Monday, September 28, 2015

Agama dan Moralitas Sosial



PENDAHULUAN
Kehidupan identik dengan kumpulan hukum-hukum agama. Hukum-hukum agama ini mengatur semua unsur yang terdapat dalam kehidupan alam semesta. Relasi dan interaksi yang mengikat di antara berbagai unsur dalam kehidupan alam, merupakan bukti adanya keterikatan satu sama lain di antara mereka.
 Manusia sebagai bagian dari unsur alam, dengan segala kelebihan yang dimilikinya, di samping harus membangun relasi dengan unsur-unsur di luarnya dirinya, ia juga melakukan interaksi dengan sesamanya.[1]
Pada saat itu, setiap tingkah laku manusia akan diidentifikasikan dengan suatu nilai tertentu, yaitu baik dan buruk, atau benar dan salah. Inilah yang dikenal dengan nilai-nilai moral, etika, atau akhlak.
Oleh karena itu, untuk bergaul dengan seseorang maka diperlukan moral atau etika yang baik jika ingin mendapatkan respon yang baik juga.
Berangkat dari permasalahan tersebut, selanjutnya dalam makalah ini penulis akan menjelaskan tentang agama dan moralitas sosial dan yang berkaitan dengan keduanya.









PEMBAHASAN
A.  Definisi Agama dan Moralitas Sosial
Menurut para sosiolog agama dipandang sebagai institusi yang mengemban tugas agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional maupun mondial.[2]
Secara bahasa moralitas diartikan sebagai kesusilaan atau kedisiplinan batin.[3]moralitas juga disinonimkan dengan akhlak, budi pekerti, tabiat dan tingkah laku.[4]
Adapun secara istilah moralitas diartikan dengan kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk yang mencakup juga tentang pengertian tentang baik buruknya perbuatan manusia.[5]
Moralitas juga bisa diartikan sebagai serangkaian aturan, kebiasaan atau prinsip yang mengatur prilaku manusia dalam hubungannya dengan sesama atau suatu prilaku yang mencerminkan keluhuran manusia.[6]
Adapun sosial merupakan hal yang berkenaan dengan masyarakat atau hal-hal yang bersifat kepentingan umum.[7]
Jadi, moralitas sosial dengan demikian berarti tindakan-tindakan individu dan masyarakat yang merujuk pada atau berdasarkan kebiasan-kebiasan atau nilai-nilai tertentu yang telah disepakati bersama.


