka.” Rujuklah kepada QS. Al-Baqarah ayat 272 untuk memahami lebih banyak tentang persoalan ini.
Al-Biqa’i memahami penggunaan kata (إليهم) ilahim/ kepada mereka yang dirangkaikan dengan kata (تقسطوا) tuqsithu itu sebagai isyarat bahwa hal yang diperintahkan ini hendaknya diantar hingga sampai kepada mereka. Hal itu mengisyartakan bahwa sikap yang diperintahkan ini termasuk bagian dari hubungan yang diperintahkan dan hal itu tidak berdampak negatif bagi umat Islam.[5]
Ayat di atas berlaku umum kapan dan dimana saja. Sementara ulama bermaksud membatasi ayat tersebut hanya ditunjukkan kepada kaum mjusyrik Mekkah, tetapi ulama-ulama sejak masa Ibn Jarîr ath-Thabari telah membantahnya. Thahir Ibn ‘Asyur menulis bahwa pada masa Nabi saw. sekian banyak suku musyrik yang justru bekerja sama dengan Nabi saw. serta menginginkan kemenangan beliau menghadapi suku Quraisy di Mekkah. Mereka itu seperti Khuza’ah, Bani al-Kharits Ibn Ka’b, dan Muzainah.
Sayyid Qutub berkomentar, ketika menafsirkan ayat di atas, bahwa Islam adalah agama damai dan serta akidah cinta. Ia satu sistem yang bertujuan menaungi seluruh alam dengan naungannya yang berupa kedamaian dan cinta itu dan bahwa semua manusia dihimpun di bawah panji Ilahi dalam kedudukan sebagai saudara-saudara yang saling kenal mengenal dan cinta-mencintai. Tidak ada yang menghalangi arah tersebut kecuali tindakan agresi musuh-musuh-Nya dan musuh-musuh penganut agama ini. Adapun jika mereka itu bersikap damai, Islam sama sekali tidak berminat untuk melakukan permusuhan dan tidak juga berusaha melakukannya. Bahkan, walaupun dalam keadaan bermusuhan, Islam tetap memelihara dalam jiwa faktor-faktor keharmonisan hubungan, yakni kejujuran tingkah laku dan perlakuan yang adil, menanti datangnya waktu di aman lawan-lawannya dapat menerima kebijakan yang ditawarkannya sehingga mereka bergabung di bawah panji-panjinya. Islam sama sekali tidak berputus asa menanti hari di mana hati manusia akan menjadi jernih dan mengarah ke arah yang lurus itu.[6]
e.    Tafsîr al-Azhar
Sesungguhnya Allah suka kepada orang-orang yang berlaku adil.” (ujung ayat 8). Di dalam ayat ini terdapat kata muqsithiin yang di artikan berlaku adil. Sebenarnya arti dari qisthi lebih luas dari adil.
“Yang dilarang Allah kamu hanyalah terhadap orang-orang yang memerangi kamu dan mengusir kamu dari kampung halaman kamu.” (pangkal ayat 9). Artinya jika mereka yang beda agama dan keyakinan dengan kita sudah terang-terangan memusuhi kita dan memerangi kita, sudah sampai mengusir kita dari negeri kita sendiri “Dan mereka  bantu atas pengusiranmu itu”.
Artinya, meskipun mereka tidak ikut pergi memerangi kita namun mereka ikut memberikan bantuan misalnya bantuan berupa harta ataupun benda kepada yang memerangi Islam. “Bahwa kamu menjadikan mereka teman.” Tegasnya Allah melarang berteman kepada orang yang nyata-nyata memusuhi, memerangi kita , hendak mengusir, mengikis habis Islam dengan cara mengusir kita. “Dan barangsiapa yang berkawan dengan mereka, maka itulah orang-orang yang aniaya.” (ujung ayat 9). Orang yang membuat hubungan baik dengan musuh yang jelas-jelas memusuhi Islam, memerangi, dan bahkan sampai mengusir atau membantu pengusiran, maka jelaslah dia itu orang yang aniaya.[7]
B.  Asbabun Nuzul Qs. al-Mumtahanah : 8
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Qatilah (seorang kafir) datang kepada Asma' binti Abu Bakar anak kandungnya. Setelah itu Asma bertanya kepada rasulullah saw : bolehkah saya berbuat baik kepadanya? Rasulullah menjawab : ya boleh. Ayat ini turun berkenaan dengan pristiwa tersebut, yang menegaskan bahwa Allah tidak melarang berbuat baik kepada orang yang tidak memusuhi agama Allah.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Siti Qatilah, istri Abu Bakar yang telah diceraikan pada zaman jahiliyyah, datang kepada anaknya, Asma binti Abu Bakar membawa bingkisan. Asma menolak pemberian itu, bahkan ia tidak memperkenankan ibunya masuk ke dalam rumahnya. Setelah itu, ia mengutus seseorang kepada 'Aisyah (saudaranya) agar menanyakan hal itu kepada rasulullah saw. Maka rasulullah memerintahkan untuk menerimanya dengan baik serta menerima pula bingkisannya. Ayat ini turun berkenaan dengan pristiwa tersebut, yang menegaskan bahwa Allah tidak melarang berbuat baik kepada orang kafir yang tidak memusuhi agama Allah.[8]
C.  Orang yang Boleh diajak Kerjasama
Achmad Khudori dan Erik Sabti Rahmawati, dalam bukunya Kerjasama Umat Beragama dalam al-Qur'an : Perspektif Heurmenetika Farid Esack, mematok kriteria-kriteria tertentu dalam menentukan siapa saja yang boleh diajak kerjasama termasuk (berbuat baik) kepadanya. Yaitu sebagai berikut :
1.      Pihak non muslim yang diajak kerjasama adalah pihak-pihak yang sudah terikat perjanjian damai.
2.      Pihak yang diajak kerjasama bukanlah pihak-pihak yang membuat agama Islam menjadi bahan ejekan dan mempermainkan tanda-tanda dari Tuhan.
3.      Bukan orang yang mengingkari kebenaran.
4.      Bukan orang yang memerangi dan mengusir umat Islam.[9]
















