PENDAHULUAN
Saat ini, Islam
merupakan agama yang termasuk banyak penganutnya yang tersebar di seluruh
penjuru dunia termasuk Indonesia, baik itu di negara kafir maupun di negara
Islam itu sendiri. Hal ini menyebabkan kaum muslimin mau tidak mau pasti
berdampingan hidup dengan pemeluk agama lain, sehingga terjadilah banyak
hal-hal yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan seperti perbedaan
pendapat, kecemburuan sosial dan hal lainya yang pada akhirnya menyebabkan
permusuhan dan kebencian antar pemeluk agama.
Namun, dengan
adanya hal itu tidak menutup kesempatan untuk kita berbuat baik kepada orang
yang berbeda keyakinan, dengan syarat tidak memerangi Islam, dsb.
Dalam makalah
ini, penulis akan membahas penafsiran Surah al-Mumtahanah ayat 8-9 yang
berkaitan dengan " Islam tidak melarang berbuat baik terhadap orang
kafir" yang kemudian akan
dijelaskan dengan beberapa penafsiran yang dilengkapi dengan asbabun nuzulnya
serta dengan penyebutan kriteria-kriterianya.
PEMBAHASAN
A.
Tafsir Qs al-Mumtahanah : 8-9.
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ
الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ
دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ
وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ
تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ. (الممتحنة:
8-9).
Artinya
: Allah tidak
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya
Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang
memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang
lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim.
a.
Tafsîr Muyassar
Allah tidak
melarang kalian untuk menghormati orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian
karena kalian beragama Islam, juga orang-orang kafir yang tidak mengusir kalian
dari negeri kalian. Bahkan bergaulah dengan mereka secara adil dan baik karena
Allah menyukai orang yang adil dalam pergaulan dan hukum.
Ayat ini
menjelaskan adanya sikap pembedaan sikap dalam bergaul dengan orang-orang
kafir, antara yang memerangi Islam dan tidak.[1]
b.
Tafsîr Ibnu Katsîr
Allah swt
berfirman kepada hamba-hambaNya yang beriman setelah sebelumnya dia
memerintahkan kepada mereka untuk melancarkan permusuhan terhadap orang-orang
kafir. عسى
الله ان يجعل بينكم وبين الّذين عاديتم منهم مودّة)) "Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih saying antara kamu
dengan orang-orang yang kamu musuhi diantara mereka". Maksudnya adalah
kasih sayang setelah kebencian, kasih saying setelah permusuhan, dan kerukunan
setelah pertikaian. والله قدير)) "dan adalah Allah Mahakuasa".
Maksudnya, atas segala sesuatu yang dikehendaki-Nya, diantaranya menyatukan
beberapa hal yang saling bertentangan, berjauhan dan berbeda. Dia menyatukan
hati-hati manusia setelah sebelumnya penuh dengan permusuhan dan kebencian,
sehingga menjadi hati yang bersatu dan penuh kerukunan. Seorang penyair
mengungkapkan :
وقد يجمع الله الشتيتين بعد
ما يظنّان كلّ الظنّ أن لا تلاقيا
Dan Allah
pernah menyatukan dua orang yang sudah tercerai-berai, setelah sebelumnya
keduanya mengira bahwa keduanya tidak akan pernah bersatu.
Firman Allah
ta'ala : والله
غفور رحيم) ).
" Dan Allah Maha Pengampun dan Penyayang". Maksudnya, Dia akan
memberikan ampunan kepada orang-orang kafir akibat kekufuran yang telah mereka
perbuat, jika memang mereka benar-benar bertaubat kepada Rabb-nya dan
menyerahkan diri kepada Nya, karena Dia Maha Pengampun lagi Penyayang bagi
setiap orang yang bertaubat kepadaNya dari segala macam dosa.
firmanNya : ( ولا ينهاكم الله عن الّذين لم يقاتلوكم في الدّين ولم يخرجكم من
دياركم ) " Allah tidak
melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak
memerangimu karena agama dan tidak pula mengusirmu dari negerimu".maksudnya
mereka yang telah membantu mengusir kalian. Artinya, Allah tidak melarang
kalian berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian karena
agama, seperti kaum wanita dan orang-orang yang lemah diantara mereka. أن
تبرّوهم)) " untuk berbuat
baik kepada mereka". وتقسطوا اليهم ان الله
يحب المقسطين) ) "
serta berbuat adil terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang yang
berbuat adil.