B.  Aspek Moralitas Sosial
Pertama,  Durkheim yakin bahwa moralitas adalah suatu fakta sosial, dengan kata lain, bahwa moralitas dapat dipelajari secara empiris, eksternal bagi individu, bersifat memaksa individu, dan dijelaskan oleh fakta-fakta sosial yang lain. Hal itu berarti bahwa moralitas bukan sesuatu yang dapat difilsafati  orang, tetapi sesuatu yang harus dipelajari sebagai suatu fenomena empiris. Hal itu khususnya benar karena moralitas berhubungan erat dengan struktur sosial. Untuk memahami moralitas suatu lembaga tertentu, anda terlebih dahulu harus mempelajari cara lembaga itu dibentuk, cara ia menerima bentuknya yang sekarang, bagaimana tempatnya di dalam struktur keseluruhan masyarakat, bagaimana berbagai kewajiban kelembagaan dihubungkan dengan kebaikan sosial dan seterusnya.
Kedua, Durkheim adalah seorang sosiolog moralitas karena studi-studinya didorong oleh perhatiannya kepada "kesehatan" moral masyarakat modern.  Banyak sosiologi Durkheim dapat dilihat sebagai produk sampingan perhatiannya kepada isu-isu moral. Sungguh, seorang kolega Durkheim menulis di dalam tinjauan mengenai karya seumur hidup Durkheim bahwa orang akan gagal memahami karya-karyanya jika tidak memperhitungkan fakta bahwa moralitas adalah pusat dan objeknya.
Point kedua tersebut membutuhkan penjelasan yang lebih banyak jika kita ingin mengerti perspektif Durkheim. Durkheim tidak menganggap bahwa masyarakat telah menjadi atau sedang terancam menjadi, tidak bermoral. Hal itu benar-benar mustahil karena moralitas bagi Durkheim disamakan dengan masyarakat. Oleh karena itu masyarakat tidak mungkin tidak bermoral, tetapi tentu saja ia ia dapat kehilangan kekuatan moralnya jika kepentingan kolektif masyarakat  menjadi sekedar jumlah total kepentingan-kepentingan diri. Hanya pada tingkatan moralitas bahwa adalah fakta sosial maka ia dapat memaksakan kewajiban kepada para individu yang menggantikan kepentingan diri mereka. Akibatnya, Durkheim percaya bahwa masyarakat membutuhkan suatu moralitas umum yang kuat. Seperti apa seharusnya masyarakat kurang mendapat perhatiannya.[8]
C.  Sumber Moralitas Sosial
Moralitas suatu masyarakat (moralitas sosial) bisa bersumber atau didasarkan pada nalar sosial, pikiran paraktis untuk tidak menyakiti pihak lain, dan logika atau akal sehat. Sehingga secara ekstrem ada orang yang mengatakan bahwa tanpa agamapun manusia bisa mengembangkan perilaku-perilaku yang moralis. Bahkan kadang-kadang ditemukan kenyataan adanya orang yang secara moral dianggap baik, tetapi tidak taat dalam menjalankan ajaran agama. Dalam masyarakat kadang-kadang muncul ungkapan ekstrem yang lain misalnya “ngapain shalat, kalau kelakuaknnya bejat”. Ungkapan itu memperlihatkan adanya orang yang “saleh secara individual, tetapi tidak saleh secara sosial”.[9]
Masih adanya pandangan yang dikotomi: “saleh secara individual (ritual), tapi tidak saleh secara sosial”, “saleh secara sosial, tetapi tidak saleh secara individual (ritual)”.
Berdasarkan nalar sosial kehidupan suatu masyarakat dapat berjalan dengan baik, meskipun masyarakat itu tidak menganut suatu agama tertentu, tetapi nalar sosial akan sangat baik apabila perilaku moral tersebut didasarkan pada agama, karena manusia pada dasarnya adalah makhluk Tuhan.
Ketika seseorang melakukan suatu peribadatan, apa sesungguhnya yang terpikir di dalam benaknya? Apakah ketika itu ia hanya semata-mata sedang melakukan atau menunaikan kewajiban atau tugas vertikalnya (ibadah kepada Allah)? Atau memposisikan bahwa ibadah vertikalnya itu merupakan prasyarat yang harus dipenuhi dalam rangka melakukan dan menunaikan tugas horizontal dan sosialnya, sehingga dapat dikatakan sebagai seorang hamba yang baik.[10]



