PENDAHULUAN
Kehidupan
identik dengan kumpulan hukum-hukum agama. Hukum-hukum agama ini mengatur semua
unsur yang terdapat dalam kehidupan alam semesta. Relasi dan interaksi yang
mengikat di antara berbagai unsur dalam kehidupan alam, merupakan bukti adanya
keterikatan satu sama lain di antara mereka.
Manusia sebagai bagian dari unsur alam, dengan
segala kelebihan yang dimilikinya, di samping harus membangun relasi dengan
unsur-unsur di luarnya dirinya, ia juga melakukan interaksi dengan sesamanya.[1]
Pada saat itu,
setiap tingkah laku manusia akan diidentifikasikan dengan suatu nilai tertentu,
yaitu baik dan buruk, atau benar dan salah. Inilah yang dikenal dengan nilai-nilai
moral, etika, atau akhlak.
Oleh karena itu,
untuk bergaul dengan seseorang maka diperlukan moral atau etika yang baik jika
ingin mendapatkan respon yang baik juga.
Berangkat dari
permasalahan tersebut, selanjutnya dalam makalah ini penulis akan menjelaskan
tentang agama dan moralitas sosial dan yang berkaitan dengan keduanya.
PEMBAHASAN
A.
Definisi Agama dan Moralitas Sosial
Menurut para
sosiolog agama dipandang sebagai institusi yang mengemban tugas agar masyarakat
berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional maupun
mondial.[2]
Secara bahasa
moralitas diartikan sebagai kesusilaan atau kedisiplinan batin.[3]moralitas
juga disinonimkan dengan akhlak, budi pekerti, tabiat dan tingkah laku.[4]
Adapun secara
istilah moralitas diartikan dengan kualitas dalam perbuatan manusia yang
menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk yang mencakup
juga tentang pengertian tentang baik buruknya perbuatan manusia.[5]
Moralitas juga
bisa diartikan sebagai serangkaian aturan, kebiasaan atau prinsip yang mengatur
prilaku manusia dalam hubungannya dengan sesama atau suatu prilaku yang
mencerminkan keluhuran manusia.[6]
Adapun sosial
merupakan hal yang berkenaan dengan masyarakat atau hal-hal yang bersifat
kepentingan umum.[7]
Jadi, moralitas
sosial dengan demikian berarti tindakan-tindakan individu dan masyarakat yang
merujuk pada atau berdasarkan kebiasan-kebiasan atau nilai-nilai tertentu yang
telah disepakati bersama.
B.
Aspek
Moralitas Sosial
Pertama, Durkheim yakin bahwa moralitas adalah suatu
fakta sosial, dengan kata lain, bahwa moralitas dapat dipelajari secara
empiris, eksternal bagi individu, bersifat memaksa individu, dan dijelaskan
oleh fakta-fakta sosial yang lain. Hal itu berarti bahwa moralitas bukan
sesuatu yang dapat difilsafati orang,
tetapi sesuatu yang harus dipelajari sebagai suatu fenomena empiris. Hal itu
khususnya benar karena moralitas berhubungan erat dengan struktur sosial. Untuk
memahami moralitas suatu lembaga tertentu, anda terlebih dahulu harus
mempelajari cara lembaga itu dibentuk, cara ia menerima bentuknya yang
sekarang, bagaimana tempatnya di dalam struktur keseluruhan masyarakat,
bagaimana berbagai kewajiban kelembagaan dihubungkan dengan kebaikan sosial dan
seterusnya.
Kedua, Durkheim
adalah seorang sosiolog moralitas karena studi-studinya didorong oleh
perhatiannya kepada "kesehatan" moral masyarakat modern. Banyak sosiologi Durkheim dapat dilihat sebagai
produk sampingan perhatiannya kepada isu-isu moral. Sungguh, seorang kolega
Durkheim menulis di dalam tinjauan mengenai karya seumur hidup Durkheim bahwa
orang akan gagal memahami karya-karyanya jika tidak memperhitungkan fakta bahwa
moralitas adalah pusat dan objeknya.