Imam Ahmad
meriwayatkan dari Asma binti Abû Bakar ra, ia bercerita : ibuku pernah datang
kepadaku, sedang ia dalam keadaan musyrik. Pada waktu kaum Quraisy melakuka
perdamaina Hudaibiyyah. Lalu ku katakan : ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku
datang kepadaku dan berharap ia dapat bertemu denganku, apakah aku boleh
menyambung hubungan dengannya? Beliau menjawab : ya, sambunglah hubungan dengan
ibumu. Hr Bukhari dan Muslim.
Imam Ahmad juga
meriwayatkan, Arim memberitahu kami, 'Abdullah bin Mubârak memberitahukan kami,
Mush'ab bin Tsâbit memberitahukan kami, 'Amir bin Abdullah memberitahukan kami,
dari ayahnya, ia bercerita. Qutailah pernah datang menemui putrinya Asma binti 'Abû
Bakar dengan membawa daging biawak dan miyak samin sebagai hadiah, sedang ia
seorang wanita yang musyrik. Maka Asma pun menolak pemberiannya itu dan
memasukkan ibunya ke rumahnya. Kemudian 'Aisyah bertanya kepada nabi lalu Allah
menurunkan ayat : (ولا ينهاكم الله عن الّذين لم يقاتلوكم في
الدّين ولم يخرجكم من دياركم ) . Allah tidak
melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak
memerangimu karena agama dan tidak pula mengusirmu dari negerimu".
Kemudian Asma menerima pemberian ibunya itu dan mempersilahkanya masuk ke dalam
rumah.
Firman Allah
ta'ala : ان الله يحب المقسطين) ) sesungguhnya Allah menyukai orang
yang berlaku adil. Rasulullah saw bersabda المقسطون
على منابر من نور عن يمين العرش، الذين يعدلون في حكمهم وأهاليهم وما ولوأ, orang-orang
yang berbuat adil di sisi Allah pada hari kiamat kelak berada diatas
mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya disebelah kanan Arsy', yaitu orang-orang
yang berbuat adil dalam hukum, keluarga, dan semua yang berada di kekuasaan
mereka.[2]
c.
Tafsîr al-Qurthubi
Al-Qurtubi membagi penafsiran surat al-Mumtahanah ayat 8 ke dalam tiga pembahasan. Pertama, pembahasan fikih
terkait hukum menjalin hubungan baik dengan non muslim. Dalam pembahasan ini
pertama-tama ia menyampaikan pendapatnya bahwa ayat ini merupakan dalil
diperbolehkannya menjalin hubungan baik dengan non muslim yang tidak memusuhi
dan memerangi umat Islam.
Selanjutnya ia mengutip pendapat para ulama.
Menurut Ibnu Zaid hukum ini berlaku pada masa awal-awal Islam kemudian dihapus
(nasakh). Pendapat yang sama juga disampaikan Qatadah yang mengatakan
bahwa ayat ini dihapus dengan ayat:
فَاقْتُلُوا
الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ (التوبة: 5)
Pendapat lain mengatakan bahwa hukum ini
bertalian dengan sebab, yaitu adanya perjanjian damai. Ketika perjanjian damai
itu hilang dengan dibukanya kota Makkah, maka hukum ini dihapus. Ada yang
berpendapat, termasuk diantaranya al-Hasan, bahwa hukum ini hanya berlaku untuk
para sekutu dari kalangan non muslim yang terikat perjanjian damai dengan Nabi saw dan mereka tidak melanggar perjanjian
tersebut. Sementara al-Kalbi dan Abû Shâlih berpendapat bahwa yang dimaksud
ayat ini adalah Khuzâ’ah dan Bani al-Hârits bin 'Abdi Manâf. Pendapat 'Abû Shâlih
yang lain, yang dimaksud dengan ayat ini adalah hanya Khuzâ’ah saja. Menurut
Mujâhid, hukum ini hanya berlaku bagi orang-orang mu’min yang tidak turut
berhijrah ke Madinah. Ada pula yang berpendapat bahwa hukum ini hanya berlaku
bagi perempuan dan anak-anak. Sebab, merekalah orang-orang yang tidak turut
serta memerangi kaum muslimin, dan karenanya kaum muslimin diperbolehkan
berbuat baik kepada mereka.