D.  Moralitas Sosial Sebagai Pembangunan
Dalam agama Islam moralitas sosial include dengan istilah al-Ihsan yang makna semulanya berarti kesenangan dan kemurahan kepada orang lain, disamping itu juga bermakna al-Itqan yang berarti kerja dengan intensif, namun al-Ihsan mempunyai arti yang lebih luas lagi, seperti yang dijelaskan oleh Syekh Afif Thabarah, bahwa kata al-Ihsan mencakup segala perbuatan yang baik, semua interaksi manusia dengan Tuhannya atau antara manusia dengan manusia maupun lingkungannya yang dapat mengangkat dan meningkatkan martabat dan kedudukan kemanusiannya serta mengembangkan kualitas dirinya.[11]
Al-Ihsan sebagai aspek esoteris dalam Islam memberikan nilai-nilai dasar yang kuat dalam mempengaruhi pandangan dan sikap hidup umatnya  dan pada giliran selanjutnya memberi motivasi berupaya dan bertindak untuk mencapai tujuan-tujuan hidupnya sebagai individu maupun kolektif serta memberikan kontribusi besar dalam pembangunan bangsa.[12]
E.  Moralitas Perintah Agama
Dalam perspektif berbagai agama, pedoman untuk hidup berdasarkan moral agama dirumuskan dalam bentuk perintah-perintah agama. Dari segi asal-usulnya, perintah agama itu ada yang diambil dari Kitab Suci, ada yang dikembangkan dari pemikiran tokoh-tokoh keagamaan yang terkemuka, ada juga yang lahir dari praktik penghayatan iman umat yang terkumpul dalam tradisi, dan ada juga yang muncul karena menghadapi masalah hidup baru.
Jika dilihat dari segi isinya, perintah agama ada yang bersifat umum, berlaku bagi semua orang dan masyarakat, berlaku juga bagi orang yang tak menjadi penganut agama apapun. Misalnya larangan untuk mencuri, menipu, membunuh atau perintah menghormati orang tua. Ada juga yang khusus yang hanya berlaku bagi penganut agama yang bersangkutan, misalnya larangan memakan makanan dan minuman tertentu.
Dilihat dari lingkup berlakunya, ada perintah agama yang berlaku dalam hidup pribadi, ada perintah agama yang berlaku bagi penganut agama dalam hubungan antara mereka, dengan umat kelompok agama lain, dengan masyarakat luas, dan dengan negara.
Dilihat dari bidangnya, ada perintah agama di bidang ibadat, upacara dan praktek keagamaan, ada perintah dalam hidup pribadi, keluarga, dan masyarakat, dan ada perintah agama yang menyangkut kehidupan bernegara dan pergaulan antar negara.[13]
F.   Tujuan Moral
Secara umum, keberadaan moral pada seseorang bertujuan untuk Menumbuhkan sikap dan tekad kemandirian manusia dan masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas serta sumber daya manusia untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin yang lebih selaras, adil dan merata.[14]
Sedangkan menurut agama Islam, tujuan keberadaan moral terbagi menjadi dua, yaitu tujuan moral vertikal dan tujuan moral horizontal.
Pertama, Tujuan Moral Vertikal atau sasaran yang akan dicapai dalam hubungan antara seorang muslim dan Tuhannya, dengan perjuangan, usaha-usahanya dan ibadah yang ia lakukan, selama dia masih bernafas ialah "râdiatan mardiah", maksudnya yaitu perilaku seorang muslim, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun kata hati (niat) dan gerak-gerinya diridhai oleh Allah dalam arti disenangi, direstui, disetujui, dan dicintai oleh Allah.
Kedua, Tujuan Moral Horizontal atau sasaran yang akan dicapai dalam interaksi seorang muslim dengan makhluk ialah  "rahmatan lil 'alamîn". Dalam hal ini interaksi antara seorang muslim dan dirinya sendiri, antar sesama muslim, antara seorang muslim dengan non muslim, antara seorang muslim dan keluarganya, lingkungan, masyarakat, bangsa dan negaranya, antara sesama masyarakat muslim dan masyarakat dan negara non muslim, serta dengan perilaku seorang muslim terhadap flora, fauna, benda-benda alam dan makhluk lainnya.  Tujuan moral muslim dalam semua hubungan ini adalah "rahmatan lil 'alamîn", maksudnya ialah bahwa perilaku seorang muslim itu baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun gerak-geriknya memberikan manfaat, faedah, keuntungan dan kebaikan bagi segenap alam yang terdiri dari manusia, flora, fauna, benda-benda alam, manusia, flora, dan makhluk lainnya, bukan sebaliknya mengakibatkan kerusakan, kerugian, bahaya dan malapetaka bagi segenap alam.[15]  