KESIMPULAN
Dari penafsiran diatas dapat disimpulkan bahwa topik utama pembahasannya  menjalin hubungan baik dengan non muslim yang tidak memerangi dan mengusir kaum muslimin. Topik ini kemudian diulas dari dua sudut pandang. Pertama, ulasan dari sudut pandang hukum dengan pertanyaan, bagaimana hukum menjalin hubungan baik dengan non muslim yang tidak memerangi dan mengusir kaum muslimin. Kedua, dari sudut pandang asbāb al-nuzūl ayat.
Dari sudut pandang hukum fikih terjadi perbedaan pendapat antar ulama tentang hukum menjalin hubungan baik dengan non muslim yang tidak memerangi dan mengusir umat Islam. Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini dibatalkan (mansūkh). Sebagian lain berpendapat ayat ini tetap diberlakukan (muḥkam). Tetapi nampaknya mufassir lebih condong kepada pendapat kedua.
Ada dua riwayat mengenai turunya ayat ini, yang pertama mengenai kisahnya Asma yang ingin berbuat baik dengan orang Qatilah dan yang kedua kisahnya orang Qatilah yang ingin memberi bingkisan terhadap orang Qatilah, yang pada intinya keduannya dibolehkan oleh rasulullah.











DAFTAR PUSTAKA
al-Qarni, 'Aidh, Tafsir Muyassar, diterj Tim Qisthi Press, Jakarta: Qisthi Press, 2008.
al-Qurtubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur`an, Cairo: Dār al-Kutub al-Masriyyah, 1964.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004.
Ibn Katsir, Imaduddin Abul Fida' 'isma'il bin Umar, Tafsir Ibnu Katsir, ditahqiq oleh Abdullah bin Muhammad bin Muhammad bin Ishaq alu syaikh, diterj oleh M. Abdul Ghoffar dan Abul Ihsan al-Atsari, Bogor: Pustaka Imam Syafi'I, 2004.
Khudori, Achmad dan Erik Sabti Rahmawati, Kerjasama Umat Beragama dalam al-Qur'an : Perspektif Heurmenetika Farid Esack, Malang: UIN Maliki Press, 2011.
Shaleh dan A. Dahlan, Asbâbun Nuzûl : Latar Belakang Historis Turunya Ayat-ayat al-Qur'an, Bandung: Diponegoro, 2011.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati,2002.



[1] 'Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar, diterj Tim Qisthi Press, (Jakarta: Qisthi Press, 2008), cet ke-1, hlm 323.
[2] Imaduddin Abul Fida' 'isma'il bin Umar bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, ditahqiq oleh Abdullah bin Muhammad bin Muhammad bin Ishaq alu syaikh, diterj oleh M. Abdul Ghoffar dan Abul Ihsan al-Atsari, (Bogor: Pustaka Imam Syafi'I, 2004), hlm141-143.
[3] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur`an, (Cairo: Dār al-Kutub al-Masriyyah, 1964), hlm 59-60.
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati,2002), Vol.13, hlm 596-597.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, hlm 598.
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, hlm 599.
[7] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), Juz XXVIII, hlm 106 -107.
[8] Shaleh dan A. Dahlan, Asbâbun Nuzûl : Latar Belakang Historis Turunya Ayat-ayat al-Qur'an, (Bandung: Diponegoro, 2011), cet ke-10, hlm 563-564.
[9] Achmad Khudori dan Erik Sabti Rahmawati, Kerjasama Umat Beragama dalam al-Qur'an : Perspektif Heurmenetika Farid Esack,(Malang: UIN Maliki Press, 2011), hlm 135-138.

No comments:

Post a Comment