Setelah menyampaikan perbedaan pendapat dengan
berbagai variannya, al-Qurtubi menyebutkan pendapat mainstream ulama tafsir. Menurut mayoritas ulama
tafsir, ayat ini tidak dihapus. Mereka mendasarkan pendapatnya pada kisah Asma`
binti 'Abû Bakar. Ia bertanya kepada Rasulullah saw, apakah boleh ia menjalin
hubungan baik dengan ibunya yang saat itu musyrik. Rasulullah saw menjawab, “iya”. Kisah ini
diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
Bahkan ada yang berpendapat bahwa ayat ini
turun berkaitan dengan kisah Asma` binti 'Abû Bakar tersebut. Amir bin Abdullah
bin Zubair menceritakan dari bapaknya bahwa Abû Bakar mecerai istrinya, Qutailah,
pada masa jahiliyah. Dan ia adalah ibu dari Asma` binti Abû Bakar. Semasa
terjadi gencatan senjata antara Rasulullah saw dan orang-orang kafir Quraisy,
Qutailah datang dengan membawa hadiah anting-anting dan hadiah lain untuk Asma’
putrinya. Asma’ tidak ingin menerima hadiah itu dari ibunya, hingga kemudian ia
datang kepada Rasulullah saw dan menceritakan hal tersebut
kepadanya. Lalu turunlah al-Mumtahanah ayat 8. Kisah ini dituturkan al-Mâwardi
dan lain-lain dalam tafsirnya serta diriwayatkan oleh Abû Daud al-Tayâlisi
dalam kitab Musnad-nya.
Pembahasan kedua terkait bahasa. Ada dua frasa
yang menjadi obyek tafsir bahasa al-Qurthubi pada ayat ini. Pertama frasa {أَنْ
تَبَرُّوهُمْ}. Menurutnya frasa ini berkedudukan jar sebagai badal dari {الَّذِينَ}.
Dengan demikian ayat tersebut bermakna demikian:
لا
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنْ أَنْ تَبَرُّوا الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ
Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik
kepada orang-orang yang tidak memerangimu
Yang dimaksud, “orang-orang yang tidak memerangimu”
adalah orang-orang Khuzâ’ah yang saat itu terikat perjanjian damai untuk tidak
memerangi atau membantu orang lain memerangi Rasulullah saw. Karena itu diperbolehkan
berbuat baik kepada mereka hingga batas waktu perjanjian. Pendapat ini
diceritakan al-Farra`.
Sub pembahasan kedua adalah makna {وَتُقْسِطُوا
إِلَيْهِم}. Makna frasa ini adalah, “memberikan
sebagian harta kepada mereka dalam konteks menjalin hubungan baik”, bukan
“berbuat adil”. Sebab berbuat adil adalah kewajiban, baik terhadap orang-orang
yang memerangi maupun yang tidak. Pendapat ini disampaikan Ibnu al-Arabi.
Pembahasan ketiga terkait bantahan al-Qurtubi
terhadap pengambilan kesimpulan yang salah dari ayat ini. Ia mengutip al-Qadli
Abû Bakar dalam al-Ahkām yang mengatakan bahwa berdasarkan ayat
ini sebagian orang berpendapat bahwa seorang muslim wajib memberikan nafkah
kepada orang tuanya yang non muslim. al-Qadli Abû Bakar menilai pendapat ini
adalah kesalahan besar. Sebab mengijinkan sesuatu atau tidak melarang sesuatu
bukan berarti mewajibkan. Mengijinakan atau tidak melarang hanya berimplikasi
memperbolehkan. Demikian al-Qadli Abû Bakar, sebagaiman dikutip al-Qurtubi,
memberikan alasan. Al-Qadli Abu Bakar menambahkan bahwa suatu hari Ismail bin
Ishaq al-Qadli kedatangan seorang dhimmi lalu ia muliakan. Sikap ini
mendapatkan protes dari orang-orang yang hadir. Lalu Ismail membacakan ayat
ini.[3]
d.