Point kedua tersebut membutuhkan penjelasan yang lebih banyak jika
kita ingin mengerti perspektif Durkheim. Durkheim tidak menganggap bahwa
masyarakat telah menjadi atau sedang terancam menjadi, tidak bermoral. Hal itu
benar-benar mustahil karena moralitas bagi Durkheim disamakan dengan
masyarakat. Oleh karena itu masyarakat tidak mungkin tidak bermoral, tetapi
tentu saja ia ia dapat kehilangan kekuatan moralnya jika kepentingan kolektif
masyarakat menjadi sekedar jumlah total
kepentingan-kepentingan diri. Hanya pada tingkatan moralitas bahwa adalah fakta
sosial maka ia dapat memaksakan kewajiban kepada para individu yang
menggantikan kepentingan diri mereka. Akibatnya, Durkheim percaya bahwa
masyarakat membutuhkan suatu moralitas umum yang kuat. Seperti apa seharusnya
masyarakat kurang mendapat perhatiannya.[8]
C.
Sumber Moralitas Sosial
Moralitas
suatu masyarakat (moralitas sosial) bisa bersumber atau didasarkan pada nalar
sosial, pikiran paraktis untuk tidak menyakiti pihak lain, dan logika
atau akal sehat. Sehingga secara ekstrem ada orang yang mengatakan bahwa
tanpa agamapun manusia bisa mengembangkan perilaku-perilaku yang moralis.
Bahkan kadang-kadang ditemukan kenyataan adanya orang yang secara moral
dianggap baik, tetapi tidak taat dalam menjalankan ajaran agama. Dalam
masyarakat kadang-kadang muncul ungkapan ekstrem yang lain misalnya “ngapain
shalat, kalau kelakuaknnya bejat”. Ungkapan itu memperlihatkan adanya orang
yang “saleh secara individual, tetapi tidak saleh secara sosial”.[9]
Masih
adanya pandangan yang dikotomi: “saleh secara individual (ritual), tapi tidak
saleh secara sosial”, “saleh secara sosial, tetapi tidak saleh secara
individual (ritual)”.
Berdasarkan
nalar sosial kehidupan suatu masyarakat dapat berjalan dengan baik, meskipun
masyarakat itu tidak menganut suatu agama tertentu, tetapi nalar sosial akan
sangat baik apabila perilaku moral tersebut didasarkan pada agama, karena
manusia pada dasarnya adalah makhluk Tuhan.
Ketika
seseorang melakukan suatu peribadatan, apa sesungguhnya yang terpikir di dalam
benaknya? Apakah ketika itu ia hanya semata-mata sedang melakukan atau
menunaikan kewajiban atau tugas vertikalnya (ibadah kepada Allah)? Atau
memposisikan bahwa ibadah vertikalnya itu merupakan prasyarat yang harus dipenuhi
dalam rangka melakukan dan menunaikan tugas horizontal dan sosialnya, sehingga
dapat dikatakan sebagai seorang hamba yang baik.[10]
D. Moralitas Sosial Sebagai Pembangunan
Dalam agama
Islam moralitas sosial include dengan istilah al-Ihsan yang makna semulanya
berarti kesenangan dan kemurahan kepada orang lain, disamping itu juga bermakna
al-Itqan yang berarti kerja dengan intensif, namun al-Ihsan mempunyai arti yang
lebih luas lagi, seperti yang dijelaskan oleh Syekh Afif Thabarah, bahwa kata
al-Ihsan mencakup segala perbuatan yang baik, semua interaksi manusia dengan
Tuhannya atau antara manusia dengan manusia maupun lingkungannya yang dapat
mengangkat dan meningkatkan martabat dan kedudukan kemanusiannya serta
mengembangkan kualitas dirinya.[11]
Al-Ihsan
sebagai aspek esoteris dalam Islam memberikan nilai-nilai dasar yang kuat dalam
mempengaruhi pandangan dan sikap hidup umatnya
dan pada giliran selanjutnya memberi motivasi berupaya dan bertindak
untuk mencapai tujuan-tujuan hidupnya sebagai individu maupun kolektif serta
memberikan kontribusi besar dalam pembangunan bangsa.[12]
E. Moralitas Perintah Agama
Dalam
perspektif berbagai agama, pedoman untuk hidup berdasarkan moral agama
dirumuskan dalam bentuk perintah-perintah agama. Dari segi asal-usulnya,
perintah agama itu ada yang diambil dari Kitab Suci, ada yang dikembangkan dari
pemikiran tokoh-tokoh keagamaan yang terkemuka, ada juga yang lahir dari
praktik penghayatan iman umat yang terkumpul dalam tradisi, dan ada juga yang
muncul karena menghadapi masalah hidup baru.