G. Nilai-nilai Moral
Pengamalan atau pemilikan bersama kepercayaan-kepercayaan dan ritus-ritus menunjukkan bahwa hubungan antara anggota-anggota kelompok dengan hal-hal yang sakral dalam beberapa hal erat sekali hubungannya dengan nilai-nilai moral kelompok tersebut.
Hubungan tersebut tampak jelas dalam sikap para anggota kelompok pemeluk agama tertentu misalnya, perihal memantang makanan tertentu atau tidak menyembelih binatang tertentu. Menurut Ghandi pemujaan terhadap lembu adalah nilai keagamaan yang dimiliki bersama oleh seluruh penganut Hindu. Dengan demikian lembu merupakan suatu hal yang sakral bagi umat Hindu dan keharusan untuk tidak memakan dagingnya adalah nilai-nilai moral yang bersumber pada fakta tersebut, dan hal itu membantu mempersatukan para pemeluk agama Hindu serta membedakan mereka dengan orang-orang Muslim dan Yahudi yang makan daging sapi dan tidak makan daging babi. Ketentuan-ketentuan tentang makanan yang terlarang bagi orang-orang Yahudi yang diyakini sebagai perintah Tuhan Yahweh sendiri, adalah suatu contoh klasik nilai-nilai moral suatu kelompok tertentu yang dapat ditelusuri secara langsung pada kepercayaan yang bersumber pada ketetapan Tuhan dan pada pelaksanaannya yang terus-menerus sebagai perekat paling kuat terhadap keutuhan masyarakat moral.
Dari dari dua kasus yang disebutkan tadi, hubungan antara nilai-nilai moral kelompok yang dipakai bersama dengan perintah-perintah Tuhan atau dewa-dewa yang ada di alam gaib sangat jelas. Kenyataan menunjukkan bahwa keanekaragaman adat kebiasaan pada kelompok manapun jika dianalisa dengan seksama sangat boleh jadi timbul dari (keanekaragaman) konsepsi kelompok tersebut mengenai hubungannya dengan yang sakral, atau dengan kata lain, adat kebiasaan (moral) berasal dari suatu agama.[16]
Hubungan antara konsepsi masyarakat tentang yang sakral dan nilai-nilai moral kelompok bisa dijelaskan dengan cara lain. Jenis hubungan-hubungan yang oleh kelompok tertentu dipercayai adanya di antara makhluk-makhluk sakral di alam gaib, dan juga diantara makhluk-makhluk tersebut dengan umat manusia sering dianggap sebagai pola ideal dari hubungan sesama manusia yang seharusnya ada dalam masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh, masyarakat pengembala domba mungkin menggambarkan Tuhan mereka sebagai pengembala yang baik, dan bagi mereka kesetiaan pengembala kepada dombanya pada saat yang sama menjadi pola dasar (prototipe) hubungan Tuhan dengan mereka, yaitu para penyembah-Nya, dan juga merupakan model ideal bagi hubungan sesama mereka sendiri. Dalam kasus ini maknanya bagi moral manusia tampak jelas, masalah penting dalam hubungan ini bukan apakah manusia menciptakan dewa-dewanya menurut khayalannya sendiri, tetapi adakah persesuaian antara nilai-nilai moral yang diterapkan kepada umat manusia para penyembah mereka. Nilai-nilai moral yang diperlakukan pada para penghuni alam gaib itu jelas memberi pengakuan yang sakral terhadap nilai-nilai moral bagi manusia di dunia nyata.
Secara ringkas, telah terlihat unsur-unsur penting agama yang terdiri dari ide tentang yang sakral, sikap-sikap yang dituntun oleh perasaan yang berhubungan dengan sakral, kepercayaan-kepercayaan dan pengamalan-pengamalan yang mengekspresikan dan memperkuat sikap-sikap ini dan akhirnya pemilikan dan pelaksanaan bersama kepercayaan-kepercayaan dan pengamalan-pengamalan oleh kelompok pemeluk dalam masyarakat yang ditandai oleh nilai-nilai moral yang sama.
Intinya, ketaatan terhadap nilai-nilai moral berfungsi menyatukan kelompok pemeluk agama masing-masing ke dalam suatu masyarakat sosial.[17]



