Tafsîr
al-Misbah
Perintah untuk
memusuhi kaum kafir (non-muslim) yang diuraikan oleh ayat-ayat yang lalu boleh
jadi menimbulkan kesan bahwa semua non-muslim harus dimusuhi. Untuk menampik
kesan keliru ini, ayat di atas menggariskan prinsip dasar hubungan interaksi
antara kaum muslimin dan non-muslim. Ayat di atas secara tegas menyebutkan nama
Yang Mahakuasa dengan menyatakan: Allah yang memerintahkan kamu bersikap
tegas terhadap orang kafir-walaupun keluarga kamu tidak melarang kamu menjalin
hubungan dan berbuat baik terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu
karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negeri kamu. Allah
tidak melarang kamu berbuat baik dalam bentuk apapun bagi mereka dan tidak
juga melarang kamu berlaku adil kepada mereka. Kalau demikian, jika
dalam interaksi sosial mereka berada di pihak yang benar, sedang salah seorang
dari kamu di pihak yang salah, kamu harus membela dan memenangkan mereka. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Allah tidak
lain hanya melarang kamu menyangkut orang-orang yang memerangi kamu dalam
agama dan mengusir kamu dari negeri kamu dan membantu orang lain dalam
pengusiran kamu-melarang kamu-untuk menjadikan mereka teman-teman akrab tempat
menyimpanan rahasia dan penolong-penolong yang kamu andalkan. Barang siapa yang
mengindahkan tuntutan ini, merekalah orang-orang yang beruntung dan
barangsiapa menjadikan mereka sebagai teman-teman akrab tempat menyimpan
rahasia maka mereka itulah yang sungguh jauh kebejatannya-merekalah tidak
selain mereka orang-orang zalim yang sungguh mantap kezalimannya.
Firman-Nya: (لم يقاتلوكم) lam
yuqatilukum/tidak memerangi kamu menggunakan bentuk mudhari’/present
tense. Ini dipahami sebagai bermakna “mereka secara faktual sedang
memerangi kamu”, sedang kata (في) fi yang berarti dalam mengandung
isyarat bahwa ketika itu mitra bicara bagaikan berada dalam wadah tersebut
sehingga tidak ada dari keadaan mereka yang berada dalam wadah tersebut sehingg
tidak ada dari keadaan mereka yang berada di luar wadah itu. Dengan kata (في الدّين) fi
ad-din/dalam agama tidak termasuklah peperangan yang disebabkan kepentingan
duniawi yang tidak ada hubungannya dengan agama, dan tidak termasuk pula
siapapun yang tidak secara faktual memerangi umat Islam-antara lain pada masa
Nabi, yakni suku ‘Khuza’ah demikian juga wanita-wanita, dan Ahl- adz-Dzimmah
(penduduk negeri dari Ahl al-Kitab yang membayar pajak). Berbuat baik terhadap
mereka adalah salah satu bentuk akhlak mulia.[4]
Kata (تبرّوهم) tabarruhum
terambil dari kata (برّ) birr yang berarti kebajikan yang
luas. Salah satu nama Allah swt. Adalah al-Bar. Ini karena demikian luas kebajikan-Nya. Dataran yang terhampar di
persada bumi ini dinamai bar karena luasnya. Dengan penggunaan kata
tersebut pad ayat di atas, tercermin izin untuk melakukan berbagai kebijakan
bagi non-muslim selama tidak membawa dampak negatif untuk umat Islam. Kata tuqsithu
terambil dari kata qisth yang berarti adil. Bisa juga ia
dipahami dalam arti bagian. Pakar tafsir dan hukum “Ibn ‘Arabi”,
memahaminya demikian dan atas dasar itu, menurutnya, ayat di atas menyatakan:
“Tidak melarang kamu member (se) bagian dari harta kamu kepada mereka.”
Rujuklah kepada QS. Al-Baqarah ayat 272 untuk memahami lebih banyak tentang
persoalan ini.
Al-Biqa’i
memahami penggunaan kata (إليهم) ilahim/ kepada
mereka yang dirangkaikan dengan kata (تقسطوا) tuqsithu itu
sebagai isyarat bahwa hal yang diperintahkan ini hendaknya diantar hingga
sampai kepada mereka. Hal itu mengisyartakan bahwa sikap yang
diperintahkan ini termasuk bagian dari hubungan yang diperintahkan dan hal itu
tidak berdampak negatif bagi umat Islam.[5]
Ayat di atas
berlaku umum kapan dan dimana saja. Sementara ulama bermaksud membatasi ayat
tersebut hanya ditunjukkan kepada kaum mjusyrik Mekkah, tetapi ulama-ulama
sejak masa Ibn Jarîr ath-Thabari telah membantahnya. Thahir Ibn ‘Asyur menulis
bahwa pada masa Nabi saw. sekian banyak suku musyrik yang justru bekerja sama
dengan Nabi saw. serta menginginkan kemenangan beliau menghadapi suku Quraisy
di Mekkah. Mereka itu
seperti Khuza’ah, Bani al-Kharits Ibn Ka’b, dan Muzainah.