Jika dilihat
dari segi isinya, perintah agama ada yang bersifat umum, berlaku bagi semua
orang dan masyarakat, berlaku juga bagi orang yang tak menjadi penganut agama
apapun. Misalnya larangan untuk mencuri, menipu, membunuh atau perintah
menghormati orang tua. Ada juga yang khusus yang hanya berlaku bagi penganut
agama yang bersangkutan, misalnya larangan memakan makanan dan minuman
tertentu.
Dilihat dari
lingkup berlakunya, ada perintah agama yang berlaku dalam hidup pribadi,
ada perintah agama yang berlaku bagi penganut agama dalam hubungan antara
mereka, dengan umat kelompok agama lain, dengan masyarakat luas, dan dengan
negara.
Dilihat dari bidangnya,
ada perintah agama di bidang ibadat, upacara dan praktek keagamaan, ada
perintah dalam hidup pribadi, keluarga, dan masyarakat, dan ada perintah agama
yang menyangkut kehidupan bernegara dan pergaulan antar negara.[13]
F.
Tujuan Moral
Secara umum,
keberadaan moral pada seseorang bertujuan untuk Menumbuhkan sikap dan tekad
kemandirian manusia dan masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas serta
sumber daya manusia untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin yang lebih
selaras, adil dan merata.[14]
Sedangkan
menurut agama Islam, tujuan keberadaan moral terbagi menjadi dua, yaitu tujuan
moral vertikal dan tujuan moral horizontal.
Pertama, Tujuan Moral Vertikal atau
sasaran yang akan dicapai dalam hubungan antara seorang muslim dan Tuhannya,
dengan perjuangan, usaha-usahanya dan ibadah yang ia lakukan, selama dia masih
bernafas ialah "râdiatan mardiah", maksudnya yaitu perilaku seorang
muslim, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun kata hati (niat) dan
gerak-gerinya diridhai oleh Allah dalam arti disenangi, direstui, disetujui,
dan dicintai oleh Allah.
Kedua, Tujuan Moral Horizontal atau
sasaran yang akan dicapai dalam interaksi seorang muslim dengan makhluk
ialah "rahmatan lil 'alamîn".
Dalam hal ini interaksi antara seorang muslim dan dirinya sendiri, antar sesama
muslim, antara seorang muslim dengan non muslim, antara seorang muslim dan
keluarganya, lingkungan, masyarakat, bangsa dan negaranya, antara sesama
masyarakat muslim dan masyarakat dan negara non muslim, serta dengan perilaku
seorang muslim terhadap flora, fauna, benda-benda alam dan makhluk
lainnya. Tujuan moral muslim dalam semua
hubungan ini adalah "rahmatan lil 'alamîn", maksudnya ialah bahwa
perilaku seorang muslim itu baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun
gerak-geriknya memberikan manfaat, faedah, keuntungan dan kebaikan bagi segenap
alam yang terdiri dari manusia, flora, fauna, benda-benda alam, manusia, flora,
dan makhluk lainnya, bukan sebaliknya mengakibatkan kerusakan, kerugian, bahaya
dan malapetaka bagi segenap alam.[15]
G. Nilai-nilai Moral
Pengamalan atau
pemilikan bersama kepercayaan-kepercayaan dan ritus-ritus menunjukkan bahwa
hubungan antara anggota-anggota kelompok dengan hal-hal yang sakral dalam
beberapa hal erat sekali hubungannya dengan nilai-nilai moral kelompok
tersebut.