PENUTUP
Agama dam moralitas sosial merupakan pilar yang sangat penting bagi teguh, tegak serta kokohnya suatu masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu dua pilar tersebut perlu dicerna dan dicermati dengan arif oleh setiap manusia.
Sejatinya, kejayaan, kemajuan serta kesuksesan masyarakat, bangsa dan negara dapat terlihat, selama agama dan moral tidak menghilang dalam kehidupan setiap manusia.



















DAFTAR PUSTAKA
Amien, M. Masyhur, Moralitas Pembangunan Perspektif Agama-agama di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994.
Hardjana, Penghayatan Agama yang Otentik & Tidak Otentik, Yogyakarta : Kanisius, 1993.
Hendropuspito, Sosiologi Agama, Yogyakarta : Kanisius, 1983.
Musthofa, A., Akhlak Tasawwuf, Bandung : Pustaka Setia, 2010.
Nainggolan, Z.S, Pandangan Cendekiawan Muslim tentang Moral Pancasila, Moral Barat dan Moral Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 1997.
Nottingham, Elizabeth K., Agama dan Masyarakat : Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta : Raja Graffindo Persada, 2002.
Poespoprodjo, W., Filsafat Moral : Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung : Pustaka Grafika, 1999.
Rajasa, Sutan, Kamus Populer Ilmiah, Surabaya : Karya Utama, tth.
Ritzer, George, Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, diterj Saut Pasaribu, dkk, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012.
Shelton, Charles M., Moralitas Kaum Muda : Bagaimana menanamkan Tanggung Jawab Kristiani, diterj oleh Rudiyanto, Yogyakarta : Kanisius, 1987.
Sudrajat, Ajat, Agama dan Moralitas Sosial, Yogyakarta : UNY, tth
_______, Ajat, Membangun Kultur Akhlak Mulia di Kalangan Siswa Sekolah Dasar dan Menengah di Indonesia, Yogyakarta : UNY, tth.
_______, Ajat, Pendidikan Moral dalam Perspektif Islam, Yogyakarta : UNY, tth.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1989.



[1] Ajat Sudrajat, Pendidikan Moral dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta : UNY, tth), hlm 3.
[2] Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta : Kanisius, 1983), hlm 29.
[3] Sutan Rajasa, Kamus Populer Ilmiah, (Surabaya : Karya Utama, tth), hlm 401.
[4] A. Musthofa, Akhlak Tasawwuf, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), cet ke-5, hlm 11. Lihat juga Ajat Sudrajat, Membangun Kultur Akhlak Mulia di Kalangan Siswa Sekolah Dasar dan Menengah di Indonesia, (Yogyakarta : UNY, tth), hlm 3.
[5] W. Poespoprodjo, Filsafat Moral : Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, (Bandung : Pustaka Grafika, 1999), cet ke-1, hlm 119.
[6] Charles M. Shelton, Moralitas Kaum Muda : Bagaimana menanamkan Tanggung Jawab Kristiani, diterj oleh Rudiyanto, (Yogyakarta : Kanisius, 1987), hlm 11.
[7] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), cet ke-2, hlm 855.
[8] George Ritzer, Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, diterj Saut Pasaribu, dkk, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012), cet ke-8, hlm 136-137.
[9] Ajat Sudrajat, Agama dan Moralitas Sosial, (Yogyakarta : UNY, tth), hlm 4.
[10] Ajat Sudrajat, Agama dan Moralitas Sosial, hlm 5-6.
[11] M. Masyhur Amien, Moralitas Pembangunan Perspektif Agama-agama di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994), cet ke-1, hlm 24.
[12] M. Masyhur Amien, Moralitas Pembangunan Perspektif Agama-agama di Indonesia, hlm 28.
[13] Hardjana, Penghayatan Agama yang Otentik & Tidak Otentik, (Yogyakarta : Kanisius, 1993), hlm 86.
[14] Z.S Nainggolan, Pandangan Cendekiawan Muslim tentang Moral Pancasila, Moral Barat dan Moral Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1997), cet ke-1, hlm 202.
[15] Z.S Nainggolan, Pandangan Cendekiawan Muslim tentang Moral Pancasila, Moral Barat dan Moral Islam, hlm 58-60.
[16] Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat : Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta : Raja Graffindo Persada, 2002), cet ke-8, hlm 15-16.
[17] Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat : Suatu Pengantar Sosiologi Agama, hlm 17-20.

No comments:

Post a Comment