Sayyid Qutub
berkomentar, ketika menafsirkan ayat di atas, bahwa Islam adalah agama damai
dan serta akidah cinta. Ia satu sistem yang bertujuan menaungi seluruh alam
dengan naungannya yang berupa kedamaian dan cinta itu dan bahwa semua manusia
dihimpun di bawah panji Ilahi dalam kedudukan sebagai saudara-saudara yang
saling kenal mengenal dan cinta-mencintai. Tidak ada yang menghalangi arah
tersebut kecuali tindakan agresi musuh-musuh-Nya dan musuh-musuh penganut agama
ini. Adapun jika mereka itu bersikap damai, Islam sama sekali tidak berminat
untuk melakukan permusuhan dan tidak juga berusaha melakukannya. Bahkan,
walaupun dalam keadaan bermusuhan, Islam tetap memelihara dalam jiwa
faktor-faktor keharmonisan hubungan, yakni kejujuran tingkah laku dan perlakuan
yang adil, menanti datangnya waktu di aman lawan-lawannya dapat menerima kebijakan
yang ditawarkannya sehingga mereka bergabung di bawah panji-panjinya. Islam
sama sekali tidak berputus asa menanti hari di mana hati manusia akan menjadi
jernih dan mengarah ke arah yang lurus itu.[6]
e.
Tafsîr al-Azhar
“Sesungguhnya
Allah suka kepada orang-orang yang berlaku adil.” (ujung ayat 8). Di dalam
ayat ini terdapat kata muqsithiin yang di artikan berlaku adil.
Sebenarnya arti dari qisthi lebih luas dari adil.
“Yang dilarang
Allah kamu hanyalah terhadap orang-orang yang memerangi kamu dan mengusir kamu
dari kampung halaman kamu.” (pangkal ayat 9). Artinya jika mereka yang beda
agama dan keyakinan dengan kita sudah terang-terangan memusuhi kita dan
memerangi kita, sudah sampai mengusir kita dari negeri kita sendiri “Dan
mereka bantu atas pengusiranmu itu”.
Artinya,
meskipun mereka tidak ikut pergi memerangi kita namun mereka ikut memberikan
bantuan misalnya bantuan berupa harta ataupun benda kepada yang memerangi
Islam. “Bahwa kamu menjadikan mereka teman.” Tegasnya Allah melarang
berteman kepada orang yang nyata-nyata memusuhi, memerangi kita , hendak
mengusir, mengikis habis Islam dengan cara mengusir kita. “Dan barangsiapa
yang berkawan dengan mereka, maka itulah orang-orang yang aniaya.” (ujung
ayat 9). Orang yang membuat hubungan baik dengan musuh yang jelas-jelas
memusuhi Islam, memerangi, dan bahkan sampai mengusir atau membantu pengusiran,
maka jelaslah dia itu orang yang aniaya.[7]
B.
Asbabun Nuzul Qs. al-Mumtahanah : 8
Dalam suatu
riwayat dikemukakan bahwa Qatilah (seorang kafir) datang kepada Asma' binti Abu
Bakar anak kandungnya. Setelah itu Asma bertanya kepada rasulullah saw :
bolehkah saya berbuat baik kepadanya? Rasulullah menjawab : ya boleh. Ayat ini
turun berkenaan dengan pristiwa tersebut, yang menegaskan bahwa Allah tidak
melarang berbuat baik kepada orang yang tidak memusuhi agama Allah.
Dalam riwayat
lain dikemukakan bahwa Siti Qatilah, istri Abu Bakar yang telah diceraikan pada
zaman jahiliyyah, datang kepada anaknya, Asma binti Abu Bakar membawa
bingkisan. Asma menolak pemberian itu, bahkan ia tidak memperkenankan ibunya
masuk ke dalam rumahnya. Setelah itu, ia mengutus seseorang kepada 'Aisyah
(saudaranya) agar menanyakan hal itu kepada rasulullah saw. Maka rasulullah
memerintahkan untuk menerimanya dengan baik serta menerima pula bingkisannya.
Ayat ini turun berkenaan dengan pristiwa tersebut, yang menegaskan bahwa Allah
tidak melarang berbuat baik kepada orang kafir yang tidak memusuhi agama Allah.[8]
C.
Orang yang Boleh diajak Kerjasama
Achmad Khudori
dan Erik Sabti Rahmawati, dalam bukunya Kerjasama Umat Beragama dalam al-Qur'an
: Perspektif Heurmenetika Farid Esack, mematok kriteria-kriteria tertentu dalam
menentukan siapa saja yang boleh diajak kerjasama termasuk (berbuat baik)
kepadanya. Yaitu sebagai berikut :
1.