Hubungan
tersebut tampak jelas dalam sikap para anggota kelompok pemeluk agama tertentu
misalnya, perihal memantang makanan tertentu atau tidak menyembelih binatang
tertentu. Menurut Ghandi pemujaan terhadap lembu adalah nilai keagamaan yang
dimiliki bersama oleh seluruh penganut Hindu. Dengan demikian lembu merupakan
suatu hal yang sakral bagi umat Hindu dan keharusan untuk tidak memakan
dagingnya adalah nilai-nilai moral yang bersumber pada fakta tersebut, dan hal
itu membantu mempersatukan para pemeluk agama Hindu serta membedakan mereka
dengan orang-orang Muslim dan Yahudi yang makan daging sapi dan tidak makan
daging babi. Ketentuan-ketentuan tentang makanan yang terlarang bagi orang-orang
Yahudi yang diyakini sebagai perintah Tuhan Yahweh sendiri, adalah suatu contoh
klasik nilai-nilai moral suatu kelompok tertentu yang dapat ditelusuri secara
langsung pada kepercayaan yang bersumber pada ketetapan Tuhan dan pada
pelaksanaannya yang terus-menerus sebagai perekat paling kuat terhadap keutuhan
masyarakat moral.
Dari dari dua
kasus yang disebutkan tadi, hubungan antara nilai-nilai moral kelompok yang
dipakai bersama dengan perintah-perintah Tuhan atau dewa-dewa yang ada di alam
gaib sangat jelas. Kenyataan menunjukkan bahwa keanekaragaman adat kebiasaan
pada kelompok manapun jika dianalisa dengan seksama sangat boleh jadi timbul
dari (keanekaragaman) konsepsi kelompok tersebut mengenai hubungannya dengan
yang sakral, atau dengan kata lain, adat kebiasaan (moral) berasal dari suatu
agama.[16]
Hubungan antara
konsepsi masyarakat tentang yang sakral dan nilai-nilai moral kelompok bisa
dijelaskan dengan cara lain. Jenis hubungan-hubungan yang oleh kelompok tertentu
dipercayai adanya di antara makhluk-makhluk sakral di alam gaib, dan juga
diantara makhluk-makhluk tersebut dengan umat manusia sering dianggap sebagai
pola ideal dari hubungan sesama manusia yang seharusnya ada dalam masyarakat
itu sendiri. Sebagai contoh, masyarakat pengembala domba mungkin menggambarkan
Tuhan mereka sebagai pengembala yang baik, dan bagi mereka kesetiaan pengembala
kepada dombanya pada saat yang sama menjadi pola dasar (prototipe) hubungan
Tuhan dengan mereka, yaitu para penyembah-Nya, dan juga merupakan model ideal
bagi hubungan sesama mereka sendiri. Dalam kasus ini maknanya bagi moral
manusia tampak jelas, masalah penting dalam hubungan ini bukan apakah manusia
menciptakan dewa-dewanya menurut khayalannya sendiri, tetapi adakah persesuaian
antara nilai-nilai moral yang diterapkan kepada umat manusia para penyembah
mereka. Nilai-nilai moral yang diperlakukan pada para penghuni alam gaib itu
jelas memberi pengakuan yang sakral terhadap nilai-nilai moral bagi manusia di
dunia nyata.
Secara ringkas,
telah terlihat unsur-unsur penting agama yang terdiri dari ide tentang yang
sakral, sikap-sikap yang dituntun oleh perasaan yang berhubungan dengan sakral,
kepercayaan-kepercayaan dan pengamalan-pengamalan yang mengekspresikan dan
memperkuat sikap-sikap ini dan akhirnya pemilikan dan pelaksanaan bersama
kepercayaan-kepercayaan dan pengamalan-pengamalan oleh kelompok pemeluk dalam
masyarakat yang ditandai oleh nilai-nilai moral yang sama.
Intinya,
ketaatan terhadap nilai-nilai moral berfungsi menyatukan kelompok pemeluk agama
masing-masing ke dalam suatu masyarakat sosial.[17]
PENUTUP
Agama dam
moralitas sosial merupakan pilar yang sangat penting bagi teguh, tegak serta
kokohnya suatu masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu dua pilar
tersebut perlu dicerna dan dicermati dengan arif oleh setiap manusia.
Sejatinya,
kejayaan, kemajuan serta kesuksesan masyarakat, bangsa dan negara dapat
terlihat, selama agama dan moral tidak menghilang dalam kehidupan setiap
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Amien, M.
Masyhur, Moralitas Pembangunan Perspektif Agama-agama di Indonesia, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 1994.