Pihak non muslim yang diajak kerjasama adalah pihak-pihak yang
sudah terikat perjanjian damai.
2.
Pihak yang diajak kerjasama bukanlah pihak-pihak yang membuat agama
Islam menjadi bahan ejekan dan mempermainkan tanda-tanda dari Tuhan.
3.
Bukan orang yang mengingkari kebenaran.
4.
Bukan orang yang memerangi dan mengusir umat Islam.[9]
KESIMPULAN
Dari penafsiran diatas dapat disimpulkan bahwa topik
utama pembahasannya menjalin hubungan
baik dengan non muslim yang tidak memerangi dan mengusir kaum muslimin. Topik
ini kemudian diulas dari dua sudut pandang. Pertama,
ulasan dari sudut pandang hukum dengan pertanyaan, bagaimana hukum menjalin
hubungan baik dengan non muslim yang tidak memerangi dan mengusir kaum
muslimin. Kedua, dari
sudut pandang asbāb al-nuzūl ayat.
Dari sudut pandang hukum fikih terjadi
perbedaan pendapat antar ulama tentang hukum menjalin hubungan baik dengan non
muslim yang tidak memerangi dan mengusir umat Islam. Sebagian ulama berpendapat
bahwa ayat ini dibatalkan (mansūkh). Sebagian lain berpendapat ayat ini
tetap diberlakukan (muḥkam). Tetapi nampaknya mufassir lebih condong kepada pendapat kedua.
Ada dua riwayat mengenai turunya ayat ini, yang
pertama mengenai kisahnya Asma yang ingin berbuat baik dengan orang Qatilah dan
yang kedua kisahnya orang Qatilah yang ingin memberi bingkisan terhadap orang
Qatilah, yang pada intinya keduannya dibolehkan oleh rasulullah.
DAFTAR PUSTAKA
al-Qarni,
'Aidh, Tafsir Muyassar, diterj Tim Qisthi Press, Jakarta: Qisthi Press,
2008.
al-Qurtubi,
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur`an, Cairo: Dār
al-Kutub al-Masriyyah, 1964.
Hamka,
Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004.
Ibn
Katsir, Imaduddin Abul Fida' 'isma'il bin Umar, Tafsir Ibnu Katsir, ditahqiq
oleh Abdullah bin Muhammad bin Muhammad bin Ishaq alu syaikh, diterj oleh M.
Abdul Ghoffar dan Abul Ihsan al-Atsari, Bogor: Pustaka Imam Syafi'I, 2004.
Khudori,
Achmad dan Erik Sabti Rahmawati, Kerjasama Umat Beragama dalam al-Qur'an :
Perspektif Heurmenetika Farid Esack, Malang: UIN Maliki Press, 2011.
Shaleh
dan A. Dahlan, Asbâbun Nuzûl : Latar Belakang Historis Turunya Ayat-ayat al-Qur'an, Bandung: Diponegoro, 2011.
Shihab,
M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati,2002.
[1]
'Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar, diterj Tim Qisthi Press, (Jakarta:
Qisthi Press, 2008), cet ke-1, hlm 323.
[2]
Imaduddin Abul Fida' 'isma'il bin Umar bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, ditahqiq
oleh Abdullah bin Muhammad bin Muhammad bin Ishaq alu syaikh, diterj oleh M.
Abdul Ghoffar dan Abul Ihsan al-Atsari, (Bogor: Pustaka Imam Syafi'I, 2004),
hlm141-143.
[3] Abu
Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur`an,
(Cairo: Dār al-Kutub al-Masriyyah, 1964), hlm 59-60.
[4] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati,2002), Vol.13,
hlm 596-597.
[5] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, hlm 598.
[6] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, hlm 599.
[7]
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), Juz XXVIII,
hlm 106 -107.
[8]
Shaleh dan A. Dahlan, Asbâbun Nuzûl : Latar Belakang Historis Turunya
Ayat-ayat al-Qur'an, (Bandung: Diponegoro, 2011), cet ke-10, hlm
563-564.
[9]
Achmad Khudori dan Erik Sabti Rahmawati, Kerjasama Umat Beragama dalam
al-Qur'an : Perspektif Heurmenetika Farid Esack,(Malang: UIN Maliki Press,
2011), hlm 135-138.
No comments:
Post a Comment