Hardjana, Penghayatan
Agama yang Otentik & Tidak Otentik, Yogyakarta : Kanisius, 1993.
Hendropuspito, Sosiologi
Agama, Yogyakarta : Kanisius, 1983.
Musthofa, A., Akhlak
Tasawwuf, Bandung : Pustaka Setia, 2010.
Nainggolan, Z.S,
Pandangan Cendekiawan Muslim tentang Moral Pancasila, Moral Barat dan Moral
Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 1997.
Nottingham, Elizabeth
K., Agama dan Masyarakat : Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta :
Raja Graffindo Persada, 2002.
Poespoprodjo, W.,
Filsafat Moral : Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung : Pustaka
Grafika, 1999.
Rajasa, Sutan, Kamus
Populer Ilmiah, Surabaya : Karya Utama, tth.
Ritzer, George,
Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern, diterj Saut Pasaribu, dkk, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012.
Shelton, Charles
M., Moralitas Kaum Muda : Bagaimana menanamkan Tanggung Jawab Kristiani, diterj
oleh Rudiyanto, Yogyakarta : Kanisius, 1987.
Sudrajat, Ajat,
Agama dan Moralitas Sosial, Yogyakarta : UNY, tth
_______, Ajat, Membangun
Kultur Akhlak Mulia di Kalangan Siswa Sekolah Dasar dan Menengah di Indonesia, Yogyakarta
: UNY, tth.
_______, Ajat, Pendidikan
Moral dalam Perspektif Islam, Yogyakarta : UNY, tth.
Tim Penyusun
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta :
Balai Pustaka, 1989.
[1] Ajat Sudrajat,
Pendidikan Moral dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta : UNY, tth), hlm 3.
[2] Hendropuspito,
Sosiologi Agama, (Yogyakarta : Kanisius, 1983), hlm 29.
[3] Sutan Rajasa, Kamus
Populer Ilmiah, (Surabaya : Karya Utama, tth), hlm 401.
[4] A. Musthofa, Akhlak
Tasawwuf, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), cet ke-5, hlm 11. Lihat juga
Ajat Sudrajat, Membangun Kultur Akhlak Mulia di Kalangan Siswa Sekolah Dasar
dan Menengah di Indonesia, (Yogyakarta : UNY, tth), hlm 3.
[5] W.
Poespoprodjo, Filsafat Moral : Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, (Bandung
: Pustaka Grafika, 1999), cet ke-1, hlm 119.
[6] Charles M.
Shelton, Moralitas Kaum Muda : Bagaimana menanamkan Tanggung Jawab
Kristiani, diterj oleh Rudiyanto, (Yogyakarta : Kanisius, 1987), hlm 11.
[7] Tim Penyusun
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta :
Balai Pustaka, 1989), cet ke-2, hlm 855.
[8] George Ritzer,
Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern, diterj Saut Pasaribu, dkk, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2012), cet ke-8, hlm 136-137.
[9] Ajat Sudrajat,
Agama dan Moralitas Sosial, (Yogyakarta : UNY, tth), hlm 4.
[10] Ajat Sudrajat,
Agama dan Moralitas Sosial, hlm 5-6.
[11] M. Masyhur
Amien, Moralitas Pembangunan Perspektif Agama-agama di Indonesia, (Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 1994), cet ke-1, hlm 24.
[12] M. Masyhur
Amien, Moralitas Pembangunan Perspektif Agama-agama di Indonesia, hlm
28.
[13] Hardjana, Penghayatan
Agama yang Otentik & Tidak Otentik, (Yogyakarta : Kanisius, 1993), hlm
86.
[14] Z.S
Nainggolan, Pandangan Cendekiawan Muslim tentang Moral Pancasila, Moral
Barat dan Moral Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1997), cet ke-1, hlm 202.
[15] Z.S
Nainggolan, Pandangan Cendekiawan Muslim tentang Moral Pancasila, Moral
Barat dan Moral Islam, hlm 58-60.
[16] Elizabeth K.
Nottingham, Agama dan Masyarakat : Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta
: Raja Graffindo Persada, 2002), cet ke-8, hlm 15-16.
[17] Elizabeth K.
Nottingham, Agama dan Masyarakat : Suatu Pengantar Sosiologi Agama, hlm
17-20.
No comments:
Post a Comment